Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Senja baru saja tiba di rumah diantar Rara. Tubuhnya masih sedikit lelah setelah pemotretan panjang, tapi hatinya ringan karena merasa puas dengan hasil kerja hari itu. Ia memutar knop pintu dan melangkah masuk.
Begitu pintu terbuka, langkahnya mendadak terhenti.
Di atas sofa ruang tamu, tampak beberapa tas belanjaan dari merek-merek ternama tersusun rapi, lengkap dengan kotak sepatu, perhiasan, dan amplop tebal berwarna krem. Seketika Dahinya berkerut heran.
Belum sempat ia menyentuh apa pun, pintu kamar terbuka. Saka muncul dengan kemeja santai, namun wajahnya tampak tegang. Ia berjalan menghampiri tanpa basa-basi.
“Ini,” ucapnya datar sambil menunjuk barang-barang itu. “Aku belikan semua untukmu. Barang branded dan uang tunai lima puluh juta. Asal kamu berhenti dari pemotretan itu.”
Senja menatapnya lama, seolah mencoba memastikan apakah ia tak salah dengar.
“Memangnya kenapa?” tanyanya akhirnya, nada suaranya tenang tapi matanya tajam.
Saka menghela napas kasar, lalu berkata, “Aku sudah bilang, kan? Keluargaku tidak suka ada anggota keluarga yang jadi publik figur. Mereka menjaga privasi keluarga besar. Aku nggak mau mereka kecewa hanya karena kamu—”
“Stop, Mas!” potong Senja cepat, suaranya meninggi, tegas.
Ia melipat kedua tangannya di dada, berdiri tegak menatap suaminya. “Kenapa aku harus peduli dengan aturan keluarga kamu? Sementara kamu sendiri bahkan nggak pernah menganggap aku istri.”
Saka terdiam, matanya membulat. Wajahnya memerah menahan amarah dan gengsi yang tercabik-cabik.
Namun sebelum ia sempat membalas, Senja melanjutkan dengan suara bergetar tapi tegas,
“Ambil saja semua barang itu… juga uangnya. Aku nggak butuh. Aku lebih memilih pekerjaanku, biar orang-orang tahu aku bisa berdiri sendiri. Aku nggak mau terus diremehkan oleh orang arogan seperti mu!.”
Tanpa menunggu jawaban, Senja berbalik dan melangkah menuju kamar.
Saka hanya bisa berdiri mematung, tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan emosi yang tak tahu harus ditumpahkan pada siapa.
Pintu kamar tertutup keras
Brak!
Suara hentakannya menggema di ruangan, membuat Saka sedikit terlonjak.
Ironis, pikirnya. Biasanya dia yang membuat Senja terkejut. Tapi malam ini, justru Senja yang berhasil mengguncang egonya.
Saka menatap pintu yang tertutup itu lama, hingga akhirnya ia memilih kembali ke kamarnya.
Napasnya masih berat, sisa emosi barusan belum sepenuhnya reda. Ia menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang, menunduk, dan mengusap wajahnya dengan kasar.
Sunyi.
Hanya suara detak jam dan dengung pendingin ruangan yang terdengar.
Namun tak lama, ponselnya bergetar di meja nakas.
Nama Citra muncul di layar.
Ia sempat ragu untuk menjawab, tapi akhirnya menekan tombol hijau.
“Ya?” suaranya datar, tanpa tenaga.
Di seberang sana, suara lembut Citra terdengar genit dan penuh percaya diri.
“Aku lihat kamu tadi di mall… belanja banyak banget. Barang-barang branded, lho.”
Nada suaranya naik sedikit, manja. “Kamu beli buat aku, ya?”
Saka menghela napas, memejamkan mata sejenak sebelum menjawab.
“Enggak. Itu buat Senja.”
Keheningan langsung menyergap di seberang sambungan.
Bisa membayangkan bagaimana ekspresi Citra saat ini, wajahnya yang tadi mungkin tersenyum, kini pasti mengeras kecewa.
