"Cium gue, terus semua masalah selesai."
"You're crazy!?"
"Kenapa gak? Sebentar lagi lo bakal jadi istri gue, jadi wajar dong kalau gue nyicil manisnya dari sekarang."
Kesya Anggraini Viorletta, gadis cantik, pintar, kalem, dan setia. Sayangnya, dia sudah punya pacar Kevin, ketua geng motor sekolah sebelah.
Menikah sama sekali gak pernah ada di pikirannya. Tapi wasiat almarhum papanya memaksanya menikah muda. Dan yang bikin kaget, calon suaminya adalah kakak kelasnya sendiri, Angga William Danendra cowok ganteng, atletis, populer, tapi badboy sejati. Hobi balapan, tawuran, keluyuran malam, dan susah diatur.
Bagi Angga, apa yang sudah jadi miliknya enggak boleh disentuh orang lain. Dia posesif, pencemburu, dan otoriter. Masalahnya, pacar Kesya ternyata musuh bebuyutannya. Dua ketua geng motor yang tak pernah akur, entah kenapa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Sibuk Pacaran Sama Cowoknya
Di sebuah rumah berlantai dua bergaya Eropa, sekumpulan remaja laki-laki tampak berkumpul dengan berbagai aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk bermain game, ada yang nonton televisi, ada yang adu strategi lewat papan catur, dan ada juga yang sekadar asyik membicarakan gosip anak tetangga sebelah. Di meja panjang, aneka cemilan, minuman, sampai beberapa botol whisky pun berjejer rapi.
Tepat di depan televisi, Rafa sebagai tuan rumah terlihat fokus main game, dengan Angga dan Arel duduk di kedua sisinya.
Double kill!
Triple kill!
Maniac!
Savage!
"Anjay savage," celetuk Arel, lirikan matanya melipir ke arah Angga.
Angga hanya menampilkan senyum miring sekilas, tangannya sesekali terangkat menikmati hisapan rokok yang tinggal separuh di sela jarinya.
"Masih belum ada kabar tentang cewek itu?" tanyanya tiba-tiba, meski mata tetap terpaku pada layar ponselnya.
"Maksud lo…" Rafa menggantung kalimat, melirik ke Angga di sampingnya.
"Hmm," sahut Angga singkat, seakan tau arah pikirannya.
"Sejauh ini sih gue belum pernah denger apa-apa, mungkin dia masih belum sadar," timpal Arel, sambil mengedikkan bahu.
"Kenapa emang?"
"Gak ada cuma nanya," jawab Angga datar, menggeleng kecil.
"Lo masih kepikiran soal kejadian malam itu? Gue juga. Dan emang cuma dia yang bisa ngungkap apa yang sebenarnya," ujar Rafa, sembari meraih gelas berisi cairan bening lalu meneguknya tanpa ragu.
"Sedikit," ucap Angga.
"Tapi yang paling gue tunggu adalah saat lihat dia hancur dalam permainan yang dia ciptain sendiri." Smirk tipis terbit di bibirnya.
"Tenang aja cepat atau lambat semua bakal kebuka. Kesalahpahaman juga pasti bisa dilurusin," kata Rafa, menepuk bahu Angga pelan.
"Mending minum dulu biar gak stres," tambah Arel. Ia menuangkan isi botol kaca ke gelas kecil lalu menyodorkannya pada Angga.
"Heh," Angga mendengus, tapi tetap meraih gelas itu dan meneguk habis isinya.
"Gue gak peduli sama kesalahpahaman, itu urusan dia bukan gue." Gelas kosongnya ia letakkan kembali di meja.
"Tapi soal kecelakaan malam itu sampai sekarang gue masih ngerasa janggal. Kalian tau sendiri kan, rem, kelistrikan, semua normal pas dicek. Tapi kok bisa jatuh sejauh itu? Aneh apalagi ini kecelakaan tunggal. Kecuali kalau rem blong masih masuk akal. Tapi nyatanya gak. Makanya gue heran," ucap Rafa, menatap bergantian ke Angga dan Arel.
"Sepemikiran. Gue juga kepikiran gitu waktu itu," balas Arel sambil mengangguk.
Drrtt! Drrtt! Drrtt!
"Ck," desis Angga. Dahinya berkerut melihat nama di layar ponsel. Naya. Tumben.
