NovelToon NovelToon
Kepepet Cinta Ceo Arogan

Kepepet Cinta Ceo Arogan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / CEO / Romansa / Fantasi Wanita / Nikah Kontrak / Wanita Karir
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: keipouloe

Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.

Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.

Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Insiden pagi

Devan keluar kamar dengan langkah mantap, membuka pintu dan melangkah ke luar tanpa menoleh sedikit pun. Arash masih berdiri mematung sambil memegang sajadah, tubuhnya kaku seperti patung, seakan otaknya belum berhasil memproses apa yang barusan terjadi.

Ia menutup pintu perlahan, menempelkan dahinya ke daun pintu sambil menghembuskan napas berat.

“Ya Allah… apa sih yang barusan terjadi…?” bisiknya dengan suara gemetar.

Namun belum genap dua detik ia hendak berbalik untuk merapikan kamarnya yang berantakan, gagang pintu berputar lagi.

Arash membeku.

Pintunya terbuka, dan Devan masuk kembali—wajahnya datar, tenang, seolah tadi tidak tidur di kamarnya, tidak memeluknya semalaman, dan tidak bertingkah aneh.

“Loh… Pak?” Arash otomatis berdiri tegap. “Saya kira Bapak mau pergi…”

“Saya mau mandi,” jawab Devan santai.

Ia berjalan melewatinya begitu saja menuju lemari kecil tempat Arash menyimpan baju-bajunya.

Arash mematung.

“…di sini?” tanyanya lirih, suaranya naik turun antara shock dan takut.

Devan berhenti. Menoleh pelan.

Satu alisnya naik.

“Memangnya saya harus pulang ke rumah hanya untuk mandi?” Nadanya datar, nyaris seperti mengejek.

“Ya… iya dong, Pak,” jawab Arash, bingung. “Ini kan kos saya… bukan cabang rumah Bapak.”

Devan mendekat, langkahnya lambat tapi mantap, sampai jarak mereka tinggal sejengkal.

Suara baritonnya turun satu oktaf, membuat Arash langsung menelan ludah.

“Maulidia,” ucapnya pelan, mendominasi.

“Kalau saya mau mandi di sini, saya akan mandi di sini.”

Arash mundur satu langkah. “Tapi—”

Devan tiba-tiba menangkap pergelangan tangannya, menariknya hingga ia jatuh ke dada Devan. Seketika napasnya tercekat.

“Mau mandi di mana kalau bukan di sini, hmm?” suaranya rendah dan entah kenapa terdengar menggoda, meski ekspresinya tetap dingin.

Arash langsung gelagapan.

“Ya—ya di rumah Bapak lah! Ngapain mandi di kos saya?! Mau hemat air?!”

“Saya maunya di sini.”

“Loh—kenapa?”

“Karena saya tidak mau pulang.”

Kali ini Devan menjawab datar, jujur, tanpa lapisan.

Jawaban sesederhana itu justru membuat dada Arash tidak karuan.

Lalu suara Devan merendah, seperti sengaja mempermainkan ketenangan Arash.

“Mandi bareng, mau?”

“PAK!”

Arash langsung memukul bahunya panik.

“Jangan aneh-aneh! Saya bukan perempuan yang—”

“Sudah.”

Devan melepasnya, nada kembali tajam.

“Tidak usah dramatis.”

Tanpa menunggu reaksi Arash, Devan berbalik masuk ke kamar mandi dan brak! menutup pintunya keras.

Arash memijit pelipis sambil mendesah pelan.

“Ya Allah… orang kaya gabut banget sampai mandi di kosan orang…”

Belum sempat ia menenangkan diri, suara Devan menggema dari dalam kamar mandi.

“MAULIDIAAAAA!”

Arash menjerit kecil. “Astaghfirullah, apa lagi, Pak?!”

“Kenapa shampo ini tidak berbusa?!”

“Ya Bapak pakai yang mana?!”

“Yang warna hijau!”

Arash menutup wajah dengan kedua tangan.

