Aira memergoki suaminya selingkuh dengan alasan yang membuat Aira sesak.
Irwan, suaminya selingkuh hanya karena bosan dan tidak mau mempunyai istri gendut sepertinya.
akankah Aira bertahan bersama Irwan atau bangkit dan membalas semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fazilla Shanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan Tanpa Istri, Masa Depan Tanpa Suami
Malam pun berlalu dengan sangat cepat, rembulan dengan cepatnya pergi dari langit, begitu pula dengan taburan bintang yang lain.
Irwan baru saja bangun dari tidur nyenyaknya, perutnya sudah mulai sangat keroncongan pagi ini.
"Tumben banget gue laper pagi-pagi begini, padahal semalem juga istirahat lebih cepat," gumam Irwan.
Ia buru-buru bangun dan turun dari ranjangnya, dan segera melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit berlalu, akhirnya Irwan sudah siap dengan setelan kerjanya. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar.
"Aku lupa pasti Aira masih dirumah sakit, jadi dia nggak mungkin bakal masakin aku!" gumam Irwan setelah ia menuruni tangga.
Setelah berada di lantai satu, Irwan pun langsung mengambil hpnya, dia mencari nomor Lisa dan langsung menghubunginya.
Tut ... tut ... tut ...
"Halo Mas, ada apa pagi-pagi begini telepon? Apa kamu ingin menjemputku?" tanya Lisa.
"Rencana sih gitu Sayang, tapi kamu masak nggak? Tiba-tiba aja perutku lapar banget," ucap Irwan yang berharap jika Lisa mau membuatkannya sarapan.
"Aku udah cantik gini masa kamu suruh aku masak sih, Mas. Kamu kan banyak uang, tinggal pesan aja direstoran apa susahnya sih? Lebih irit waktu juga," jawab Lisa kesal.
"Iya sih sayang, kamu benar juga. Tapi, aku lagi kangen aja sama masakan rumahan. Kayaknya makan direstoran bakalan kalah deh sama masakan kamu," rayu Irwan.
"Nggak usah ngerayu deh, Mas. Aku udah rapih nih, udah siap mau berangkat ke kantor. Masa iya nanti malah malah keringetan lagi karena harus masakin kamu," jawab Lisa.
Ia benar-benar tidak hobi memasak. Makannya dirinya juga mengincar bosnya agar nanti hidupnya setelah berumah tangga bisa nyaman dan hanya tinggal tunjuk saja.
Irwan hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Lisa, karena ia sudah terbiasa makan makanan lezat olahan Aira, membuatnya tiba-tiba merindukan masakan istri gendutnya itu.
"Yaudah kalau gitu, aku nggak jadi menjemputmu Sayang. Aku baru ingat ada janji ketemu klien pagi ini," bohong Irwan. Karena ia berencana kerumah sakit untuk melihat keadaan anaknya.
"Yaudah, aku akan langsung order taksi aja kalau gitu," jawab Lisa yang sama sekali tidak masalah jika Irwan tidak jadi menjemputnya.
Irwan pun langsung mengakhiri panggilannya.
Ia segera masuk kedalam mobilnya dan mulai melajukannya meninggalkan pekarangan rumahnya. Perjalanan pagi ini sangat lenggang, hinggak Irwan bisa cepat sampai dirumah sakit tempat anaknya di rawat.
Ia bisa tahu karena kemarin Aira meminta biaya pengobatannya dengan logo rumah sakit. Irwan pun turun dari mobil dan mulai melangkahkan kakinya ke dalam lobi rumah sakit.
"Maaf sus mau tanya, apa ada pasien yang bernama Syifa? Dia masih kecil sus, usianya 3 tahunan," tanya Irwan pada suster yang berjaga di bagian administrasi.
"Untuk anak kecil yang bernama Syifa, udah pulang Pak tadi malam," jawab suster itu pada Irwan.
"Apa? Pulang? Apa suster yakin? tanya Irwan pada suster itu lagi karena Aira biasanya tidak pernah keluyuran, dan dia selalu langsung pulang jika sudah selesai dengan urusannya.
