NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Bab 22 -

“Kita ganti mobil yuk. Antar aku ke rumah dulu,” pinta Thania, suaranya dibuat manja, tapi matanya menyiratkan maksud lain.

Aryo hanya mengangguk singkat. “Oke.” Ia memutar setir dengan mantap, melajukan mobil mereka menembus padatnya lalu lintas Kota J malam itu. Lampu-lampu jalan berpendar di kaca depan, menciptakan bayangan cahaya di wajah keduanya yang sama-sama tampan dan cantik, tapi berbeda isi pikiran.

Empat puluh menit kemudian, mereka tiba di rumah besar milik Thania—sebuah kediaman megah di kawasan elit yang dikenal hanya dihuni para konglomerat. Saat pagar besi otomatis terbuka, Aryo langsung disambut pemandangan garasi yang membuatnya tertegun.

Di dalamnya, berjejer rapi mobil-mobil sport mewah dari berbagai merek dunia: Lamborghini, McLaren, Porsche, dan satu Bugatti Veyron yang tampak mencolok karena bodinya berkilau keperakan.

“Wah,” gumam Aryo. “Punya kamu semua ini?”

Thania berjalan santai di antara mobil-mobil itu, ujung roknya bergoyang mengikuti langkah. “Sebagian punyaku,” jawabnya ringan. “Sisanya punya Ayah dan sepupuku.” Ia menoleh sebentar, menatap Aryo dari balik bahunya dengan senyum kecil yang sulit diartikan. “Keren kan?”

Aryo memperhatikan bagaimana ia menelusuri deretan mobil, langkahnya elegan dan sedikit genit, seperti model di pameran otomotif. “Aku rasa aku tahu arah pembicaraanmu,” kata Aryo, menautkan tangan di dada. “Kamu mau ajak aku ke arena balap, kan?”

Thania mengangkat alis, tersenyum puas. “Kamu ini cepat sekali menangkapnya. Apa kamu detektif?”

“Bukan,” jawab Aryo pendek, tapi senyumnya samar.

Setelah berdiskusi sebentar, mereka akhirnya sepakat menggunakan Bugatti Veyron yang tenaganya luar biasa. Mesin mobil itu menderu halus ketika Aryo menyalakannya—sebuah suara yang membuat jantung berdebar hanya karena mendengarnya.

“Aku suka suara mesin seperti ini,” kata Thania sambil menatap dashboard. “Entah kenapa, mendengar raungannya bikin stresku hilang. Dengar cowok-cowok sok jago balapan, lihat mereka saling salip, rasanya seru banget.”

Aryo hanya mengangguk. “Kamu mengerti soal mobil?”

“Sedikit banyak,” jawab Thania. “Tapi aku lebih suka sensasi adrenalinnya daripada mesinnya.”

“Kalau kamu?” tanyanya balik.

“Aku dulu sempat kerja di bengkel waktu remaja,” jawab Aryo. “Jadi, ya… sedikit banyak tahu cara memperlakukan mobil.”

“Bisa balapan?” suara Thania merendah, menggoda. Ia bergeser, membuat roknya sedikit tersingkap.

Aryo langsung mengalihkan pandang, fokus ke jalan. “Sudah lama tidak,” ujarnya datar, tapi ujung bibirnya terangkat samar.

Thania tersenyum puas. “Kalau begitu, malam ini kamu bikin aku senang, ya?”

“Aku tahu maksudmu,” balas Aryo dengan nada tenang. “Dengan ikut balapan, kan?”

Thania mengangguk cepat, matanya berbinar. “Yeay!” katanya sambil bertepuk tangan seperti anak kecil yang baru diberi permen.

Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di area perumahan super mewah di utara Kota J, yang ternyata punya sirkuit pribadi. Tempat itu terang benderang oleh lampu dan penuh mobil-mobil sport dari berbagai kelas, lengkap dengan deru mesin dan suara tawa para pembalap malam.

Begitu mereka turun dari mobil, Thania langsung jadi pusat perhatian. Seorang pria muda bertubuh atletis menghampiri dan dengan kurang ajar menepuk pinggang Thania.

“Hei, tidak sopan!” bentak Thania sambil menepis tangannya.

Pria itu hanya tertawa. “Kamu cantik. Aku Feris,” katanya dengan gaya sok akrab, mengulurkan tangan.

“Cara berkenalanmu norak. Minggir,” dengus Thania.

Melihat itu, Aryo segera datang mendekat. “Ada apa, Thania?”

Feris melirik sinis. “Oh, sudah ada jagoannya rupanya.”

“Apa maksudmu?” suara Aryo berat dan menekan.

