Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isabella atau Nyai Laras
"WOI NU! GILA LO APA?!"
Tapi Danu tak menjawab. Matanya masih tertuju pada kalung di tangan adiknya, dan mulutnya pelan-pelan mengucap satu nama, lirih namun jelas.
"Nyai Laras..."
Galang menoleh tajam. "Hah? Apa? Nyai Laras?" wajahnya penuh kebingungan. "Nu... maksud lo apa? Kenapa nyebut nama itu sekarang? Ini ada apa sih sebenernya?!"
Danu tidak menjawab. Ia mengusap wajahnya sekali, dadanya naik-turun. Wajahnya tegang, sorot matanya campuran antara panik, takut, dan bingung.
Dengan tiba-tiba, Danu memutar kemudi, bersiap memutar balik arah mobil.
"Aku harus kembali. Ke hutan itu. Aku harus cari dia sekarang juga!"
"GILA LO, NU?" Galang sontak menahan lengan Danu. "Tunggu dulu! Jangan asal balik gitu aja! Sadar dulu lo! Ini ada apa sih sebenernya?! Lo ngelihat kalung itu, terus nyebut Nyai Laras, terus mau balik ke tengah hutan? Jelas-jelas kita udah ninggalin tempat itu barusan!"
Danu menatap sahabatnya dengan mata yang membara.
"Gue gak bisa jelasin semuanya sekarang, Lang. Tapi satu hal yang lo harus tau, kalung itu... kalung itu punya Nyai Laras. Dia yang ngasih ke gue waktu di lereng gunung... saat aku menyusul nya"
Galang menatapnya seolah baru mendengar sesuatu yang paling absurd dalam hidupnya. "Waktu lo ilang beberapa hari itu?"
Danu mengangguk cepat. "Gue gak pernah cerita detailnya karena, karena bahkan gue sendiri gak yakin itu nyata atau bukan. Tapi waktu itu gue sempet tinggal segubuk dengan nya. Dan pagi nya dia menghilang, menyisakan kalung ini"
Galang membeku.
Nadia di belakang hanya mematung, seolah baru pertama kali mendengar hal itu.
"Dan setelah gue pulang, gue simpan kalung itu di rumah. Di lemari. Tapi kemarin saat kita akan kesini... kalung itu hilang. Dan sekarang, tiba-tiba... muncul lagi, dibawa Nadia, dari orang yang mengaku pacar gue." Suara Danu mulai bergetar.
Galang menelan ludah. "Lu yakin itu kalung yang sama?"
Danu mengangguk seraya tangannya kini menggenggam erat liontin itu, seolah benda itu tidak akan pernah ia lepaskan lagi "Yakin banget. Gue hafal setiap ukirannya, Lang. Bahkan... Bahkan bau kalung ini, sama persis dengan aroma Nyai Laras"
Hening sejenak menyelimuti mereka.
Sampai akhirnya, Danu menatap Galang lurus. "Gue harus balik, Lang. Sekarang juga. Gue gak tau siapa wanita itu, kenapa dia muncul ke Nadia... tapi yang jelas ini bukan kebetulan. Gue harus temuin dia, Isabella.. Nyai Laras... atau siapapun yang ada di balik semua ini."
Galang masih ragu, tapi melihat sorot mata sahabatnya, ia tahu tak ada gunanya menahan lebih lama.
Ia menghela napas dalam-dalam.
"Oke. Tapi gue ikut."
Nadia berseru dari belakang, "Aku juga ikut!"
Danu menoleh ke spion. "Nggak, Kamu pulang dulu, Nad. Biar Mas telpon mama suruh jemput kamu disini. Ini urusan yang terlalu... rumit."
Tapi Nadia hanya menyilangkan tangan. "Aku udah setengah jalan terlibat. Kak Isabella... atau siapapun dia, udah nolongin aku dua kali. Aku gak akan tinggal diam."
Danu menatap mereka bergantian, Galang yang sudah siap lahir batin, dan adiknya yang keras kepala seperti biasa.
