"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 | LETAK KERTAS (II)
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Masih mengikuti petunjuk dariku, Zofan bergegas bangkit dari posisi duduknya. Melihat gerak-geriknya, aku yakin Zofan tengah mendekati lokasi yang kuberi tahu barusan.
“Gila, benar ada di sini!” Wajah Zofan tampak terpukau setelah berhasil mengeluarkan salah satu gulungan kertas, yang kami targetkan, dari celah dinding kayu itu.
Salah satu alis dan sudut bibirku terangkat secara bersamaan, dengan penuh percaya diri menunjukkan rasa bangga terhadap diriku sendiri. Aku memang berhak mendapat pujian, Zofan. Ayo, ungkapkan saja langsung padaku. Tak usah ragu.
“Di mana letak kertas yang satunya lagi?”
Loh, di mana pujian untukku?!
“Hei, Nata? Kau mendengarku?” Si mulut remix itu berbisik dengan wajah bodohnya.
Lidahku mendecak sebal. Pandanganku terpaku pada langit-langit kamarku untuk beberapa saat, melampiaskan sesalku di sana, sebelum kurespon kembali omongan Zofan.
“Setengah meter ke depan dari meja,” jawabku tak niat.
“Meja yang mana?”
“Ck, meja di depan sofa, Zofan!”
Alis Zofan bertaut menangkap suaraku yang pasti terdengar tak mengenakkan di telinga, “kenapa kau marah padaku?”
Tentu saja karena kau tak tahu terima kasih! Padahal caraku menyampaikan informasi penting yang kau butuhkan itu sudah sangat keren. Huh.
“Terima kasih sudah menolongku, Natarin. Tapi …”
Eh, apa dia mendengar isi hatiku? Apa aku tak sadar mengucapkannya?
“… bisa tolong kau beri arahan yang lebih spesifik, di bagian mananya, di depan meja ini?”
Senyumku tanpa sadar mengembang, hanya sedikit! Kata terima kasih dan tolong dari bocah bintang sekolah ini cukup menghibur hatiku yang sempat dongkol.
Diawali dengan dehaman berbangga diri, kukabulkan lah permohonannya itu, “kemarin kulihat ada sesuatu yang mengganjal tikar. Saat kuinjak bagian itu, permukaannya jadi lebih datar, dan terdengar suara deritan dari situ.”
Usai menerangkan, kutambah beberapa kalimat pendukung yang lebih rinci, “kurasa ada lantai kayu yang tak terpasang rata di balik sana, coba saja kau cek. Barangkali ada bagian yang pernah disungkit untuk menyimpan sesuatu di bawahnya, seperti adegan di film-film.”
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Sempurna! Itu yang seharusnya aku dengar dari mulutmu, Zofan.
Tanganku mengibas sebagian rambutku yang menutupi pelipis, tak lupa menekuk wajah ala pemeran utama di seri-seri televisi, “tentu saja. Yang sedang bicara denganmu ini Natarin, kau tahu?”
Balasanku lantas membuat bibir Zofan mencebik, tampak menyesali pujian singkatnya itu, dan aku suka dengan ekspresi yang dia tunjukkan itu. Itu tandanya dia mengakui kehebatanku, haha!
“Oh, iya, Nat … Mengenai Sora—”
Kreek.
Bunyi derit pintu khas engsel karatan terdengar dari arah seberang, beberapa meter di belakang Zofan. Aku tak bisa melihat keadaan di sana, tapi respon panik Zofan sudah cukup menjawab situasi yang sedang berlangsung.
“Nak Zofan, kenapa lama sekali di dalam? Tadi katanya mau bantu nenek panen sayur?”
“Sepertinya nenek mendengar kau bicara. Mengobrol dengan siapa, Nak?”
Suara wanita paruh baya samar-samar terdengar olehku, dan aku pun mengenali dengan baik gelombang unik yang sampai di telingaku itu. Gelombang suara yang hampir serupa milik Sora.
Tapi, sebentar, sepertinya ada yang berbeda dari nenek.
Apa hanya perasaanku?
