Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengendalikan Mesin Administrasi
Udara dingin yang biasanya mengisi ruang kerja mendiang Emir Nayyirah terasa membakar pipi Sayyidah Yasmeen Azmira. Ia berdiri membelakangi singgasana yang kini kosong, menatap Khalī Tariq yang baru saja menyelesaikan perintah pertamanya: memanggil tiga Wazir utama Emirat.
Khalī Tariq kembali dengan cepat, ekspresi elang gurunnya yang biasa kini diselimuti lapisan baru berupa kewaspadaan dan kebingungan yang sangat tersamar.
“Tiga Wazir utama, Wazir Khalid, Wazir Abbas, dan Wazir Ghanim, sudah menanti di aula utama, Sayyidah,” lapor Tariq, suaranya dalam dan teredam.
Yasmeen mengangguk. Tiga nama itu adalah loyalis yang pernah bekerja untuk Jaddīnya (Kakeknya), orang-orang pragmatis yang hanya akan mengikuti kekuasaan sah. Memenangkan mereka berarti mengendalikan mesin administrasi.
Ia melangkah mendekati Tariq. “Khalī Tariq, jangan biarkan siapa pun mengganggu pertemuan ini. Termasuk Abīku.”
Tariq mengangguk, namun raut wajahnya tampak rumit.
“Hamba tahu, Sayyid Zahir sedang tidak tenang setelah wafatnya Emir. Hamba akan pastikan ia tidak mengganggu urusan administrasi istana, sesuai perintah Sayyidah,” ujar Tariq, suaranya sedikit ragu, menyeimbangkan antara menghormati ayah kandung tuannya dan menuruti perintah tuannya.
Yasmeen memiringkan kepala, mata hijaunya memancarkan kesadaran yang terlalu tua untuk anak berusia sepuluh tahun. Ia tahu keraguan Tariq. Loyalitas pada Zahir adalah tradisi; loyalitas padanya adalah darah murni Emirat. Dalam kehidupan yang lalu, Tariq selalu ragu sebelum akhirnya harus berdarah-darah di masa tuanya untuk melindungi keputusan bodoh Yasmeen.
Kali ini tidak akan ada keraguan.
“Tariq,” bisiknya, menurunkan suaranya sehingga hanya pria itu yang bisa mendengarnya, “semalam, Jaddī berkata padaku bahwa hanya darah murni Nayyirah yang bisa menyelamatkan gurun ini dari badai pasir yang diciptakan oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Siapa yang lebih Nayyirah di antara kami?”
Pria itu menegang, kata-kata itu menyentuh sumpah terbesarnya. Zahir adalah menantu yang diizinkan menikahi puteri Emir, tetapi Yasmeen adalah darah cucu tunggal sang Emir. Darah. Itulah segalanya di Emirat gurun ini.
“Hamba hanya melayani Emir Nayyirah, dan sekarang, penerus sahnya,” ucap Tariq, nada suaranya tegas tanpa cela. Kehati-hatian telah digantikan oleh ketegasan.
“Aku tahu itu,” balas Yasmeen. Senyum kecil yang nyaris tak terlihat tersungging di bibirnya. “Bagus. Dengarkan. Sebelum kita membahas masalah pajak atau perairan, ada satu hal yang paling penting: sambutan tamu.”
“Sambutan tamu, Sayyidah?”
“Permaisuri Hazarah dari Kota Agung Azhar akan mengirimkan utusan dalam beberapa hari untuk membawaku pergi, seolah aku adalah barang yang bisa mereka beli. Mereka akan menggunakan kedok pendidikan. Abīku akan menerima mereka, mengira aku akan pergi.”
Tariq menghela napas. Semua orang tahu niat jahat itu. Mereka membutuhkan Nayyirah untuk perdamaian perbatasan. Yasmeen, sebagai calon pengantin Harith Al-Qaim, adalah kunci stabilitas politik mereka. Zahir, yang diangkat menjadi wali, tampaknya sudah bersepakat untuk menyerahkannya.
“Apa yang harus kami lakukan?”
“Ambil alih sepenuhnya urusan penyambutan utusan dari Abī. Alasan yang bisa kau gunakan adalah: Emir Jaddī datang dalam mimpiku dan berpesan bahwa hanya ia yang harus memilih cara aku dididik. Dan ia memilih aku untuk tetap di Nayyirah,” kata Yasmeen, suaranya dingin dan pasti. “Jaddī memberiku otoritas untuk menolak usulan mereka. Buat ini terlihat seperti perintah spiritual. Jangan pernah biarkan Abī terlibat lagi dalam urusan tamu istana. Jelas?”
Tariq menunduk, nyaris membungkuk di hadapan otoritas spiritual dan darah yang begitu kuat. “Hamba akan melaksanakan, Sayyidah.”
Ia melangkah mundur, ekspresinya kini tidak lagi terbagi. Di mata Yasmeen, Tariq kini sepenuhnya miliknya, tameng pertama di kehidupan ini. Ini memberinya kekuatan yang ia butuhkan.