Akhirnya ia menekan pedal gas perlahan. Mobil berbalik arah... menuju hutan yang baru saja mereka tinggalkan.
Suasana di dalam mobil masih dipenuhi ketegangan. Angin dari jendela yang sedikit terbuka berhembus masuk, tapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara. Sinar matahari menjelang siang menembus celah pepohonan, menghiasi dashboard dengan cahaya keemasan.
Galang yang duduk di sebelah Danu akhirnya bersuara lagi, kali ini lebih tenang meski nadanya masih sarat tekanan.
"Nu, gue udah gak nahan lo buat balik ke hutan. Tapi tolong... gue minta satu hal. Jangan lo lakuin ini dengan kepala kosong. Kita baru aja keluar dari hutan itu, dan sekarang lo mau masuk lagi cuma gara-gara satu kalung?"
Danu meremas kemudi. "Bukan cuma kalung, Lang. Ini lebih dari itu."
Dari jok belakang, Nadia akhirnya bersuara, nadanya lebih lembut, tapi penuh dorongan.
"Mas… aku ngerti ini rumit. Tapi bisa gak mas ceritain semua? Dari awal. Tentang Nyai Laras. Tentang siapapun itu. Mas kenal dia dari mana?"
Danu masih menatap ke jalan, tapi setelah beberapa detik, ia menghela napas berat. Perlahan ia bicara, kali ini lebih jujur dari sebelumnya.
"Gue gak pernah cerita semua ini ke siapa pun, secara detail" katanya lirih. "Bahkan ke lo, Lang…"
Galang menoleh cepat. "Ya, gue tau. Makanya sekarang lo ceritain semuanya. Tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi"
Danu menggenggam kemudi erat-erat, lalu mulai mengisahkan semuanya.
"Semua berawal dari beberapa minggu lalu. Gue dapet surat... dikirim langsung ke kos. Gak ada nama pengirim, cuma tulisan tangan... isinya bilang kalau gue ini suami dari seseorang bernama Nyai Laras."
Dari belakang, Nadia langsung menyahut, menatap tak percaya. "Suamu? Mas Danu serius?"
Danu mengangguk pelan. "Mas kira juga itu lelucon, Nad. Aneh banget. Mana mungkin mas nikah... sama nenek-nenek. Tapi di surat itu semua seolah nyata. Makanya mas mutusin buat datang ke desa yang disebut di surat itu—Pagarjati."
Ia berhenti sejenak, menelan ludah, seolah sedang mengingat kembali semua yang coba ia lupakan.
"Dan ternyata... bener. Di sana, mas ketemu wanita tua. Sekitar enam puluh tahunan. Dia nyambut mas seolah mas memang suaminya. Lembut. Hangat. Tapi juga… aneh."
"Gila," gumam Galang pelan.
"Mas udah coba jelasin, Nad," lanjut Danu. "Mas bilang pasti salah orang. Tapi Nyai Laras gak marah. Dia malah nyuruh mas istirahat. Mas tinggal di rumah kayunya dua malam. Dan pas hari kedua… kepala desa dan notaris datang."
"Terus?" bisik Nadia.
"Semua dokumen lengkap. Buku nikah. Surat sah. Bahkan tanda tangan mas. Dan yang paling gak masuk akal… mas inget jelas, itu tulisan tangan mas. Tapi mas gak pernah nulis itu sebelumnya." Suara Danu mulai bergetar.
Nadia memegangi mulutnya, matanya membelalak. "Tunggu… jadi… jadi semua dokumen itu valid?"
"Valid," Danu mengangguk. "Dan sejak saat itu, mas mulai bingung, Nad. Galang… lo juga harus tau, gue balik ke kota dalam keadaan gak tau harus percaya yang mana. Karena semua terasa nyata, tapi juga gila."
Galang diam membisu, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya.
"Mas simpan semua itu, mas pikir itu bisa dijelasin nanti. Tapi setelah kejadian di lereng gunung itu... setelah mas hilang beberapa hari, dan ketemu dia lagi di sana… semua mulai berubah. Apalagi setelah kalung ini kembali." Danu mengangkat kalung melati itu.