“Wah, gaya ngomongnya kayak preman. Mau berantem?” ejek Feris.

Sebelum Aryo meledak, Thania cepat menengahi. “Tidak perlu berkelahi. Lebih baik diselesaikan lewat balapan saja.”

“Setuju,” kata Feris, menyeringai. “Tapi kalau balapan, harus ada taruhannya.”

Thania tersenyum dingin. “Oke. Kalau begitu, aku yang tentukan taruhannya.”

“Dengan senang hati.”

“Kalau kamu menang,” katanya menatap Feris tajam, “kamu boleh ajak aku pergi malam ini. Tapi kalau Aryo yang menang… kamu harus berlari telanjang keliling arena.”

Suasana mendadak riuh. Para penonton bersorak, sebagian tertawa tak percaya.

Feris mengangkat dagu. “Sepakat.” Ia menjabat tangan Aryo dengan kekuatan menantang.

Malam itu, ada dua puluh lima peserta. Aryo di posisi ke-20, Feris di posisi ke-11. Syaratnya: Aryo harus menyalip Feris dalam tiga putaran.

“Aryoo..—ehm, maksudku, Aryo—kamu yakin bisa?” bisik Thania di kursinya. “Katanya dia juara bertahan di sini.”

Aryo melirik sekilas. “Tenang. Aku tidak akan mengecewakanmu.”

Deru mesin terdengar bagai petir ketika semua mobil masuk ke garis start. Lampu hijau menyala—balapan dimulai.

Mobil Bugatti Veyron melesat bagai panah. Aryo menyalip beberapa mobil tanpa panik sedikit pun, kendalinya stabil. Thania sampai terpana.

Di putaran pertama, posisi mereka naik ke urutan 15. Teman-teman Feris mulai bermain kotor, mencoba menabrak dari samping. Aryo melihat lewat spion, lalu dengan cepat mengerem dan melakukan drift. Hasilnya: dua mobil lawan justru terpental keluar lintasan dan menabrak pagar besi.

“Gila! Gimana kamu bisa tahu waktunya pas banget?” seru Thania kagum.

Aryo hanya menatap ke depan. “Naluri.”

Memasuki putaran kedua, posisi mereka naik ke 12, tapi Feris sudah di urutan dua. Lawan-lawan lain terus mencoba menghalangi Aryo. Bodi mobilnya tergores, tapi dia tetap fokus.

“Maaf ya, Thania,” ucap Aryo sambil tersenyum kecil.

“Tidak apa-apa! Ayo cepat! Aku tidak mau dibawa berandalan itu!”

Putaran terakhir dimulai. Feris memimpin jauh di depan, tapi Aryo tiba-tiba menarik rem tangan, memutar kemudi dengan teknik drifting super halus. Mobil berputar nyaris di tempat, melewati celah sempit antara dua mobil lawan. Dalam hitungan detik, posisi mereka melesat ke depan.

Detik-detik terakhir, Bugatti mereka melaju sejajar dengan Jaguar milik Feris—dan… garis finish terlewati.

Selisihnya hanya beberapa sentimeter.

Penonton meledak sorakannya.

Aryo menang.

Thania memeluk Aryo erat dan spontan mencium pipinya. “Kamu luar biasa!”

Feris, dengan wajah memerah, mengangkat tangan pasrah. “Oke, aku kalah.” Ia pun menepati janji, membuka bajunya dan berlari keliling lintasan dalam sorakan tawa penonton.

Namun tak semua tertawa. Anak buah Feris menatap tajam ke arah Aryo dan Thania—pandangan yang menyimpan dendam.

Tak lama kemudian, dua pria elegan menghampiri mereka.

“Keren sekali, kau,” kata yang pertama. “Aku Faren.” Penampilannya necis, rambut klimis ke belakang, wajah seperti model iklan parfum.

“Dan aku Jaja,” kata yang satu lagi, lebih berwibawa.

Mereka mengajak Aryo dan Thania ke ruangan selebrasi. Di sana, mereka membuka botol anggur tua berusia seratus tahun.

“Anggur seperti ini, semakin tua semakin berharga,” ujar Jaja.

“Trik drift tadi keren sekali,” kata Jaja sambil memutar gelasnya, mata tajamnya menatap Aryo yang duduk santai di seberang meja. Suara musik dari ruang pesta masih menggema lembut, bercampur dengan tawa para tamu yang masih larut dalam euforia balapan. “Aku pernah lihat gaya seperti itu di Prancis dulu.”

Aryo hanya tersenyum kecil, mengangkat alisnya seolah tidak begitu memperhatikan. Tapi di dalam dirinya, sesuatu seperti alarm kecil berdentang.

