NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:348
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 — Rani di Dalam Hujan

Rendra meninggalkan rumah Kepala Desa Pak Darmo dengan perasaan campur aduk antara kemarahan, jijik, dan duka mendalam atas pengkhianatan yang berlapis-lapis. Ia kini tidak hanya membawa beban mencari Rani, tetapi juga beban dosa yang diwariskan ayahnya—dosa seorang saksi mata yang memilih melarikan diri.

Ia tidak langsung menuju Pohon Waringin Raksasa. Sebelum menggali, ia harus memahami apa yang sebenarnya Rani temukan dan mengapa adiknya begitu tertarik untuk menjadi 'perantara'. Ia harus mencari petunjuk di tempat terakhir adiknya tinggal: rumah Lurah lama.

Rumah itu terletak di pinggir desa, nyaris tersentuh hutan lebat. Untuk mencapainya, Rendra harus menyusuri jalan setapak yang semakin becek dan sunyi. Hujan turun dengan ketekunan yang mengganggu, menciptakan suasana yang lembap dan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Bau besi yang amis terasa kental.

Gubuk itu terbuat dari kayu yang paling lapuk, tampak hampir roboh, diselimuti lumut tebal. Jendelanya pecah di sana-sini, dan di atas pintu, tumbuh sulur-sulur tanaman hutan yang menjulur masuk, seolah hutan itu sendiri mencoba menelan gubuk tersebut.

Rendra memaksa membuka pintu kayu yang basah dan macet. Udara di dalam gubuk terasa pengap, dingin, dan dipenuhi bau buku tua yang basah.

Gubuk itu kosong, namun tidak bersih. Sisa-sisa penelitian Rani tersebar di meja tua: peta yang digambar tangan, catatan-catatan tentang pola hujan, dan sketsa-sketsa simbol ritual.

Rendra mulai menyisir ruangan dengan hati-hati. Ia membuka lemari kayu yang lembap dan di sana, di balik tumpukan kain tua, ia menemukan harta karun dan bencana: jurnal harian Rani.

Jurnal itu adalah buku catatan bersampul tebal, yang kini lembek karena kelembaban. Di halaman depan, Rani menulis dengan rapi: Rani Adyatma, Penelitian Antropologi: Memori Air di Desa Waringin.

Rendra duduk di lantai kayu yang dingin, membalik halaman demi halaman. Tulisan Rani yang biasanya rapi dan idealis, perlahan berubah menjadi tulisan tangan yang semakin terburu-buru, semakin tidak teratur, dan semakin dipenuhi kegilaan yang samar.

[Petikan Jurnal Rani]

10 Oktober: Udara di sini sangat tebal. Bukan hanya kabut, tapi memori. Penduduk desa percaya hujan adalah anugerah. Aku tidak percaya. Hujan di sini bukan air. Ini adalah residu dari peristiwa traumatik. Aku mulai menganalisis kandungan besi (Fe) dalam air hujan. Hasilnya gila. Jauh di atas normal. Air hujan di Waringin memiliki sifat seperti plasma atau darah encer. Hipotesisku: Hujan ini membawa memori darah ratusan korban yang dikorbankan atau dibunuh.

21 Oktober: Aku menemukan petunjuk penting dari seorang informan yang ketakutan (sepertinya itu adalah Dimas, tapi Rani tidak menulis namanya). Sumur Tua di tengah desa bukan sekadar sumur. Itu adalah pintu masuk. Tempat Gadis Tumbal, Laras, dikubur. Aku menemukan petunjuk bahwa Ayah pernah ke sini. Ada nama Ayah di buku tamu lama Balai Desa, dengan tanggal 30 tahun lalu. Dia memotret ritualnya. Aku tahu dia tidak sekadar memotret. Dia menyembunyikan sesuatu.

27 Oktober: Aku berhasil menemukan lokasi yang dicurigai sebagai kuburan rahasia. Di bawah akar Pohon Waringin Raksasa. Ini adalah tempat para tetua desa mengubur para penentang ritual Laras. Pak Darmo berbohong. Ini bukan hanya tentang Laras. Ini tentang pembantaian massal. Aku mengambil sampel air dari celah di bawah akar. Airnya berwarna gelap, hampir hitam, dan baunya… amis sekali. Bau yang membuatku mual.

3 November: Aku mencuci sampel air dari Kuburan Rahasia. Di bawah mikroskop, air itu tidak menunjukkan bakteri atau lumpur. Ia menunjukkan struktur yang aneh. Seperti… sel darah yang terurai. Aku benar. Hujan ini adalah air mata darah dari orang-orang yang dibunuh. Mereka menuntut keadilan. Mereka ingin beristirahat.

4 November: Aku kembali ke Sumur Tua. Aku merasa seperti ditarik. Suara gemericik itu. Begitu tenang, begitu sedih. Aku menyentuh air yang aku ambil dari Kuburan Rahasia. Rasanya dingin sekali, seolah-dinginnya seribu tahun. Saat aku menyentuhnya, aku merasa sesuatu memasuki diriku. Bukan roh jahat. Tapi kesedihan yang tak terbatas. Kesedihan Laras, Gadis Tumbal.

Rendra harus menarik napas dalam-dalam. Ia membaca tulisan tangan Rani yang terakhir, yang tampak ditulis dalam keadaan ekstasi atau demam.

5 November: Aku melihatnya di sumur. Ia memanggilku ‘adik’. Suaranya seperti air yang menetes dari langit. Dia bukan setan. Dia adalah korban. Dia ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas darah lain di tanah ini—darah yang menipu dirinya. Aku tahu sekarang. Ayah ada di sana. Ayahku adalah salah satu saksi yang diam. Aku harus menebusnya. Aku harus memberitahunya (Yang Basah) kebenaran tentang darah ratusan orang itu. Aku adalah perantara. Aku adalah jembatan. Aku akan membawa Ayahku kembali dalam wujud yang ia butuhkan. Aku akan menghentikan hujan ini.