Nadia dan Galang saling pandang. Wajah mereka kini sepenuhnya serius.
"Aku gak tau siapa sebenarnya Nyai Laras," bisik Danu. "Atau... Isabella... Atau siapapun dia. Tapi satu hal yang pasti. Ini semua terhubung. Dan jawabannya ada di hutan itu."
Galang menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Oke. Kita cari tau sama-sama."
Nadia hanya bergumam, "Ini… lebih dari yang aku bayangkan."
Setelah Danu selesai bercerita, keheningan kembali menyelimuti mobil. Suara mesin yang berdengung pelan menjadi satu-satunya irama di tengah suasana penuh ketegangan itu. Tapi tak butuh waktu lama, Nadia kembali bersuara, nadanya pelan, namun yakin.
"Kalau itu tentang Nyai Laras, maka beda dengan Kak Isabella, Mas…"
Danu menoleh sekilas ke spion, begitu pula Galang yang langsung melirik ke jok belakang.
Nadia melanjutkan, suaranya sedikit bergetar namun mantap. "Dia itu… sangat cantik. Menawan. Anggun. Kak Isabella bahkan udah dua kali nyelamatin nyawa Nadia."
Galang langsung menyela cepat. "Hah? Gue baru sadar, dari kemarin Nadia nyebut-nyebut diselametin sama Isabella. Maksud mu apa, Nad? Emangnya ada kejadian apa di hari itu?"
Nadia menarik napas, mencoba menata kembali ingatannya. "Waktu pertama, aku lagi mandi di air terjun. Aku terpeleset... licin banget batu-batunya. Kaki aku udah ngambang, Kak... aku nyaris jatuh ke arus deras. Tapi tiba-tiba ada yang nangkep tangan aku. Dan itu Kak Isabella."
Danu dan Galang saling pandang cepat. Tapi Nadia belum selesai.
"Yang kedua, waktu malam-malam aku keluar tenda. Gak jauh, cuma mau ambil air. Tapi entah dari mana muncul ular di dekat ku. Ular besar dan siap nyerang. Aku udah gak bisa teriak… Kak Isabella lagi-lagi muncul tiba-tiba dan ngusir ular itu dengan obor yang dia bawa"
Danu mengernyit. "Tunggu… dia bisa tiba-tiba muncul dua kali pas kau dalam bahaya?"
Nadia mengangguk.
Galang menatap adik sahabat nya itu dengan serius. "Lo yakin, Nad? Yakin banget? Apa lo yakin Isabella itu… manusia?"
Nadia tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, seolah mencari keyakinan terakhir dalam dirinya, lalu membuka matanya dengan sorot mantap.
"Yakin, Kak Galang. Aku yakin banget. Dia itu manusia. Dia bukan halusinasi. Bahkan temen-temenku lihat juga. Waktu malam, dia dateng ke area api unggun. Duduk gak jauh dari tenda, ngobrol sama aku sebentar, sebelum akhirnya dia pergi. Wujudnya nyata. Suaranya, senyumnya… bahkan dia sempat nyentuh bahuku pas pamit."
Galang mulai terlihat ragu. "Temen-temen lo lihat juga?"
"Iya," jawab Nadia cepat. “Tapi anehnya, mereka juga bingung kenapa dia suka muncul dan pergi tiba-tiba. Gak ada yang liat dia jalan atau naik apa. Dia cuma… hilang dari pandangan."
Suasana mendadak hening lagi. Masing-masing dari mereka kini terperangkap dalam labirin pikirannya sendiri.
Danu meremas kemudi. "Isabella... kalau dia bener manusia, kenapa dia tau soal gue? Kenapa dia punya kalung Nyai Laras? Dan kenapa semua ini seperti direncanakan?"
Galang mengusap wajahnya. "Dan kalau dia bukan manusia… kok bisa orang lain lihat dia juga? Ini... ini udah makin absurd."