“Y – ya, Nek! Zofan baru saja akan ke sana, tadi teman Zofan menelepon untuk membahas tugas sekolah dengan teman. Sekarang sudah selesai, nenek tak perlu repot kemari!”
Piip!
Dan panggilan video pun berakhir begitu saja ditutup oleh Zofan, tanpa penutupan.
∞
Tubuhku langsung bersandar bebas ke kepala kursi belajar dengan napas yang berhembus lega. Sudah seperti agen-agen rahasia yang baru menuntaskan misi tersembunyi.
Sungguh hari libur yang menyenangkan, heh?
Kepalaku menggeleng-geleng tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Kemudian, kuraih ponselku yang kembali bergetar tanpa suara, masih dalam mode getar yang kusetel beberapa saat lalu. Kali ini getarannya singkat, hanya dua kali.
Pesan masuk dari Zofan: “Aku kumpulkan dulu kertas-kertas itu, dan sepertinya besok kita sudah bisa mulai bergerak dan mengupas isi-isinya. Sampai jumpa!”
Drrt. Drrt.
Zfn Angktn : “Dan ...”
Zfn Angktn : “Trmksih.”
Balon pesan terakhirnya sukses membuatku cekikikan geli.
Cih, gengsi sekali berterima kasih padaku. Padahal tadi dia juga yang memuji dan memohon pertolongan dariku. Sekali lagi, aku tak keberatan melihat tingkahnya yang ogah-ogahan ini. Ada kepuasan tersendiri melihat dia bergelut dengan harga dirinya.
Baiklah, mari kita tutup segala yang berkaitan dengan Zofan sampai di sini dulu. Cukup sudah masalahnya untuk hari ini, karena masih ada hal-hal menyenangkan yang lebih penting dan berharga untuk kulakukan, selain mengurusi bocah dengan segala tetek bengeknya itu.
Apalagi, dia sengaja memberi harapan palsu dan menipuku dengan meminjam ponsel milik Sora, hanya agar aku mengangkat panggilan darinya. Sialan. Dasar rubah licik, memanfaatkan kebaikan Sora demi kepentingan pribadi!
Tanganku membentuk kepalan yang kemudian kuayunkan seakan ingin memukul ponselku, membayangkan kalau ponselku itu adalah wajah Zofan!
“Eh?” Kepalaku lantas menggeleng cepat, menepis bayanganku barusan. Tak sudi tanganku harus memegangi wajah Zofan setiap hari, kalau-kalau ponselku berubah menjadi wajahnya.
“Iyuh! Amit-amit!” Mulutku berseru lantang seraya tanganku mengusap celana, bersandiwara menghilangkan jejak ponsel yang mana tahu benar ada bekas wajah Zofan di sana gara-gara bayanganku tadi.
Maaf, kurasa otakku sudah rusak semenjak Zofan datang membawa masalahnya padaku.
Tubuhku merenggang beberapa kali, dengan kedua tangan yang kurentangkan lebar-lebar, seolah sedang menerima dan mengumpulkan banyak angin segar yang masuk dari jendela dan pintu balkon. Kakiku juga sudah kubawa berdiri di tengah kamarku.
Saatnya kembali ke rencana awalku, melakukan segala aktivitas yang kugemari, habis-habisan!
Hidup ketenangan, hidup hari libur!
Drrt. Drrt.
Pesan masuk dari Mama, dan ingin rasanya aku meraung-raung dan berguling menggelinding di atas lantai kamar yang baru selesai kubersihkan setengah jam yang lalu ini.
Bagaimana tidak? Mama mengirimiku pesan, “Kakak, tolong bersihkan rumah sebelum jam makan malam, ya. Mama dapat kabar dari Papa kalau hari ini Papa pulang dadakan bersama teman kantornya, dan mereka akan menginap sampai lusa.”
Ini semua gara-gara Zofan yang selalu membawa kesialan padaku!
TIDAAAAAK, waktu liburku yang berharga sirna sudah!
Dan aku benar-benar menangis karena itu, kenapa akhir-akhir ini semesta kejam sekali padaku?
...
Bersambung