“Untuk Senja?” ulang Citra pelan, nadanya berubah getir. “Apa sepeduli itu kamu dengannya?"
Saka membuka matanya, menatap langit-langit kamar tanpa ekspresi.
“Dia tetap istriku. Aku tak mau dia berpenampilan terlalu sederhana."
Terdengar suara helaan napas panjang.
“Aku nggak percaya kamu masih bisa bilang begitu, Saka!” Suara Citra meninggi, terselip nada marah bercampur sakit hati. “Aku pikir kamu membelinya untukku!”
Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon terputus dengan bunyi tut… tut… tut…
Saka hanya menatap layar ponsel yang masih menyala lalu tiba-tiba menjadi gelap.
Tidak ada ekspresi kecewa, tidak juga sesal. Ia meletakkan ponsel itu di atas meja, lalu bersandar di kepala ranjang.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap langit-langit kamar.
Malam terasa panjang, dan pikirannya entah kenapa justru kembali pada suara Senja tadi — suara tegas yang penuh harga diri.
Tanpa ia sadari, jemarinya tergerak mengetuk pelan sisi kasur, memikirkan sesuatu yang bahkan tak ingin ia akui:
bahwa mungkin, untuk pertama kalinya… ia mulai melihat Senja sebagai wanita yang tak lagi bisa ia kendalikan dan entah kenapa, hal itu membuat dadanya terasa sesak.
****
Senja membuka pintu kamar perlahan. Waktu sudah lewat pukul delapan malam, dan perutnya mulai bernyanyi minta diisi.
Ia berjalan menuju dapur, berniat sekadar memasak mi instan seperti biasanya sederhana, cepat, dan cukup untuk mengisi perut.
Namun langkahnya terhenti di ambang pintu.
Aroma gurih menyeruak ke seluruh ruangan, membuat matanya membesar tak percaya.
Saka… ada di dapur.
Pria itu berdiri di depan kompor dengan celemek abu-abu tergantung di lehernya, wajahnya tampak serius menatap panci. Di meja makan, tersaji semangkuk sop hangat yang masih mengepulkan uap, udang goreng saus mentega berkilau menggoda, cumi saus tiram, ayam rica-rica pedas, dan sambal hijau di wadah kecil.
Senja menatap semua itu dengan bibir setengah terbuka.
“Masakanku saja kalah jauh…” gumamnya tanpa sadar.
Saka menoleh, sedikit kaget melihatnya.
“Oh, kamu sudah keluar,” ujarnya singkat. Lalu tanpa banyak bicara, ia mengambil dua piring dan meletakkannya di atas meja, berhadapan.
“Ayo makan,” katanya datar. Tapi dari nada suaranya, ada sesuatu yang berbeda bukan nada perintah, lebih seperti ajakan yang canggung.
Senja menatapnya, lalu tersenyum menggoda sambil melangkah pelan mendekat.
“Wah, tumben banget, Mas. Masak sendiri segala,” ujarnya ringan. “Tapi… aku boleh tanya sesuatu?”
Saka mengangkat alis, menatapnya dengan pandangan curiga.
“Apa lagi?”
Senja menahan tawa. “Ini… di dalam makanan ini, nggak ada peletnya, kan?”
Saka mendengus keras, matanya melotot kecil. Wajahnya menerah karena kesal.
Senja tertawa pelan, suaranya renyah memecah suasana kaku di antara mereka.
“Ya ampun, aku bercanda, Mas. Tumben kamu marahnya lucu.”
Saka mendesah, memalingkan wajahnya sambil mengambil sendok. “Kalau kamu nggak mau makan, ya sudah. Aku makan sendiri.”
Senja cepat-cepat duduk, menahan tawa sambil memandangi wajah Saka yang masih berusaha terlihat tenang padahal jelas-jelas tersinggung.
Ia menatap meja makan yang kini terasa hangat, bukan hanya karena masakannya, tapi juga karena sesuatu yang berbeda di antara mereka.
Apa itu? hehe jangan lupa dukungan untuk author ya, dengan, like komen, vote 😂 biar makin semangat update nya.
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you