NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Pak Arsya masih menatapku. Tatapannya tajam tapi tenang,mungkin campuran antara terkejut dan bingung. Aku pun jadi kikuk, tangan refleks meremas ujung hoddie yang aku pakai. Sumpah, tadi aku dengarnya gak sengaja, tapi sekarang malah ketahuan seperti orang yang lagi nguping! Ya Tuhan, aku yakin banget Pak Arsya pasti salah paham tentang aku. Tapi kalau aku jelasin pun, bisa-bisa malah makin kelihatan kalau aku memang nguping pembicaraannya dengan Mbak Risa.

“Sa… saya pamit pulang dulu, Pak. Keenan gak bisa tidur kalau gak ada saya,” ucapku buru-buru, menunduk dalam-dalam. Tanpa berani menatap wajahnya lagi, aku langsung melangkah keluar dari rumahnya dengan langkah cepat.

Udara malam terasa agak dingin, tapi entah kenapa pipiku justru terasa panas. Begitu sampai di depan teras, aku langsung terkejut melihat Mbak Risa masih berdiri di sana. Matanya tampak sembab, seperti baru saja menangis. Ia buru-buru mengusap air matanya begitu melihatku.

“Mbak, saya duluan pamit, ya. Soalnya anak saya pasti mau tidur sekarang,” ujarku cepat, berharap bisa langsung kabur dari situ sebelum ditanya macam-macam.

“Aini!” panggil Mbak Risa, membuat langkahku otomatis terhenti.

“Ya, Mbak?” jawabku, menoleh sambil mencoba tersenyum. Senyum kaku, lebih tepatnya.

“Kamu… dengar semuanya?” suaranya pelan, tapi jelas curiga terhadapku.

Aku pura-pura bingung. “Dengar apa, Mbak?” tanyaku polos, padahal jantungku berdetak kencang.

Gak mungkin aku ngaku kalau aku tadi dengar pertengkarannya sama Pak Arsya, apalagi sampai tahu aib di antara mereka. Bisa-bisa aku dikira tukang nguping dan ember gosip keliling kompleks.

Mbak Risa hanya diam beberapa detik, lalu menghela napas pelan. “Ya sudah kalau gitu. Titip salam buat anak kamu, ya,” ujarnya akhirnya, tersenyum hambar sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Begitu pintu tertutup, aku langsung menarik napas lega, Dan rasanya lega banget, kayak baru lolos dari ujian hidup. Dengan langkah cepat aku melangkah pulang, bahkan setengah berlari.

Begitu masuk rumah, Kevin yang sedang duduk di ruang tamu langsung menatapku heran.

“Mbak kenapa? Kok kayak maling dikejar warga gitu? Ngos-ngosan pula!”tanyanya dengan alis terangkat.

“Ini lebih dari itu, Vin!” kataku sambil memegangi dada.

“Kamu jangan nanya apa-apa, karena hal ini gak bisa di-share ke kamu yang mulutnya ember!” ujarku cepat, lalu langsung kabur masuk ke kamar sebelum dia sempat membuka mulut lagi.

Di kamar, aku melihat bocah kecilku sudah terlelap dengan posisi miring ke kanan, peluk boneka dinosaurusnya yang udah butut. Wajahnya tenang banget, beda jauh sama aku yang masih penuh pikiran.

Aku segera mengganti baju dengan daster dan berbaring di samping Keenan. Menatap wajah polosnya bikin hatiku sedikit adem, tapi otakku tetap gak bisa berhenti mikir.

Ya ampun… gimana nanti kalau aku ketemu lagi sama Pak Arsya? Bisa-bisa aku gak tahu harus naro muka di mana. Ini telinga juga, bisa-bisanya dengar hal yang gak seharusnya didengar.

Aku mencoba memejamkan mata, tapi suara percakapan Pak Arsya dan Mbak Risa tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku. Tentang kandungan itu… tentang keputusan yang berat itu.

Kok bisa-bisanya Mbak Risa menggugurkan kandungannya? Padahal Pak Arsya jelas-jelas mau tanggung jawab. Lagi pula, Pak Arsya itu bukan orang sembarangan. Kalau masalahnya cuma takut dihujat orang, kenapa berbuat begituan sebelum nikah?

Aku menghela napas panjang. Ternyata, masalah orang itu emang beda-beda, ya. Dari luar kelihatan bahagia dan sempurna, tapi di baliknya bisa aja penuh luka.

Tapi entah kenapa, aku malah merasa kasihan sama Pak Arsya. Dia tadi keliatan begitu tulus waktu bilang ingin mempertahankan anak itu. Tapi... ya sudahlah, itu urusan mereka. Aku siapa juga, cuma orang luar yang gak sengaja tahu rahasia orang.

Lebih baik aku fokus ke urusan aku sendiri. Urusan yang gak kalah pusing yaitu perceraian sama Bang Rendra Senin depan. Semoga aja dia gak bikin ribet, gak banyak drama. Aku cuma pengen semua ini cepat selesai.

Aku menarik selimut sampai ke dada, menatap Keenan sekali lagi.

“Yang penting, kamu harus bahagia, Nak…” bisikku pelan.

Setelah itu, aku membiarkan mataku terpejam, berharap bisa tidur… walau bayangan wajah Pak Arsya dan ucapan Mbak Risa masih mondar-mandir di kepalaku.Sungguh Aini ternyata kamu kepo juga.

**

Hari Senin yang kutunggu akhirnya datang juga. Sejak pagi aku sudah berangkat lebih awal ke kantor, hanya untuk memastikan semuanya beres sebelum pergi. Aku langsung menemui Mbak Cici di ruangannya dan bilang kalau hari ini aku harus izin, karena ada sidang perceraian.

