NovelToon NovelToon
Rojali Dan Ratih

Rojali Dan Ratih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Ilmu Kanuragan
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RR 23

Kepala Narti berdenyut.

Bukan karena migrain. Tapi karena satu nama—Ratih.

Bukan karena Ratih melakukan kesalahan, tapi karena Ratih terlalu sempurna: terlalu cantik, terlalu tenang, terlalu menarik perhatian.

Dan sekarang, malam itu, ketika rumah hajatan hampir rampung dan seluruh kampung bersiap menyambut hari pernikahan Sinta, datanglah godaan paling berbahaya: Damar.

Anak muda tampan, terpelajar, dan yang lebih penting: anak satu-satunya dari Bu Kartika—perempuan paling kaya dan paling berpengaruh di kecamatan.

Melihat Damar berdiri di depan rumah, mata Narti terbelalak. Dalam hatinya berkecamuk badai:

> "Seharusnya Damar menikah dengan Sinta, anakku... bukan datang karena Ratih."

Namun semua sudah terlambat. Besok pagi, Sinta akan menikah dengan Bagas.

Bagas memang bukan anak orang kaya, tapi lajang, sopan, dan cocok dijadikan menantu.

Narti sudah puas dengan itu.

Tapi Ratih? Ratih sudah “dijual” diam-diam.

Ya—Narti telah menjanjikan Ratih pada Sardi, pria beristri yang mengiming-imingi uang.

Uang yang akan digunakan Narti untuk menutup berbagai kekurangan biaya hajatan dan... hutang-hutangnya yang semakin menggunung.

Dan kini, pilihan itu seperti jebakan mematikan.

Jika ia berikan Ratih kepada Damar, maka uang dari Sardi lenyap.

Jika ia tolak Damar, Kartika akan menagih semua hutangnya—malam itu juga.

Kartika melangkah angkuh, kebayanya berkilau terkena sorot lampu hajatan.

Ia berdiri di depan Narti, tangan terlipat di dada, tatapannya menusuk.

"Jangan hanya diam, Narti," katanya tajam.

"Kamu tahu bagaimana aku. Kalau aku ingin sesuatu, maka aku harus mendapatkannya."

Narti menggertakkan gigi, lidahnya terasa kelu. Tapi akhirnya ia berkata perlahan:

"Bu... masalahnya, Ratih sudah menikah."

Suasana menjadi dingin.

Beberapa pemuda yang semula duduk santai mendadak menghentikan obrolan.

Kartika menarik napas dalam, matanya menyipit.

Menikahkan anaknya dengan janda mungkin masih bisa ditoleransi.

Tapi kalau Ratih masih punya suami sah... itu akan jadi aib.

Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Damar melangkah maju.

Suara langkahnya mantap, dan ketika berbicara, suaranya menggema:

"Aku tidak peduli!" serunya lantang.

"Aku ingin Ratih. Aku akan menikahinya, entah dia masih istri orang atau tidak."

Semua orang menoleh padanya.

Sinar mata Damar seperti mata panah—lurus, keras, dan tanpa keraguan.

Bagi Damar, jika hati sudah menginginkan seseorang, maka seluruh semesta wajib mengatur jalan menuju ke sana.

Dan Narti?

Dia berdiri gemetar, di tengah dua pintu:

— satu pintu menuju pelunasan hutang

— dan satu lagi menuju kehancuran reputasi

Semua karena Ratih.

Anak sial, katanya dulu. Tapi kini, semua orang berebut memilikinya.

Kartika menatap anak lelakinya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—antara cinta, bangga, dan kekhawatiran yang dalam.

Damar.

Anak tunggal.

Anak yang tak banyak menuntut, tak suka membangkang.

Tapi jika sekali ia menginginkan sesuatu, seluruh dunia bisa ia banting agar keinginan itu terjadi.

"Tapi dia istri orang, Nak..." ucap Narti pelan.

Suaranya hampir seperti memohon.

Ada ketegangan dalam dirinya—karena jika Ratih menikah dengan Damar, maka derajat Ratih akan terangkat jauh di atas Sinta.

Itu sesuatu yang tak bisa Narti terima. Tak bisa dia telan, meski dengan air mata.

Namun Damar menjawab dengan nada datar, dingin, namun mengguncang seperti gempa yang merayap di bawah tanah:

"Suruh suaminya ceraikan Ratih malam ini juga.

Besok pagi aku datang lagi, menikah di sini.

Dan aku akan sumbang empat puluh juta untuk hajatan ini."

Empat puluh juta.

Kalimat itu melayang di udara seperti mantra pemecah kesucian.

Sinta yang mendengarnya nyaris lupa bernapas.

Angka itu...

Angka yang bisa menggantikan seluruh harga diri.

Angka yang bisa membeli tampilan pesta lebih megah dari yang pernah desa ini lihat.

Angka yang bisa... membuat Sinta membenamkan Ratih lebih dalam setelah menikah.

"Tak apa... setelah dapat uang dan menikah, aku akan cari dukun. Ratih bisa dibuat cerai dengan mudah..."

Senyuman licik muncul di wajahnya.

"Baiklah, saya panggilkan dulu Ratih-nya." ucap Sinta manis, seperti pelayan setia—padahal dalam hatinya sudah mulai menyusun jebakan.

Sinta melangkah masuk ke dalam rumah.

Sementara itu, Damar berdiri dengan dada yang berdegup.

Jantungnya berlari seperti kuda lepas dari kandang.

Matanya menerawang. Pikirannya dipenuhi Ratih.

> Senyum Ratih.

Cara tertawanya yang lembut.

Cara ia berjalan... sederhana, tapi memikat.