“Pak… itu kondisioner…”

Sunyi sesaat.

Lalu terdengar gumaman tidak jelas dari Devan.

Tanda ia salah total.

Arash menyerah. “Pakai yang kuning, Pak…”

Setelah itu hening—entah karena Devan akhirnya menemukan shampo yang benar atau menyerah.

Arash menarik napas panjang, mengambil setrika kecilnya, dan mulai menyetrika baju Devan. Ia juga merapikan bajunya sendiri untuk bekerja. Setelah semua beres, ia memasukkan barang-barangnya ke tas.

Tepat saat ia menyetrika kerudungnya di depan cermin kecil, pintu kamar mandi terbuka—

—dan Devan muncul hanya dengan handuk melilit pinggangnya.

Arash langsung menjerit sambil menutup mata.

“PAK! ASTAGHFIRULLAH! Kenapa nggak pakai baju?!”

“Saya habis mandi.”

Jawabannya polos. Datar. Seolah itu penjelasan paling logis sedunia.

“Kemeja saya ada di kasur kamu.”

“Ya dipakai dong! Saya tutup mata nih!”

“Bagus.” Devan mengambil kemejanya santai. “Kamu mandi sana. Jangan lama-lama.”

Arash berlari masuk ke kamar mandi dengan wajah merah padam.

Setelah selesai mandi, Arash menengok keluar dulu—takut melihat “pemandangan haram” part dua. Setelah merasa aman, ia cepat-cepat memakai jilbab, merapikan pakaian, dan mengambil tas kerja.

Diluar Devan sudah duduk di kursi dengan kaki disilangkan, menatap ponselnya tanpa ekspresi.

Arash mendekat hati-hati.

“Pak… cari sarapan dulu yuk?”

Devan berdiri. “Ayo. Saya lapar.”

Arash hampir terpeleset mendengar nada suara itu—datar, tapi lebih manusiawi dari biasanya.

Mereka berjalan menuju mobil Devan. Seperti biasa, Devan mengarahkan Arash untuk duduk di jok sampingnya.

Di perjalanan, suasana hening. Devan fokus menyetir sementara Arash diam sambil memegang perutnya yang mulai lapar.

Sampai ketika ia melihat gerobak bubur ayam di pinggir jalan, ia langsung berteriak kecil.

“Pak! Berhenti! Berhenti! Saya mau bubur ayam!”

Devan melirik heran.

“Bubur? Serius?”

“Serius banget, Pak! Enak banget itu!”

Devan akhirnya menepi. Arash langsung turun, dan Devan mengikuti dari belakang.

“Loh, Bapak turun?”

“Saya mau buburnya.”

Arash terkekeh. “Oke, saya pesankan.”

Ia memesan dua porsi bubur ayam dan mereka duduk di bangku panjang pinggir jalan.

Devan berkata tajam, “Awas kalau nggak enak.”

“Saya jamin enak, Pak,” jawab Arash percaya diri.

Saat bubur datang, Arash langsung makan dengan senyum tulus.

Devan mencoba suapannya… dan Arash menahan tawa melihat reaksi bosnya.

Alis Devan terangkat.

Ia mencoba lagi.

Rasanya…

tidak buruk.

Bahkan… enak.

Arash tersenyum lebar. “Kan saya bilang, Pak. Enak.”

Devan tidak menjawab.

Tapi sudut bibirnya terangkat tipis—sebuah senyum kecil… yang langka.

Dalam hati, Devan berpikir:

Wanita ini berisik. Menyebalkan. Tidak pernah diam. Tapi…

Kenapa aku merasa lebih tenang daripada tadi malam?

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
Reni Anjarwani
lanjut thor
rokhatii
ditanggung pak ceonya🤣🤣🤣
matchaa_ci
lah kalo gajinya di potong semua gimana arash hidup nanti, untuk bayar kos, makan, bensin pak ceo?
aisssssss
mobil siapa itu kira kira
aisssssss
bagua banget suka ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!