*
Lima menit kemudian, ruang kerja itu terisi. Tiga Wazir duduk di hadapan meja besar marmer, tampak gelisah melihat seorang anak kecil memimpin mereka. Yasmeen, didampingi Umm Shalimah yang berdiri gugup, duduk di kursi besar Jaddīnya—kursi yang terlalu besar, membuat kakinya menggantung di udara.
Yasmeen mencondongkan tubuh sedikit. “Aku sudah memanggil kalian karena wasiat Jaddī. Aku tidak akan meninggalkan Nayyirah.”
Para Wazir saling pandang. Sebelum Wazir Khalid (Wazir Administrasi) sempat bicara, pintu terbuka keras.
Sayyid Zahir berdiri di ambang pintu, raut wajahnya tertekuk antara keprihatinan palsu dan amarah yang nyata.
“Apa-apaan ini, Yasmeen?” tanyanya, nada suaranya disengaja agar terdengar sabar dan kecewa. “Mengapa kau mengadakan rapat penting tanpa sepengetahuan Abī? Para Wazir ini punya pekerjaan, Nak. Jangan jadikan peninggalan Jaddīmu sebagai mainan.”
Zahir melangkah masuk, bermaksud duduk di kursi samping yang biasanya digunakan Emir saat rapat informal. Ini adalah upaya untuk merebut kendali pertemuan.
Yasmeen menatap Abīnya lurus-lurus. Peran seorang Ayah penyayang adalah topeng terbaikmu, Abī. Tapi di kehidupan ini, aku akan mencabutnya.
“Aku sedang tidak bermain, Abī,” jawab Yasmeen, suaranya tajam seperti pecahan kaca. “Dan aku mengadakan pertemuan ini sebagai Sayyidah Nayyirah, pewaris sah tunggal dari kakekku, berdasarkan hukum istana yang Abī sendiri setujui.”
Wazir Khalid tersedak. Tidak ada anak berusia sepuluh tahun yang berani berbicara dengan presisi hukum seperti itu.
“Tentu saja kau pewarisnya,” Zahir memaksakan senyum yang menakutkan. “Tapi aku adalah walimu! Dan akulah yang bertanggung jawab atas urusan politik istana selama kau belum cukup umur.”
“Lalu, mengapa urusan kedatangan Utusan Permaisuri Hazarah harus Abī yang urus?” tanya Yasmeen dingin, menyinggung langsung poin yang membuat Zahir senang—peluangnya untuk bernegosiasi dan mendapatkan imbalan dari Azhar karena berhasil 'menyerahkan' Nayyirah.
“Tentu saja, karena ini urusan diplomatik. Tugas Abī adalah menjamin keamananmu di Kota Agung dan mengatur transisinya—”
“Tidak akan ada transisi, Abī,” potong Yasmeen. Dia melompat turun dari kursi besar itu. Untuk pertama kalinya, dia menghadapi Abīnya dengan berani. “Jaddī sudah memutuskan. Aku tidak akan pergi. Aku akan tetap tinggal di Nayyirah. Dan utusan itu, siapa pun mereka, akan diurus oleh Wazir Khalid, sesuai instruksiku. Tugas Abī di istana ini sebagai Wali—telah dicabut oleh darah Emirat.”
Kata-kata terakhir itu menusuk tepat ke jantung harga diri Zahir. Zahir hanyalah seorang menantu. Darahnya bukan darah Emirat. Dia mengendalikan Emirat melalui hubungan, bukan keturunan.
“Kau berani bicara begitu pada Abīmu?” Zahir bertanya pelan, matanya menyipit berbahaya. Dia meremehkan betapa cepatnya Yasmeen tumbuh dewasa, atau betapa hancurnya dirinya oleh rasa pengkhianatan di masa lalu.
“Jika Abī terus mengancam warisan yang diamanahkan Jaddī padaku, maka aku akan menganggap Abī bukan lagi Ayah, tapi musuh istana,” balas Yasmeen, suaranya lirih namun penuh ancaman. Ia menggigil sedikit di dalam, tetapi ekspresinya tak berubah.
Aku adalah Yasmeen yang dulu, tapi aku bukan lagi yang rapuh. Jika harus kehilangan hati nurani demi hidup, aku akan melakukannya.
Keheningan mematikan melingkupi ruangan itu. Wazir Abbas berdeham canggung, sementara Wazir Ghanim menghindari tatapan Zahir. Tariq berdiri kokoh di dekat pintu, tidak bergerak.
Zahir akhirnya mengerti. Dia tidak hanya kalah dalam argumen; dia kehilangan panggung dan otoritas yang ia pegang di mata para pejabat istana.
Ia menarik napas panjang, memasang kembali topengnya. “Baik. Kau berhak menentukan ke mana arah kakimu melangkah, Sayyidah . Aku hanya khawatir tentang reputasimu. Jangan sampai kau terlihat gila dan haus kekuasaan.”
Ia membungkuk kecil, penghinaan yang dingin. “Aku akan biarkan kau bermain politik dengan para Wazir. Jika kau butuh Abī, aku ada di kamar baca.”
