Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Cinta adalah lautan yang membeku,
Di mana keintiman hanya menjadi lapisan es tipis.
Liburan adalah panggung sandiwara terbesar,
Di mana pelukan adalah penjara dan ciuman adalah sumpah palsu.
Ia mencari hantu, tak sadar hantu itu adalah dirinya sendiri.
Dan ia mengawasi, tak sadar ia mengawasi kehancurannya.
Vila mewah di Bali menawarkan pemandangan laut yang spektakuler, tetapi bagi Reno, keindahan itu terasa seperti ejekan. Mereka tiba. Suasananya terasa formal dan kaku, kontras dengan gemuruh ombak. Reno meletakkan kopernya dan segera memeluk Adelia pelukan yang terlalu erat, terlalu lama, seolah ingin menyegel kebohongan di antara tulang-tulang Adelia.
"Indah sekali, Sayang," kata Reno, memaksa kegembiraan dalam suaranya.
"Ya, Mas. Indah," jawab Adelia, suaranya tenang. Adelia bergerak dengan kesadaran penuh, seolah tubuhnya sendiri adalah kamera pengawas yang merekam setiap detail. Matanya mengamati. Adelia membalas pelukan Reno dengan hangat, tetapi pikirannya sibuk menganalisis.
Setiap kemesraan Reno kini terasa berlebihan, seperti lukisan yang terlalu banyak diberi warna. Ini bukan kegembiraan seorang suami yang bahagia; ini adalah upaya menutupi ketakutan.
Kecurigaan Adelia tetap pada jalur Mas Reno merasa bersalah karena menyembunyikan masalah bisnisnya yang sangat besar.
Reno, merasakan tatapan tajam Adelia, semakin gugup. Ia sadar, liburan ini bukan pelarian, melainkan sangkar kaca.
Hari pertama di Bali diisi dengan ketegangan tersembunyi. Saat menikmati sunset di teras vila, Adelia mengeluarkan ponselnya dan melihat foto lama Saskia.
"Mas," panggil Adelia, suaranya pelan dan penuh duka. "Aku masih tidak percaya Kakak menyembunyikan ini dariku. Aku merasa dikhianati, bukan oleh seorang kekasih, tapi oleh satu-satunya keluargaku.
Aku tahu dia pernah patah hati, tapi kenapa dia tidak pernah bilang dia bertemu mantan kekasihnya lagi di pinggiran kota? Kenapa dia harus menanggung anak itu sendirian?"
Reno duduk di sampingnya, meraih bahu Adelia. Ia harus memainkan peran suami yang supportif. Ia menyentuh Adelia dengan kelembutan yang menyiksa, karena ia tahu ia pantas menerima kebencian Adelia.
"Mungkin Kakak hanya malu, Sayang," kata Reno lembut. "Dia tahu kita akan menilai. Dia tidak ingin membebanimu. Dia mencintaimu, itu sebabnya dia menjauh."
"Dia berbohong, Mas," bisik Adelia, air matanya menetes ke air kolam. "Kebohongan Kakak adalah pisau tumpul yang melukaiku, Reno. Aku tidak peduli dia hamil, aku peduli dia memilih merahasiakannya dariku selama ini. Dia tidak percaya padaku."
Reno merasakan sakit yang nyata. Ia adalah penyebab kebohongan itu. Ia harus melihat Adelia menderita karena ditinggalkan oleh Saskia, padahal ia yang telah mengambil Saskia. Aku akan membayar harga untuk air mata ini, Adelia.
Adelia menghapus air matanya, tiba-tiba matanya berubah tajam. "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi, Mas. Aku akan membantu Kakakku."
Puncak Drama: Mencari 'Hantu'
Adelia mendongak, matanya penuh tekad yang dingin.
"Mas," kata Adelia, menggenggam tangan Reno. "Aku tahu kamu pria yang sangat terhubung. Kamu punya koneksi bisnis yang luas, jaringan keamanan, dan semua sumber daya. Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku. Aku ingin kamu menjadi penyelamat Kakakku."
Reno menegang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Apa itu, Sayang?"
"Aku ingin kamu mencari tahu," ucap Adelia, nadanya bergetar. "Aku ingin kamu menggunakan semua yang kamu miliki, semua koneksimu, untuk mencari pria yang menghamili Kakak di pinggiran kota itu. Aku tidak peduli dia mantan kekasihnya, dia harus bertanggung jawab! Setidaknya, dia harus memberi dukungan finansial! Kakakku sedang sakit dan sendirian. Aku tidak akan membiarkannya berjuang sendiri!"
Permintaan itu menghantam Reno seperti palu godam. Ia dihadapkan pada tugas yang paling kejam: mencari hantu, mencari dirinya sendiri.
Reno menarik napas, wajahnya harus menunjukkan keseriusan dan dukungan heroik.
"Aku akan melakukannya, Sayang," jawab Reno, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "Aku akan mencarinya. Aku janji, aku akan menggunakan semua koneksiku. Tapi kamu harus mengerti, ini akan menjadi tugas yang sangat sulit dan sensitif.
Aku harus menyelidiki secara rahasia, Sayang. Ini akan membutuhkan banyak waktu dan privasi, bahkan saat kita di sini. Kita tidak bisa gegabah, kita harus menciptakan jejak yang meyakinkan."
Adelia mengangguk, lega. "Aku tahu, Mas. Aku percaya kamu. Aku tahu kamu adalah suami dan paman yang baik. Tapi tolong, cepat. Aku tidak mau Kakak berjuang lama. Aku akan mendukungmu. Tapi, jangan sembunyikan apapun dariku tentang proses pencarian ini."
