Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Perempuan
"Ah, ada tante Devi disini...apa kabar tan?" seru Winda yang tiba-tiba muncul di ruangan Nico. Ia langsung saja masuk karena melihat meja Suci yang kosong tidak ada orang.
"Alhamdulillah kabar tante baik, Winda..." Bunda Devi membalas pelukan Winda dengan tersenyum ramah. Bunda pun bertanya maksud kedatangannya ke kantor.
"Aku mau mengajak mas Nico makan siang, tante. Kemarin juga kita makan siang bareng...biar makin dekat dan mesra..." ujar Winda dengan senyum malu di akhir kalimatnya. Selama bicara, ia melirik Suci yang duduk di sebelah kanan Bunda Devi, sementara posisinya di sebelah kiri Bunda. Ia ingin melihat reaksi Suci, tapi nyatanya wajah Suci biasa-biasa saja tidak menunjukkan kejengkelan ataupun kekesalan.
Bunda mengerutkan keningnya, merasa tidak tahu kalau hubungan Nico dan Winda terus berlanjut.
"Ehm, maaf nyonya eh Bunda, karena sudah ada mbak Winda, aku mohon ijin melanjutkan pekerjaan. Masih ada waktu 30 menit lagi sebelum istirahat." Suci menatap jam di tangannya, sisa waktu sebelum istirahat ingin ia gunakan untuk melanjutkan pengetikannya yang tertunda karena menemani Ibunya Nico.
Bunda terpaksa mengiyakan permintaan Suci, padahal ia masih betah mengobrol dengannya. "Oke. Tapi nanti istirahat, kita makan siang sama-sama ya! Tunggu Nico sebentar lagi selesai rapat, kita makan berempat."
"Tapi...." Suci yang sudah berdiri dari duduknya merasa terkejut. Ia ingin menolaknya tapi Bunda cepat memotong kalimatnya.
"Jangan menolak ya Suci!" tegas tapi lembut, begitulah cara Bunda merayu Suci agar ia mau ikut bersamanya. Suci hanya bisa mengangguk pasrah.
Winda, mau tidak mau ia harus menerima keputusan Bunda. Harapannya untuk kembali berduaan dengan Nico, pupus untuk hari ini.
****
Mereka duduk berempat dalam satu meja di sebuah restoran bertema family resto. Poto hitam putih nuansa jaman dulu tergantung di dinding, nampak berjajar renggang dalam berbagai ukuran. Menampilkan potret kebersamaan keluarga tempo dulu dengan pose senyum ceria saat sedang kumpul makan, ada juga poto kebersamaan para petani makan bersama di pematang sawah.
"Bunda apaan sih, kenapa harus ada acara makan bersama." itu protes Nico saat dirinya kembali ke ruangan setelah selesai rapat. Yang membuatnya keberatan juga malas karena Winda ikut serta juga. Kemarin ia bersedia makan siang dengan Winda, sekadar menghargai saja. Nico sangat tidak suka dengan Winda yang manja. Ia selalu minta diambilkan lauk ini itu ke dalam piringnya, sungguh membuatnya sebal dan kesal.
Suci duduk di sisi Bunda, berhadapan dengan Nico yang duduk bersisian dengan Winda. Hidangan baru saja tersaji di atas meja, semua serba hangat. "Ayo mulai, jangan diliatin saja...." Bunda lebih dulu menyendok nasi ke dalam piringnya.
"Bunda mau lauk yang mana?" Suci menawarkan diri untuk mengambilkan lauk untuk Bunda Devi. Dengan senang hati Bunda menunjukkan lauk yang diinginkannya, capcay dan goreng ayam kampung. Suci pun sigap mengambilkannya. "Kamu makan yang banyak ya, jangan sungkan..." ujar Bunda setelah mengucapkan terima kasih telah dilayani. Suci hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Mas Nico, aku mau itu dong..." Winda menunjuk telor balado di tengah-tengah meja. Nico yang mendengarnya langsung masam, ia memilih acuh dengan cara makan sambil menunduk ke piring.
"Winda, tante kasih tahu ya...harusnya perempuan yang melayani laki-laki. Misal kalau nanti Winda ataupun Suci menikah, tugas istrilah yang menyiapkan dan melayani makan suami. Meskipun yang masaknya si bibi, tetapi urusan mengisi piring suami adalah istrinya." Bunda sengaja membuat nasihat ditujukan untuk keduanya agar Winda tak merasa dipermalukan juga dipojokkan.
