Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kematian Vani
Beberapa jam sebelumnya…
Musik mengalun dari headphone milik Vani. Ia bersenandung di depan laptop, membuka media sosial sambil memutar beberapa playlist. Di sisi lain, tangannya sibuk mengetik pesan di aplikasi hijau yang terhubung dari ponsel ke laptop.
[Gue yakin, pasti tuh bocah nangis-nangis di gudang]
Vani tersenyum lebar membaca pesan dari Agam. Mereka tengah mengobrol di grup khusus.
[Biar tau rasa. Kok, gue benci banget ya sama dia? Apa karena muka culunnya]
[Kita kerjain yang lebih gong lagi entar. Biar tau rasa tuh si Culun] Kini giliran Vani yang membalas cuitan Kevin.
Tiba-tiba, musik di headphone Vani mati, padahal di laptop lagu masih berputar. Ia membuka alat itu dan mengetuk-ngetuknya pelan. "Masa iya rusak, perasaan gue baru beli."
Karena sejak tadi sibuk bernyanyi, tenggorokannya pun mendadak kering. Vani menoleh ke nakas, tapi teko persediaan air minum sudah habis. Ia memanggil Bi Inah beberapa kali. Sayangnya, yang dipanggil tak kunjung datang.
"Ehhh, ke mana, sih. Ah, mana gue males ke bawah lagi."
Dengan gegas, ia turun dari ranjang. Namun, lampu kamar tiba-tiba padam. Dalam gelap gulita, Vani terpaksa meraba-raba ke kasur untuk mengambil ponsel. Setelah menemukannya, ia menyalakan flash dan mengarahkan cahaya ke pintu.
Seketika, Vani menjerit saat sorot cahaya menyingkap sosok yang berdiri tepat di depan pintu. Wujud yang selalu menakuti semua orang: pocong. Kain kafannya penuh tanah merah, wajahnya hancur parah.
"Gue cuma halu, kan? Gue halu!" kata Vani dengan gemetar. Ia kembali mengarahkan cahaya ponsel ke tempat sebelumnya. Kali ini kosong. Vani menarik napas lega, meyakini bahwa tadi hanya halusinasi.
Namun, Vani mencium bau bangkai dari arah samping. Ia menoleh ke kanan, ujung matanya menangkap sosok yang berdiri tepat menempel di bahunya. Dengan tangan gemetar, Vani mengarahkan cahaya flash. Benar saja, sosok yang terbalut kain kafan itu berpindah tempat.
Sekali lagi, Vani menjerit kencang. Tak disangka, musik di laptop tiba-tiba mengeras volumenya. Gadis itu tak peduli dengan keadaan sekitar; yang terlintas di pikirannya hanyalah keluar dari kamar, meski tanpa penerangan.
Baru beberapa langkah, kakinya terasa ditarik hingga Vani terjerembab ke lantai. Teriakannya memecah kesunyian, memanggil seluruh anggota keluarganya.
Di dapur, terdapat ruang khusus untuk menyetrika. Bi Inah tengah bergulat dengan tumpukan cucian. Ia tidak menyadari sosok kurus, tinggal tulang, dengan jemari panjang berselaput kuku hitam, tengah menutupi telinganya. Akibat itu, Bi Inah tak bisa mendengar teriakan Vani.
Tubuh Vani dibanting ke sana kemari oleh sosok yang tak kasat mata. Terakhir, dalam posisi terlentang, gadis itu dicekik hingga kesulitan bernapas. Ia merasakan aliran darahnya terhenti, sakit yang menusuk dari kepala hingga kaki.
Pandangannya menjadi samar. Gambaran ketika menyakiti Ratna muncul seperti film hitam putih yang diputar perlahan. Nyawanya terasa di ujung tenggorokan, namun Vani masih bisa mendengar seseorang berbisik, “Ini pembalasan untukmu karena sudah mengganggu dia.”
Mata Vani semakin membelalak. Takdir memang tak ada yang tahu. Gadis dengan cita-cita tinggi itu mengembuskan napas terakhir dalam tragedi yang memilukan.
Lampu kembali menyala, musik laptop kembali normal. Kematian Vani malam itu diiringi lagu perpisahan yang mengalun lembut.
Saat pintu dibuka dari luar, teriakan Bu Mely menggema. Sayangnya, Vani tak lagi mendengar. Ia mustahil bangun lagi. Yang tersisa hanyalah namanya yang tercatat di buku misterius milik Ratna, tempat semua rasa sakit yang pernah ia torehkan dibalaskan.
......................
Semua teman-teman Vani sudah mengetahui bahwa Vani telah meninggal. Sebelum dimakamkan, dilakukan autopsi untuk memastikan penyebab kematiannya. Kevin dan geng pun berbondong-bondong ke rumah sakit. Tidak ada yang menyangka kejadian ini, karena beberapa saat sebelumnya mereka masih aktif saling bertukar pesan.
Kila yang paling terpukul. Ia terus menangis di kursi tunggu. Kevin pun menundukkan tubuhnya, memberikan pundaknya sebagai tempat Kila menumpahkan seluruh kesedihan.
"Apa gara-gara kita ngomongin si Ratna, ya?" tanya Bobi tiba-tiba.
"Apa urusannya anj***! Lu kira si Ratna malaikat pencabut nyawa?" Kevin kesal.
Gadis di sampingnya semakin tersedu.
Dengan hati-hati, tangan Kevin mulai menyentuh bahu Kila, mengusapnya perlahan. Sebenarnya, di luar persahabatan mereka, Kevin dan Kila memiliki kedekatan khusus, namun selama ini disembunyikan dari semua orang.
Itulah yang membuat Kila menyesal. Padahal ia sudah berencana memberi tahu Vani bahwa sebenarnya ia dan Kevin sedang dalam fase pendekatan. Namun, Vani pergi begitu cepat, tanpa sempat mendengar kabar bahagia itu.
Sementara itu, Agam terduduk lemas di lantai, melamun. Ia memikirkan kejadian di rumahnya tadi sebelum mengetahui kabar kematian itu.
Saat sibuk di kamarnya, Agam tiba-tiba mendengar suara bel rumah berbunyi.
Anehnya, beberapa kali dibunyikan, pintu tetap tak terbuka. Agam turun untuk memastikan siapa yang datang. Rumahnya tampak sepi, padahal ia tahu semua penghuni sedang tidak keluar.
"Ini orang pada ke mana, sih?" gerutunya.
Agam membuka pintu. Dahinya berkerut saat melihat Vani berdiri sambil terisak. Ada yang berbeda, wajahnya tampak sangat pucat.
"Lu kenapa?" tanya Agam. "Ada masalah? Sini masuk!"
Gadis itu diam. Ia malah menunduk, membiarkan rambut panjang menutupi seluruh wajahnya. Agam semakin heran. Bukankah beberapa menit yang lalu mereka masih saling mengirim pesan?
"Vani, apaan sih lu? Aneh tau, gak?!"
Tiba-tiba, perlahan Vani mengangkat wajah. Mendadak, iris matanya memutih semua. Urat-urat menonjol di permukaan kulitnya, membuat Agam berteriak ketakutan. Ia segera masuk, menutup pintu dengan keras.
Di tengah kepanikan, ponsel yang sedari tadi digenggam berbunyi. Setelah Agam mengangkatnya, ternyata kabar duka itu datang dari Vani sendiri. Kejadian ini membuat Agam frustrasi. Ia bingung, ada apa sebenarnya?