Nadia bersandar ke jok, menatap langit lewat jendela. "Entah dia siapa, Mas. Tapi aku percaya satu hal… dia bukan orang jahat. Dia udah nolongin Nadia. Dia... seolah tahu kapan aku butuh bantuan"
Danu tak menjawab. Tapi kini, sorot matanya bukan hanya bingung. Ada kegelisahan yang makin membara.
Karena semakin mereka gali, semakin nyata bahwa Isabella dan Nyai Laras bukan sekadar mimpi buruk yang bisa dilupakan. Mereka adalah teka-teki besar... yang sedang membawa mereka menuju sesuatu yang lebih dalam. Lebih gelap. Dan mungkin... lebih berbahaya.
Mobil Danu melaju cepat membelah jalanan tanah kembali ke arah area camping. Debu beterbangan di belakang ban mobil yang tergesa. Saat mereka sampai di area lapang tempat tenda-tenda masih berdiri setengah dibongkar, suasana belum sepenuhnya sepi. Beberapa siswa masih berkeliaran, beberapa orang tua mulai berdatangan untuk menjemput.
Danu langsung memarkir mobil di sisi lapangan, dan ketiganya buru-buru turun.
"Nad, itu temen-temenmu, kan?" tanya Galang cepat, menunjuk dua siswi yang berdiri di dekat pohon rindang, sambil sesekali menengok ke arah jalan, jelas sedang menunggu jemputan.
"Iya, itu Shafa sama Nabila!" jawab Nadia. Ia langsung berlari kecil ke arah mereka, diikuti oleh Danu dan Galang dari belakang.
Shafa melihat Nadia mendekat dan langsung mengangkat alis. "Nadia? Serius lo balik lagi ke sini?"
Nabila juga menoleh. "Kita kira lo udah di jalan pulang bareng kakak lo, kenapa malah muncul lagi? Eh... dan itu... kakak lo sama yang satu lagi?" Tatapannya tertuju pada Galang, lalu berbisik kecil ke Shafa, "Eh... mafia balik lagi..."
Shafa menahan tawa geli.
Nadia cepat-cepat berkata, "Gak penting sekarang soal mafia atau bukan. Aku mau tanya sesuatu, penting banget. Kalian masih inget Kak Isabella?"
Shafa dan Nabila langsung saling tatap. Reaksi mereka spontan.
"Yang cewek super cakep itu? Yang semalam nongkrong sebentar di dekat api unggun?" tanya Nabila.
"Kalian lihat dia juga? Maksudnya… kalian lihat wujudnya beneran? Dia ngobrol, duduk, atau…?" jawab Danu cepat.
"Iya lah, Kak" Shafa mengangguk. "Bahkan dia sempat duduk deket kita. Awalnya malah aku kira dia panitia tambahan. Soalnya gaya bicaranya dewasa dan elegan banget."
Galang menatap Danu, lalu kembali ke Shafa. "Terus dia bilang apa ke kalian?"
"Enggak banyak," jawab Shafa. "Dia cuma nanya kegiatan kami di hutan, terus ngingetin supaya gak terlalu malam di luar tenda. Habis itu dia pamit. Tapi ya aneh juga sih..."
"Aneh gimana?" potong Danu.
Nabila menimpali, "Dia pergi cepet banget. Cuma dalam sedetik kita nengok ke arah api unggun... dia udah gak ada. Beneran kayak hilang gitu aja."
"Gak ada suara langkah, gak ada cahaya senter. Hilang kayak... bayangan," tambah Shafa pelan.
Nadia menoleh ke Danu dengan tatapan serius. "Mas, mereka juga liat. Berarti dia bukan halusinasi."
Danu menatap lekat ke arah pepohonan di belakang tenda-tenda yang mulai dibongkar. Rasanya hutan itu menyimpan lebih dari sekadar rahasia. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Kalau dia nyata," gumam Danu pelan, "dan dia bisa datang dan pergi secepat itu... maka ada kemungkinan dia masih di sekitar sini."
Galang menoleh cepat. "Lo mau nyusurin hutan ini lagi sekarang?"
"Gue harus." Danu menatap ke arah hutan. "Kita belum selesai. Dia belum selesai."