"Iya Pak, tadi malam pasien atas nama Syifa sudah dibawa pulang oleh keluarganya," jawab suster.
"Baiklah kalau begitu sus."
Irwan pun tak lagi memaksa suster, ia segera berbalik arah ke parkiran. Di benaknya kini bertanya-tanya, kemana perginya Aira dan juga Syifa.
"Apa karena aku selingkuh makannya Aira tiba-tiba pergi dan ngajak Syifa juga? Padahal semalam bukannya Aira pulang untuk mengambil baju ganti untuk Syifa selama dirawat," pikir Irwan, "agak masuk akan juga sih, dia kan tadi malam pake nangis-nangis segala. Tapi ya sudahlah biarkan aja, emangnya bisa apa wanita bodoh itu?" ucap Irwan.
Ia buru-buru masuk ke dalam mobilnya, ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Gara-gara harus pergi ke rumah sakit, aku sampai membuang-buang waktu. Harusnya aku udah sampai kantor, dan memesan sarapan di kantin," gerutu Irwan.
Irwan sama sekali tidak kepikiran dengan kondisi Syifa, hingga akhirnya ia sampai juga di kantor.
*****
Pagi ini, Aira sudah berkutat di dapur. Ia mengatakan pada pembantu rumah tangga dirumah bibinya itu agar ia saja yang memasak dan menyiapkan makanan untuk mereka sarapan.
"Apa Non Aira benar-benar bisa masak?" tanya Bibi yang masih mengawasi Aira, ia takut kena tegur oleh Bu Melati jika sampai melihat Aira yang merupakan tamu dirumah itu harus memasak.
"Bisa dong, Bi. Bibi duduk santai aja dan terima jadi, nanti Bibi tinggal menikmati hasil masakanku yang lezat," jawab Aira dengan percaya diri.
"Baiklah. Tapi kalau nanti Tuan dan Nyonya datang, Non Aira bantu jelaskan ya. Saya takut kena marah sama Nyonya, Non," ucap Bibi.
"Iya, Bibi tenang aja. Pokoknya aman deh, Bibi duduk aja disitu," jawab Aira sambil mengacungkan jempol.
Hampir satu jam mereka berkutat di dapur, hingga akhirnya masakan pun selesai juga. Ia segera menatanya di meja makan dengan cepat, karena waktu untuk sarapan sebentar lagi.
"Aku mau ke kamar Syifa dulu ya, Bi," pamit Aira setelah semuanya selesai.
"Iya, Non," jawab Bibi.
Aira pergi meninggalkan Bibi yang masih berada di dapur untuk pergi ke kamar anaknya dan melihat apakah anaknya masih tidur atau sudah bangun.
Aira membuka pintu kamar anaknya. "Anak Bunda ternyata udah bangun, ya. Cari Bunda, ya?" tanya Aira sambil tersenyum dan menggendong Syifa.
"Bunda, kita ada dimana?" tanya Syifa.
"Ada dirumah Oma, Sayang. Bagus kan rumahnya?" jawab Aira lembut.
Syifa langsung menganggukkan kepalanya. "Aku senang punya Opa dan Oma yang baik, Bun."
Jawaban polos dari Syifa membuat dada Aira merasa sesak dan sakit, karena Oma kandungnya tidak menyayangi Syifa seperti Bu Melati dan Pak Dani.
"Maafin Bunda ya, Sayang. Tapi, mulai sekarang Syifa harus tinggal disini sama Opa dan juga Oma, ya. Bunda harus kerja untuk kita berdua dan Bunda janji akan sering-sering main kesini sama Syifa," ucap Aira mencoba menjelaskan pada Syifa.
"Apa Ayah marah lagi sama Bunda?" tanya Syifa dengan suara cadelnya.
"Enggak, Sayang. Ayah nggak marah sama Bunda, hanya aja Bunda kan udah janji mau ngajakin Syifa jalan-jalan kalau udah sembuh, jadi Bunda harus bekerja keras. Mulai sekarang kita hidup tanpa Ayah, nggak apa-apa kan Sayang?" tanya Aira dengan hati-hati sambil menjelaskan juga pada Syifa.