"Oh gitu ya tan...maaf aku nggak tahu. Di rumah, aku biasa dilayani semuanya oleh bibi." Winda nampak meringis malu.
"Iya nggak apa-apa. Mulai sekarang kan bisa belajar. Ayo lanjut makan lagi...." sahut Bunda dengan senyum lembutnya.
"Hm, pacarnya Pak Nico ternyata 'anak mama'. Ih jangan sampa bang Candra punya calon istri sifatnya begitu, aku nggak akan cocok punya ipar seperti itu," Suci membatin.
Suasana kembali hening sampai makanan di piring ke empatnya itu habis. Karena Bunda mengingatkan untuk tidak boleh ada remah yang tersisa di dalam piring, mubadzir katanya.
Lauk yang tersisa di piring saji, selalu Bunda bawa pulang. Sebagian orang kaya mungkin akan merasa gengsi untuk membungkus makanan yang tak habis. Bunda Devi justru sebaliknya, ia akan membawanya untuk diberikan kepada tunawisma ataupun pekerja kebersihan yang ia temui di jalan, dengan ditambahkan nasi lagi.
"Semuanya, aku ijin ke mushola dulu ya..." Suci menggeser mundur kursinya agar bisa keluar. "Tunggu nak, Bunda juga sama, kita bareng yuk..."
"Aku keluar dulu ya, mau merokok." Nico merasa tak betah hanya berdua dengan Winda, ia mencari alasan untuk pergi dari meja itu. Saat Bunda dan Suci pergi bersama, Nico memperhatikan keduanya. Nampak mereka akrab dan terdengar tawa-tawa kecil, entah hal lucu apa yang mebuat keduanya tertawa saat menuju mushola.
"Ihhh Mas Nico, jangan pergi dong....aku nggak mau ditinggal." Winda merajuk manja, menahan Nico dengan menggelayut di lengan kekarnya.
"Ya sudah. Tapi jangan seperti ini, Winda..." Nico terpaksa duduk lagi, ia menurunkan pegangan tangan Winda di lengannya. Winda tersenyum lebar. Aahh senangnya....akhirnya ada waktu juga untuk berdua-dua an, batinnya.
Menunggu orang yang lagi sholat Duhur belum juga muncul, bagi Nico lamanya serasa seminggu. Ia jemu melayani obrolan Winda yang menurutnya unfaedah. Bicara trend fashion saat ini lah, bicara new arrival tas branded lah, bukannya bicara soal wawasan yang bisa dijadikan bahan sharing.
"Lama sekali Bun," Nico menyambut kedatangan Bunda dan Suci dengan decakan kesal. Berbanding terbalik dengan dua wanita cantik beda generasi yang datang dengan aura bersinar.
"Lama gimana, cuma 20 menitan juga, maklum perempuan abis sholat kan touch up lagi. Makanya, kamu ikut ke mushola juga biar nggak bete gitu..." Bunda meledek Nico yang mukanya ditekuk berlipat-lipat. Suci hanya mengulum senyum melihat bossnya tak berkutik di depan sang ibu.
"Bunda mau ke kantor lagi nggak? Aku dan Suci harus kerja lagi..." Nico mengalihkan pembicaraan yang telah membuatnya mati kutu.
"Bunda mau terus pulang. Kalian pakai aja dulu mobilnya, nanti suruh sopir jemput lagi kesini!"
Mereka memang berangkat bersama menggunakan mobil Alphard milik Bunda Devi dengan diantar sopir agar lebih efektif di jalannya.
"Winda, temani tante dulu ya, biar mobilmu diantar ke sini sama sopir kantor." Bunda menatap lembut Winda dengan mimik memohon. Winda mengangguk lemah, terpaksa ia menyetujui permintaan Bunda. Ia menyerahkan kunci mobilnya ke Nico.
Nak, semoga kamu bisa manfaatkan quality time berdua. Bunda bisa lihat tatapanmu, kamu menyukainya kan?
Bunda mengirimkan pesannya ke Nico yang mungkin saat ini baru keluar dari parkiran, diakhiri emot kedipan mata.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