Reno kemudian mengundurkan diri ke balkon, berpura-pura menghubungi koneksi rahasianya. Dalam monolog internalnya, ia panik. Aku harus menciptakan identitas palsu yang meyakinkan. Aku harus menciptakan pria yang tidak ada, yang bisa diburu, tetapi tidak pernah ditemukan. Pria itu harus segera 'menghilang' setelah Saskia pindah jauh.
Reno menghabiskan waktu berjam-jam di balkon. Ia mulai menyusun skenario. Pria itu harus memiliki nama umum, latar belakang yang sulit dilacak dan yang terpenting, ia harus memiliki alur cerita yang berhubungan dengan pinggiran kota tempat mereka tinggal sesaat.
Reno bahkan mulai membuat beberapa email palsu dan nomor telepon burner untuk menciptakan jejak digital yang meyakinkan.
Adelia memerhatikan dari dalam. Reno duduk di balkon, membelakanginya, berbicara dengan suara rendah (kepada dirinya sendiri atau saat merekam pesan alibi), dan sesekali melihat ke ponselnya.
Sore harinya, Adelia memutuskan untuk menguji Reno. Ia sengaja meninggalkan ponselnya di kamar tidur dan meminta Reno menemaninya berjalan-jalan di pantai.
"Mas, tolong ambilkan handuk di koperku," pinta Adelia saat mereka di pantai.
Reno segera kembali ke vila. Adelia secara sadar menunggu di kejauhan. Ketika Reno kembali, ia tidak membawa satu ponsel pun—bahkan ponsel utamanya.
"Kenapa kamu tidak bawa ponselmu, Sayang? Takut ombak?" tanya Adelia, nada bercanda.
"Tentu saja tidak," jawab Reno, sedikit defensif. "Aku meninggalkannya karena aku tidak mau terganggu oleh urusan pekerjaan atau urusan 'pencarian' ini. Aku ingin fokus padamu, Sayang. Lagipula, aku tidak mau ada yang salah mengartikan data kontak yang sedang kususun untuk alibi Kakak."
Jawaban itu melegakan Adelia, tetapi di mata Reno, ia melihat ketegangan. Dia takut aku akan melihat ponselnya. Kecurigaan Adelia bergeser: Dia pasti sedang berkomunikasi dengan investor berbahaya yang ia sembunyikan dariku. Dia takut aku akan melihat pesan yang berkaitan dengan uang.
Malam itu, Adelia mencoba mengembalikan keintiman fisik mereka. Ia mendekati Reno di tempat tidur, mencoba memecahkan lapisan es di antara mereka.
"Mas," bisik Adelia, memeluk Reno erat. "Lupakan soal Kakak. Lupakan soal pekerjaan. Kita di Bali. Aku butuh kamu. Aku butuh suamiku kembali. Jiwa kita terasa berjauhan, Mas."
Reno mencintai Adelia, dan tubuhnya merespons, tetapi ia teringat perjanjiannya dengan Saskia. Jangan pernah menyentuhnya lagi. Perjanjian itu kini menjadi benteng moralnya yang baru.
Reno membalikkan badan, memeluk Adelia dengan sangat erat, tetapi ia menjaga jarak fisik yang halus. Ia mencium kening Adelia dengan kelembutan yang puitis, ciuman yang terasa seperti mengunci pintu besi.
"Aku juga butuh kamu, Sayang. Aku sangat mencintaimu," bisik Reno. "Tapi tolong beri aku waktu. Tugasku mencarikan pria untuk Kakakku sangat membebani. Aku harus fokus. Aku tidak mau cintaku padamu ternoda oleh kecemasan ini. Aku janji, setelah urusan ini selesai, aku akan menjadi milikmu sepenuhnya. Aku mohon, bersabar."
Adelia merasakan kehangatan pelukan, tetapi ia merasakan dinding tak kasat mata yang dipasang Reno. Ia menafsirkan penolakan itu sebagai stres luar biasa yang dialami Reno akibat tanggung jawab ganda, Ia merasa bersalah karena telah mendorong suaminya terlalu jauh.
Keesokan paginya, Adelia merasa frustrasi. Ia dicintai, tetapi ditolak secara intim. Ia merasa dipercaya , tetapi dibohongi .
Saat sarapan, Adelia menatap Reno yang sibuk dengan ponselnya.
Adelia menarik napas dalam-dalam. Ia akan menembus pertahanan Reno dengan kebenaran yang kejam.
"Mas," kata Adelia, suaranya tenang, puitis, dan menusuk. "Aku ingin bertanya sesuatu. Tolong jujur. Jawab aku sebagai seorang suami, bukan sebagai pebisnis."
Reno mendongak, wajahnya tegang. Ia tahu ini adalah momen krusial. "Tanya saja, Sayang."
"Jika... jika ada pilihan di mana kamu harus memilih antara semua kekayaan dan kesuksesan yang sudah kita bangun, semua janji yang kita buat atau sebuah rahasia kecil yang kamu sembunyikan sendirian, yang membuatmu menjauh dariku,"
tanya Adelia, mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya mengunci mata Reno. "Mana yang akan kamu pilih, Mas? Mana yang lebih penting untuk masa depan kita? Keutuhan janji kita atau beban rahasiamu?"
Reno terpaku. Pertanyaan Adelia, yang ia maksudkan tentang 'bisnis/keuangan', secara sempurna menggambarkan dilema Reno yang sebenarnya . Reno harus memilih, dan keheningannya di vila Bali itu adalah jawabannya. Waktu terasa berhenti, dan hanya suara ombak yang menjadi saksi bisu kebisuan Reno.