Sebenarnya ia tahu kalau ucapannya ini akan menyakiti anaknya. Tapi jika tidak jujur dari sekarang, Syifa akan selalu berharap cinta dan kasih sayang dari Irwan.
Dan tak di sangka, Syifa malah langsung menganggukan kepalanya dan memeluk Aira dengan erat.
Momen itu harus terputus karena tiba-tiba pintu kamar Syifa ada yang mengetuk. Dan ternyata Bu Melati yang mencari Aira.
"Aira, kamu di dalam?" tanya Bu Melati.
"Iya, Bi," jawab Aira.
"Boleh Bibi masuk nggak?" tanya Bu Melati lagi.
"Masuk aja, Bi," jawab Aira.
"Wah, udah bangun aja cucu Oma. Gimana keadaan kamu sekarang, Sayang? Apa udah lebih baik?" tanya Bu Melati sambil mengelus kepala Syifa dengan lembut.
"Iya Oma, aku udah sehat dan nggak perlu pake suntikan lagi," jawab Syifa dengan riang.
"Iya dong cucu Oma kan sangat pintar sekali, pasti sehatnya lebih cepat. Ayo kita sarapan dulu, Bunda udah banyak masak buat sarapan kita," ucap Bu Melati.
"Maaf ya Bi kalau nanti rasanya ada yang nggak cocok sama lidah Bibi," kata Aira.
"Ah, mana mungkin. Tadi aja pas liat, Bibi udah ngiler banget, baunya wangi banget sampai Bibi nggak sabar buat langsung sarapan," jawab Bu Melati sambil terkekeh.
"Bibi emang paling bisa buat nyenengin hati aku," sahut Aira dengan tersenyum.
"Yaudah ayo kita segera ke meja makan!" ajak Bu Melati.
Ketiganya berjalan keluar kamar Syifa untuk ke meja makan dan ternyata di sana sudah ada Pak Dani yang menunggu mereka.
"Cucu Opa udah sembuh?" tanya Pak Dani.
"Udah dong Opa," jawab Syifa dengan ceria.
Ia sama sekali tidak canggung untuk berbicara dengan Bu Melati dan juga Pak Dani, walaupun Syifa baru mengenal mereka. Karena Syifa merasakan kasih sayang yang tulus dari keduanya.
"Ayo kita sarapan dulu, Pa. Aira udah masakin kita banyak menu lho, kayaknya dia bakalan sukses kalau bikin usaha kuliner," ucap Bu Melati.
"Ah, Bibi sangat berlebihan sekali. Itu hanya sedikit hobi aja Bi," jawab Aira sambil tersenyum malu.
"Ya sama aja. Nanti kalau ada waktu luang, Bibi sarankan kamu buka restoran," kata Bu Melati.
"Terimakasih buat supportnya, Bi."
Mereka pun berjalan ke meja makan untuk makan bersama, Aira sangat senang sekali bisa makan bareng layaknya keluarga karena selama dirumahnya dia hanya makan berdua aja sama Syifa.
"Syifa sama Bibi dulu nggak apa-apa kan, Sayang?" tanya Bu Melati yang tau jika Aira akan kesulitan makan jika ia sambil menggendong Syifa.
"Nggak apa-apa Bi, makan sambil gendong Syifa gini udah biasa kok," jawab Aira.
"Tapi kan di rumah ini sekarang banyak orang, Aira. Biarkan aja Bibi yang bantuin jagain Syifa sebentar, nggak repot kan Bi?" tanya Bu Melati pada pembantunya.
"Sama sekali tidak merepotkan Nyonya," sahut Bibi.
"Baiklah kalau begitu." Aira akhirnya menyerahkan Syifa pada Bibi.
"Nanti setelah Bunda selesai makan, baru kita main bersama dengan Oma lagi," ucap Bu Melati pada Syifa.
"Baik, Oma," jawab Syifa nurut. Ia benar-benar tidak rewel sedikitpun.
*****
Pak Dani sudah berangkat kerja. Kini hanya tinggal Bu Melati dan juga Aira, dan Syifa yang sedang bermain dengan mainannya.
"Apa rencana kamu hari ini, Aira?" tanya Bu Melati.