Semuanya seolah ditanamkan langsung oleh para dewa kecantikan.

Dan tak lama, dua perempuan keluar dari dalam rumah.

Sinta di depan, Ratih mengikuti di belakangnya.

Ratih hanya mengenakan daster lusuh, warnanya sudah pudar, panjangnya sudah menggantung di betis. Tapi ketika ia melangkah keluar dan berdiri di bawah lampu neon yang menggantung rendah, semua orang yang melihatnya terdiam.

Damar terpesona.

Matanya seolah menahan air, tubuhnya tak bergerak.

Dan Kartika...

Kartika tak sanggup berpaling.

Selama hidupnya, ia telah melihat banyak perempuan: dari sosialita, artis kabupaten, hingga anak-anak pejabat.

Namun baru kali ini ia melihat kecantikan yang tidak dibuat-buat.

Kecantikan yang menembus pakaian lusuh, kecantikan yang tidak memohon pengakuan, tapi menuntut penghormatan.

"Pantas saja anakku tergila-gila..." batin Kartika.

"Pakainya kusam saja tak bisa menutupi auranya... kalau diberi bedak mahal, gaun indah, sepatu dari kota... anak ini akan mengguncang kabupaten."

Keraguan yang semula tersisa di hati Kartika… luruh. Hancur. Hilang.

Yang tersisa hanyalah tekad:

Ratih harus menjadi menantunya.

"Ratih, salam dulu sama tamu." ucap Sinta, suaranya lembut, tapi ada bayangan tipis licik di balik senyumnya.

Ratih melangkah maju dengan tenang.

Ia menunduk sopan, mengulurkan tangan kepada Kartika sambil menyunggingkan senyum tipis—senyum yang tak lebih dari basa-basi, tapi tak bisa disangkal memiliki kekuatan misterius.

Damar terdiam.

Senyum itu... hanya sekejap, tapi hati Damar seketika berbunga-bunga.

Bagai hujan pertama setelah kemarau, bagai tarian kupu-kupu dalam kepalanya.

Tanpa sadar, ia tersenyum balik, matanya tak bisa berpaling.

"Ini Ratih, Bu. Anak saya." ucap Narti, cepat dan tegas, seolah ingin memperkuat “hak milik” sebelum keadaan berubah.

Kartika mengangguk, lalu berbicara langsung kepada Ratih, nada bicaranya bukan tawaran, tapi perintah bangsawan:

"Ratih, persiapkan dirimu malam ini. Ibu sudah panggil tukang rias pengantin. Gaunmu juga sudah disiapkan. Besok pagi kamu menikah dengan Damar."

Tak ada pertanyaan.

Tak ada "apakah kamu mau?"

Karena bagi Kartika, keinginannya adalah hukum.

Namun Ratih mengernyit.

Ada ketidakpercayaan di wajahnya.

Lalu dengan suara lembut tapi penuh keheranan, ia menjawab:

"Maksud Ibu bagaimana? Besok yang akan menikah itu adik saya, bukan saya. Dan… saya sudah menikah, Bu."

Suasana menegang.

Damar sedikit terkejut.

Namun Kartika mengangkat dagunya, lalu berkata seperti memarahi anak bodoh:

"Banyak wanita yang antri ingin jadi menantu Ibu. Kamu lihat anak Ibu—tampan, muda, mapan, lajang. Minta cerai saja sama suamimu itu. Ibu jamin, kamu akan lebih bahagia dengan Damar."

Ratih menatapnya. Dalam sekejap, segala topeng kesopanan runtuh.

Ia tidak marah. Tidak teriak. Tapi tatapannya... tajam dan tenang.

Lalu ia bicara, dengan suara jernih yang memotong keangkuhan Kartika seperti pisau mengiris benang:

"Maaf, Bu. Itu tidak bisa.

Saya sudah bersuami. Dan saya tidak akan pernah meminta cerai dari suami saya."

Semua orang terdiam.

Kartika terpaku. Damar tak bisa memahami bagaimana seorang perempuan desa, miskin, tanpa nama besar bisa menolak tawaran pernikahan yang menjanjikan nama, uang, dan status.

Ratih menolak dan memilih setia pada Rojali. Harta nama baik, status damar seolah tak berarti baginya bahkan sedari tadi wajah tampan damar tak dilihat oleh Ratih.

"Ratih ibumu sudah setuju dan bagiku itu sudah cukup,tidak ada penolakan kamu harus menerima pernikahan ini " tegas kartika

1
Purnama Pasedu
kerenkan ratih
saljutantaloe
lagi up nya thor
Ninik
kupikir lsg double up gitu biar gregetnya emosinya lsg dapet
Ibrahim Efendi
lanjutkan!!! 😍😍😍
Ranti Calvin
👍
Purnama Pasedu
salah itu
Purnama Pasedu
sok si kamu sardi
Ibrahim Efendi
makin seru!! 😍😍
Purnama Pasedu
pada pamer,tapi jelek
Purnama Pasedu
nah loh
Ninik
edaaannn....kehidupan macam apa ini
saljutantaloe
nah loh pusing si Narti jdinya
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
saljutantaloe
nah gtu dong ratih lawan jgn diem aja skrg kan udh ada bg jali yg sllu siap membela mu
up lg thor masih kurang ini
Purnama Pasedu
telak menghantam hati
Purnama Pasedu
jurus apa lagi rojali
Purnama Pasedu
tapi kosong ucapannya
Purnama Pasedu
kayak pendekar ya
saljutantaloe
widih bg jali sakti bener dah
bg jali bg jali orangnya bikin happy
Sri Rahayu
mantap thor..
sehat selalu
saljutantaloe
seru thor ceritanya up banyak" thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!