Zahir berbalik, melangkah cepat, menyembunyikan tangannya yang terkepal. Ia tidak melihat wajah Yasmeen. Jika ia melihat, ia akan tahu bahwa di mata gadis itu tidak ada setetes pun ketakutan, hanya tekad untuk menghancurkannya.
Setelah pintu tertutup di belakang Zahir, Wazir Khalid dengan hati-hati memecah keheningan.
“Sayyidah,” katanya, “urusan Utusan Azhar adalah urusan besar. Jika Sayyidah menolak datang, kita harus siap menghadapi tekanan diplomatik. Mengalihkan tugas ini dari Sayyid Zahir akan menimbulkan konflik. Apakah ini keputusan mutlak?”
Yasmeen kembali ke kursinya. “Mutlak,” tegasnya. “Wazir Khalid, buat mereka menunggu. Alasan apa pun, entah itu kondisi cuaca, tradisi, atau pemakaman ulang Jaddīku. Ulur waktu minimal dua minggu. Katakan kepada mereka, Nayyirah tidak akan pernah diurus oleh seorang anak yang dididik di istana asing.”
Ia menoleh pada Wazir Abbas. “Kau urus keuangan dan perbatasan. Tidak ada pergerakan aset. Tidak ada pinjaman.”
Yasmeen mengeluarkan serangkaian perintah mendesak. Ia tahu apa yang harus dilakukan Wazir: mengunci Nayyirah. Para Wazir, terkesima oleh kejelasan dan kepastian dalam perintah gadis kecil itu—perintah yang bahkan lebih terperinci daripada Emir Nayyirah di tahun-tahun terakhirnya—hanya bisa mengangguk dan menulis.
Mereka telah melihat pertunjukan otoritas, dan itu adalah pertunjukan yang mengesankan.
Setengah jam kemudian, para Wazir telah pergi, menyisakan Yasmeen, Umm Shalimah, dan Khalī Tariq di ruangan sunyi itu.
“Sayyidah benar-benar… dewasa,” gumam Umm Shalimah, mengelus kepala Yasmeen.
Yasmeen bersandar ke sandaran kursi, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. Kepalanya pusing, hasil dari berakting penuh amarah dan wibawa yang bukan miliknya. Aku hanya gadis berusia sepuluh tahun, Tuhan. Tapi aku harus bertarung seperti seorang ratu perang yang telah bertempur selama dua dekade.
“Khalī Tariq, kumpulkan pengawal utama,” perintahnya lirih. “Katakan pada mereka untuk bersiap siaga di sekitar istana. Malam ini akan panjang.”
“Baik, Sayyidah,” jawab Tariq, kini loyalitasnya sekuat besi gurun.
Tariq membungkuk dan segera melangkah cepat keluar, meninggalkan ruang kerja. Kepergiannya memunculkan bunyi tapak kaki yang berat dan disiplin.
Yasmeen bangkit, kakinya kini menyentuh lantai. Ia merasa ingin menyentuh lukisan Jaddīnya di dinding, mencari kekuatan terakhir. Ia melangkah menuju ambang pintu besar yang baru saja ia lalui, dan di dekat kaki pintu itu, terlipat di atas lantai marmer gelap, tergeletak selembar perkamen tipis.
Surat itu tampak tua, terlipat rapi namun sudah lusuh di sudut-sudutnya, dan tintanya berwarna ungu pudar. Itu bukan kertas resmi istana. Umm Shalimah dan Yasmeen menukik bersamaan.
Yasmeen lebih cepat. Ia meraih perkamen itu, jemarinya yang dingin menyentuh permukaan kertas yang kasar.
“Surat apa ini, Sayyidah? Apakah itu wasiat dari istana Azhar?” tanya Umm Shalimah dengan napas tertahan.
Yasmeen menggeleng. Matanya memindai tulisan tangan yang ia kenal—tulisan Zahir. Tapi kontennya membuatnya terpaku. Itu adalah surat perjanjian yang ditujukan kepada klan Al-Muntasir yang kini berada di Kota Agung.
Jantungnya mencelos ke dasar perut. Ini tidak pernah ada di kehidupan lamaku.
Di bawah tawa pudar dan basah tinta ungu yang menandakan sebuah kesepakatan rahasia, tertera tandatangan Sayyid Zahir yang ia kenali. Tepat di sampingnya, ada janji: Penyerahan hak milik sumur perak di Pegunungan Selatan.
Ia membacanya lagi, lalu menemukan kalimat kecil di bagian bawah yang nyaris tak terbaca:
“...akan diserahkan sepenuhnya, efektif tiga hari setelah keberangkatan Sayyidah ke Kota Agung Azhar.”
Napas Yasmeen terhenti. Ini bukan hanya upaya untuk menjualnya sebagai pengantin. Zahir sudah menyiapkan semuanya, secara rahasia, untuk merampok Nayyirah begitu ia pergi. Dan kali ini, rencananya jauh lebih maju dan berbahaya dari yang ia ingat.