"Mungkin mau cari tempat dulu, Bi. Setelah itu bakalan langsung ketempat Gym yang udah bibi sarankan itu," jawab Aira.
"Kamu ingin cari tempat tinggal yang gimana? Apa yang besar seperti rumahmu?" tanya Bu Melati.
Aira menggelengkan kepalanya. "Yang kecil aja, Bi. Cukup untuk aku aja, karena aku cuma tinggal sendirian. Setelah aku pikir, sepertinya aku akan cari rumah kontrakan aja Bi. Kalau aku di kosan, aku nggak akan bebas. Apalagi mobilku juga nggak memiliki tempat parkir nantinya," jawab Aira menjelaskan.
"Bibi setuju aja selagi itu untuk kebaikan kamu. Apa kamu juga ingin bekerja? Maksud Bibi, nggak ada salahnya kalau kamu langsung praktek ruang lingkup pekerjaan. Agar nanti juga kamu juga bisa tau dunia kerja karyawan dibawah seperti apa," ucap Bu Melati.
"Untuk hal itu, aku pikirkan lagi nanti Bi. Aku rasa itu juga baik, semoga aja semuanya diberikan kelancaran," jawab Aira.
"Bibi sangat yakin kalau kamu bisa, Aira. Jangan patah semangat, selalu ingat kalau mereka akan tertawa kalau kamu gagal dan lemah," ucap Bu Melati.
"Bibi udah kayak motivator aja, keren banget kalau ngasih kata-kata," kekeh Aira.
Setidaknya ia melupakan sedikit sakit hatinya jika mendengar semangat dari Bu Melati untuknya.
"Iya dong. Bibi udah makan asam garam kehidupan, jadi Bibi tau apa yang kamu alami saat ini," jawab Bu Melati.
"Aku harap suatu saat nanti bisa membahagiakan Syifa dengan kemampuanku sendiri. Aku nggak lagi memikirkan diriku akan bagaimana esok ataupun kedepannya. Melihatnya selalu sedih mengharapkan kasih sayang dari Mas Irwan, malah membuatku tak tega. Aku harus buktikan pada Mas Irwan kalau aku bisa meskipun tanpa ada dirinya," ucap Aira dengan semangat.
"Nah, gitu dong. Itu baru semangat, apa kamu juga bicara sama Syifa mengenai hal ini?" tanya Bu Melati.
"Udah Bi, dan syukurlah Syifa juga mau mengerti. Syifa bahkan sama sekali nggak merengek saat aku bilang harus kerja untuk kebahagiaan kita berdua. Justru itu yang membuat hatiku sedih, Bi. Hatinya pasti merasakan patah karena kedua orang tuanya sibuk untuk mencari uang aja," ucap Aira sambil mengusap air matanya.
Bu Melati mengelus pelan punggung Aira. "Jangan terlalu jauh berpikirnya, bisa jadi Syifa mengatakan hal itu karena ia juga ingin kamu bahagia. Meskipun dia anak kecil, tapi ada ikatan batin yang kuat antara kamu dan juga Syifa, Aira. Dia juga ingin melihat kamu tersenyum bahagia.
"Apa yang Bibi ucapkan sepertinya ada benarnya juga. Aku akan berangkat sekarang aja Bi, aku harus menjemput kebahagiaanku dan juga Syifa segera," ucap Aira.
Bu Melati tersenyum. "Kalau kamu ingin Syifa tinggal bersama kamu kalau hari weekend, Bibi juga nggak masalah, Nak. Yang pasti setiap hari biarkan Syifa disini. Bibi akan merawatnya, karena Bibi udah menyayanginya sebagai cucu Bibi."
"Sekali lagi terimakasih banyak, Bi. Nanti aku pasti akan membalas semua kebaikan Bibi dan juga Paman," jawab Aira yang terharu dengan kebaikan Bu Melati dan juga Pak Dani.
Bu Melati menganggukan kepalanya sambil tersenyum. "Eh ngomong-ngomong, kamu bisa panggil Bibi Mama aja, kedengarannya lebih nyaman. Toh sekarang Bibi udah jadi Omanya Syifa kan?"