Thania, yang sedari tadi duduk di sampingnya, menoleh penasaran. “Oh ya? Balapan yang mana?” tanyanya, matanya berkilat penuh minat.

“Balapan internasional lima tahun lalu,” jawab Jaja pelan, nadanya seolah menimbang sesuatu. “Aku masih ingat pembalapnya — drift di tikungan terakhir, lalu menyalip tiga mobil dalam waktu dua detik. Gerakannya identik sekali denganmu, Aryo.”

Faren ikut bersuara, separuh kagum separuh takjub. “Gak salah tuh, Ja? Kalau itu dia, berarti dia bukan cuma jagoan sirkuit lokal. Itu level internasional, bro.”

Aryo meneguk minumannya pelan. Ekspresinya datar, tapi matanya tajam seperti menimbang setiap kata. “Kebetulan mirip saja,” katanya kalem. “Aku belum pernah ke Prancis.”

Ia melontarkan senyum tipis, seolah menggoda suasana. Padahal dalam hati, Aryo tahu benar siapa pembalap yang dimaksud Jaja. Ya—itu memang dia. Misi rahasia PamungkasCorps lima tahun lalu. Operasi yang sampai sekarang masih tertutup rapat, bahkan untuk sebagian besar anggota inti. Ia hanya bisa berpura-pura lupa.

“Hebat,” ujar Faren, menepuk bahunya. “Gerakanmu bakal viral. Semua orang pasti ngomongin soal drift gila itu. Aku yakin videonya udah tersebar.”

Kata viral membuat Aryo sedikit menegang. Bayangan wajahnya terekam kamera publik jelas bukan kabar baik. Ia tahu konsekuensi jika identitasnya sampai terbongkar. Tapi ia cepat menenangkan diri — topi, helm, dan visor gelap sudah cukup menyamarkan wajahnya. Ia tersenyum lagi, kali ini lebih tenang. “Viral, ya? Semoga bukan aku yang disorot.”

Mereka semua tertawa, mengira Aryo sedang bercanda.

Setelah perayaan yang penuh gelak dan tawa, penyelenggara menyerahkan hadiah berupa jam tangan mewah dan kartu keanggotaan sirkuit itu. Simbol kehormatan, hanya untuk pemenang sejati. Aryo menerimanya sopan, walau dalam pikirannya, hadiah itu tidak lebih dari sekadar formalitas.

Beberapa jam kemudian, pesta mereda. Udara malam mulai lembab, diselimuti kabut tipis dari danau buatan di belakang rumah besar itu. Aryo berjalan bersama Thania menuju mobil mereka yang terparkir di sisi kanan halaman luas. Lampu taman berwarna keemasan memantul di bodi mobil mereka, menciptakan kilau lembut di wajah Thania.

“Kamu luar biasa, Aryo,” kata Thania sambil menatapnya, suaranya pelan namun tulus. “Aku sampai lupa kalau aku masih terjebak urusan jodoh dengan keluarga Zola.” Ada getir dalam ucapannya, seperti luka yang disembunyikan di balik senyum.

Aryo menatap lurus ke depan, tangan kirinya menggenggam kemudi, tangan kanannya menyalakan mesin. Suara halus mesin supercar itu mengisi keheningan. “Kalau begitu,” katanya dengan nada serius tapi lembut, “boleh aku minta kamu berjanji satu hal?”

Thania menoleh, sedikit tersenyum meski matanya tampak penasaran. “Apa itu?”

Aryo menatapnya sekilas, lalu mengembalikan pandangannya ke jalan. Senyum misterius terlukis di wajahnya. “Nanti saja aku bilang.”

Thania terdiam, bibirnya menahan tanya. Ia tahu Aryo bukan tipe yang banyak bicara, tapi setiap kalimatnya seperti menyimpan sesuatu yang dalam. Sesuatu yang tak bisa ia tebak — antara janji, ancaman, atau rahasia.

Mobil pun melaju menembus malam. Lampu-lampu kota berkilau di kaca depan, seperti garis-garis cahaya yang berlari mundur seiring kecepatan mereka. Di luar, dunia tampak berputar cepat, tapi di dalam mobil, waktu seolah berhenti — hanya ada dua orang, dua jiwa yang terhubung dalam diam, dilingkupi bayangan masa lalu dan kemungkinan masa depan yang belum terucap.

Angin malam berdesir lembut, membawa aroma bensin, aspal panas, dan sedikit wangi parfum Thania yang tertinggal di udara.

Aryo menatap bayangan kota di cermin spion. Dalam hatinya, satu kalimat terlintas —

"Malam ini belum berakhir. Dan permainan baru saja dimulai."

Bersambung...

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!