Untungnya, Mbak Cici bukan tipe orang yang banyak tanya.

“Oh, baiklah Aini! Kamu hati-hati ya. Kalau butuh tambahan waktu besok, kabari aja,” ucapnya lembut.

Aku langsung mengangguk dan berterima kasih padanya. Rasanya beban sedikit berkurang.

Dari kantor, aku berjalan keluar sambil membuka aplikasi ojek online di ponsel. Udara pagi masih agak sejuk, dan jujur saja,aku berusaha menenangkan diri. Ini hari penting, tapi entah kenapa perasaanku campur aduk. Antara lega dan gugup.

Baru beberapa menit menunggu di depan kantor, sebuah mobil hitam berhenti di depanku. Kacanya perlahan turun, dan betapa sialnya aku,ternyata itu mobil Pak Arsya.

“Mau ke mana kamu jam segini?” tanyanya dari balik kemudi, suaranya tenang tapi membuatku kaget.

Sumpah, aku gak ingin ketemu dia sekarang. Setelah kejadian malam itu, rasanya aku masih canggung banget. Apalagi aku sempat mendengar aib pribadinya dengan Mbak Risa. Aku takut kalau dia tiba-tiba marah atau bahkan memecatku karena dianggap lancang.

“Aini,” panggilnya lagi, sedikit lebih tegas kali ini.

Aku menoleh cepat. “Iya, Pak?” jawabku pelan.

“Kamu mau ke mana di jam kerja gini?” tanyanya lagi, tatapannya menelusuri wajahku.

“Ke pengadilan agama, Pak. Tadi saya sudah izin sama Mbak Cici,” jawabku jujur.

Alisnya sedikit terangkat. “Sendirian? Kamu yakin?”

Aku menarik napas dalam. “Iya, Pak. Gak apa-apa kok. Saya memang harus menghadapi semuanya sendiri. Lagian saya gak akan cengeng hanya karena pisah sama laki-laki itu.” Nada suaraku sedikit bergetar, tapi aku berusaha tegas.

Pak Arsya menatapku beberapa detik, lalu tersenyum tipis.

“Baguslah kalau begitu. Kamu harus tetap semangat, Aini. Jangan lupa, fokus ke anakmu, ya. Dia butuh kamu lebih dari siapa pun.”

Aku mengangguk pelan. “Iya, Pak. Terima kasih.”

Kebetulan ojek online-ku datang. Aku segera berpamitan, dan tanpa berani menatapnya lama-lama, aku naik ke motor itu dan meluncur menuju pengadilan agama.

---

Begitu sampai di sana, dadaku langsung terasa sesak. Dari luar, gedungnya terlihat tenang, tapi buatku… tempat ini seperti saksi dari akhir perjalanan panjang yang pernah penuh cinta.

Masuk ke ruang sidang membuatku gugup setengah mati. Tapi syukurlah, prosesnya gak terlalu rumit dan gak perlu pakai pengacara segala. Aku mencoba duduk tenang, menunggu giliran sambil memeluk tas di pangkuan.

Tak lama kemudian, Bang Rendra datang bersama kedua orang tuanya. Begitu melihatku, mereka langsung menyapa dengan wajah sedih.

“Aini…” panggil ibunya bang Rendra pelan.

Aku berdiri, menyalami beliau berdua dengan sopan.

Aku tetap tersenyum dan memberi hormat, karena bagaimanapun, mereka bukan orang yang bersalah. Yang bersalah adalah anak mereka, laki-laki yang dulu pernah kucintai.

“Aini, kamu yakin benar-benar mau pisah sama Rendra? Gak kasihan sama Keenan?” tanya bapaknya bang Rendra, nada suaranya masih saja tulus seperti dulu.

Aku menatap beliau sambil menahan emosi yang bergejolak.

“Aini yakin, Pak. Gak ada lagi yang bisa diperjuangkan dari pernikahan kami. Lagi pula, Bang Rendra juga sudah menikahi Dela. Jadi, keputusan Aini buat berpisah ini sudah bulat. Soal Keenan, Insya Allah dia gak akan kekurangan kasih sayang.”

Bapaknya bang Rendra hanya mengangguk pelan, terlihat pasrah. Sementara itu, Bang Rendra duduk diam sejak awal sidang. Wajahnya datar, tapi aku tahu, ada rasa bersalah di balik pandangan itu. Sesekali dia menunduk, terutama ketika pihak pengadilan membacakan alasan-alasan yang membuatku menggugat cerai.

Akhirnya, putusan dibacakan.

Kalimat sederhana tapi berat terdengar di telingaku

“Mulai hari ini, pernikahan antara Rendra dan Aini dinyatakan berakhir.”

Aku menarik napas panjang, menatap kosong ke depan. Rasanya aneh. Ada lega, tapi juga perih.

Kini aku resmi berstatus janda.

Tidak ada lagi ikatan apa pun antara aku dan dia, kecuali satu hal yaitu anakku Keenan yang juga merupakan anaknya.

**

Aku keluar dari ruang sidang sambil menggenggam akta cerai erat-erat. Kertas itu ringan, tapi maknanya berat sekali.

Di luar, angin berembus pelan menyapu wajahku. Aku menatap langit yang mulai mendung, mencoba tersenyum meski hatiku masih getir.

Aku lega karena akhirnya bebas dari luka lama. Tapi tetap saja, ada rasa sedih yang sulit dijelaskan. Aku sadar, setelah ini pandangan orang mungkin akan berbeda. Status “janda” itu akan menempel di pundakku, entah sampai kapan.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!