Tulisan terakhir (tidak bertanggal): Aku basah. Aku dingin. Jangan datang, Kak. Tinggalkan tempat ini. Hujan telah menjadi aku. Dan aku telah menjadi Dia. Aku melihat kebenaman yang disembunyikan Ayah. Darah itu dingin. Dingin sekali. Aku menunggumu di bawah air…

Jurnal itu jatuh dari tangan Rendra. Ia merasa mual, bukan karena bau, tetapi karena pengakuan yang tertulis di sana. Rani tidak diculik; ia secara sukarela menyerahkan dirinya kepada entitas itu—membiarkan dirinya menjadi bejana bagi Yang Basah untuk tujuan penebusan dosa ayahnya.

Rendra berdiri. Ia tidak bisa lagi menunda. Rani menunggunya di "bawah air." Dan ia harus pergi ke sana dengan membawa apa yang Yang Basah inginkan: bukti pengkhianatan Ayahnya.

Ia meraih tasbih kayu yang diberikan Nyai Melati dari sakunya. Tasbih itu terasa hangat di tangannya, seolah menyalurkan energi yang asing.

Tiba-tiba, mata Rendra tertuju pada sebuah kotak kayu kecil yang tergeletak di bawah meja. Kotak itu tampak lebih baru dari perabotan lain. Ia membukanya dengan paksa.

Di dalamnya, Rendra menemukan beberapa barang:

* Dua roll film negatif tua. Keduanya tidak berlabel, dibungkus plastik usang. Ini adalah film yang dibawa ayahnya, yang tidak dicuci, dan ditinggalkan Rani saat ia menghilang. Bukti itu.

* Sebuah kunci kuningan kecil. Kunci itu berkarat, tetapi Rendra merasa ia mengenali ukirannya yang rumit.

Rendra memasukkan film dan kunci itu ke dalam tas kameranya. Film itu adalah alat negosiasinya. Kunci itu… ia harus mencari tahu kuncinya untuk apa.

Ia meninggalkan gubuk Rani. Saat ia melangkah keluar, ia melihat ke langit. Hujan masih turun, namun rona kelabunya terasa lebih gelap.

Rendra berjalan kembali ke lapangan, menuju Sumur Tua dan Pohon Waringin Raksasa. Langkahnya kini tergesa-gesa.

Saat ia mencapai pohon itu, ia berhenti di depan akar besar yang meliuk-liuk. Udara di sini terasa berat, penuh dengan kelembaban dan aroma tanah basah.

Rendra mengeluarkan sekop lipatnya. Ia melihat ke lubang rahasia yang ditunjukkan Dimas, celah sempit di bawah akar. Ia tahu, di sana tersembunyi ratusan kerangka korban.

Ia mulai menggali. Lumpur di sana terasa lebih padat, lebih dingin, dan baunya sangat amis. Sekopnya menghantam sesuatu yang keras. Rendra menggali lebih dalam, dan akhirnya, ia menemukan penutupnya: sebuah papan kayu lapuk yang ditahan oleh akar.

Ia membuka papan itu. Udara dingin yang menyesakkan langsung menyembur keluar, membawa bau busuk yang tidak bisa dijelaskan—bau daging busuk, lumpur, dan baja yang sangat kuat.

Rendra menyorotkan senternya ke dalam lubang.

Ia tidak melihat kerangka manusia utuh. Ia melihat air.

Lubang itu penuh dengan air keruh kemerahan, seperti rawa kecil. Air yang sama persis yang diceritakan Rani dalam jurnalnya.

Dan di tengah air keruh itu, mengambang di permukaan, ada sisa-sisa kain lusuh yang berlumut, beberapa tulang kecil, dan…

Sebuah tasbih kayu. Tasbih yang sama persis yang dipegang Pak Darmo, dan yang diberikan Nyai Melati kepadanya. Hanya saja, tasbih yang ini sudah busuk, manik-maniknya berlumut, dan melilit erat di sekitar tulang jari yang kecil.

Itu adalah Dimas.

Rendra merasa tenggorokannya tercekat. Dimas tidak ditarik ke Kuburan Air. Yang Basah hanya menunjukkan tujuannya. Dimas ditarik ke Kuburan Rahasia, tempat tubuhnya akan menambah memori darah dan kesedihan yang tak terhindarkan.

Rendra jatuh terduduk di lumpur, membiarkan hujan membasuh wajahnya. Ia memegang tasbih kayu dari Nyai Melati. Ia tahu, ia harus menyelesaikan ini. Untuk Rani. Untuk Dimas. Untuk semua korban yang terkurung dalam hujan abadi ini.

Ia melihat ke Sumur Tua di seberangnya. Sumur yang ditutup batu, tempat Laras dikorbankan.

Ia meraih kamera ayahnya. Ia harus mengabadikan kuburan massal ini. Ia harus merekam kebenaran yang ditanam ayahnya dan digali adiknya.

Malam itu, Rendra bermimpi adiknya berdiri di bawah hujan, tersenyum dengan mata penuh darah. Rani tidak menunggu di Kuburan Rahasia. Rani menunggu di tempat yang lebih dalam.

Rendra tahu ke mana ia harus pergi selanjutnya. Tidak ke Balai Desa, tidak ke hutan. Ia harus kembali ke Sumur Tua. Ia harus mencari tahu bagaimana memindahkan batu penutup yang besar itu. Ia harus masuk ke tempat Yang Basah tidur.

Dan ia tahu, kunci kuningan kecil yang ia temukan di kotak Rani mungkin adalah jawabannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!