"Ada apa lagi ya?" gumamnya, tapi tetap mengangkat panggilan itu.
"Halo kak? Lo di mana? Mama masuk rumah sakit, gue disuruh nyusul lo sekarang!" suara lembut tapi panik terdengar dari seberang, bahkan sebelum ia sempat menyapa.
"Apa? Gue pulang sekarang. Lo di mana?" Angga buru-buru mematikan rokok di asbak, lalu berdiri sambil meraih kunci mobilnya.
"Gue masih di rumah lo..."
"Lima menit gue sampai. Jangan kemana-mana. Gue pulang sekarang," sela Angga cepat, lalu menutup panggilan sepihak. Tanpa pamit, ia melangkah tergesa keluar.
"Ga lo mau ke mana?" teriak Rafa, heran melihat Angga yang kali ini terlihat benar-benar gugup.
"Ada urusan gue cabut dulu!" jawab Angga tanpa menoleh, berlari keluar rumah lalu menghampiri mobil sportnya di halaman.
Tak secepat ucapannya, sekitar delapan menit berkendara kemudian, mobilnya berbelok masuk ke halaman rumah. Di teras, Kanaya tampak mondar-mandir seperti setrikaan. Begitu mobil berhenti, gadis itu langsung menghampiri, bersamaan dengan Angga yang cepat turun.
"Kak lo..."
"Buruan masuk, kita ke rumah sakit sekarang!" potong Angga, sigap membukakan pintu untuk Kanaya lalu berlari ke kursi kemudi.
Brumm!
Mobil melaju menembus jalanan ibukota yang padat. Meski terburu-buru Angga menjaga kecepatan karena ada Kanaya di sampingnya.
"Kenapa bisa sampai masuk rumah sakit? Mama sakit?" tanyanya, melirik Kanaya sekilas dari ekor mata.
"Kata eh, maksud gue kata mami tadi mama keserempet motor. Sekarang lagi dirawat di rumah sakit," sahut Kanaya, wajahnya jelas panik.
'Tante Silvia itu mertua lo sekarang Naya, jangan lagi manggil tante! batinnya, menegur diri.'
Angga tersenyum tipis mendengar sahutannya. "Lo tenang aja. Tadi mami juga sempat nelpon gue. Katanya mama baik-baik aja, udah ditangani dokter."
Kanaya spontan menoleh. "Lo udah tau? Kok masih nanya?" alisnya terangkat.
"Emang kenapa? Gue cuma belum sempat nanya penyebabnya apa," balas Angga tenang, matanya tetap fokus ke jalan.
Setelah itu hening. Kanaya tak menjawab lagi, begitu juga Angga yang sibuk mengemudi.
Ckitt!
Mobil biru muda itu akhirnya masuk halaman rumah sakit dan berhenti di parkiran. Angga cepat melepas seat belt, begitu juga Kanaya yang buru-buru keluar.
"Pelan-pelan," tegur Angga sambil menggenggam pergelangan tangannya.
"Tapi..."
"Gue gak mau lo jatuh, terus luka, berdarah, dijahit, akhirnya ikut dirawat di sini," sela Angga.
"Ck lebay!" Kanaya memutar bola mata, tapi memperlambat langkahnya mengikuti Angga.
"Hallo mami ada di ruangan berapa?" tanya Angga, usai menempelkan ponsel ke telinga.
[...]
"Oh oke Mi." Ia mengangguk kecil, lalu kembali melangkah menyusuri koridor sambil masih menggenggam tangan Kanaya.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan pintu tertutup rapat. Angga menunduk, menatap Kanaya.
"Mama ada di dalam?" tanya Kanaya pelan.
"Hm." Angga mengangguk, lalu membuka pintu.
Ceklek!
Benar, di dalam sudah ada Naomi yang duduk di ranjang, ditemani Silvia, Adi di sampingnya. Ketiganya menoleh serentak begitu pintu terbuka. Senyum mereka terulas melihat Angga dan Kanaya berdiri di ambang pintu terlebih karena tangan keduanya masih saling menggenggam.
"Gue harap lo ngerti situasi. Jangan sampai ngajakin gue ribut di sini. Kita harus kelihatan baik di depan mereka. Lo paham maksud gue kan?" bisik Angga.
Kanaya menoleh, menatapnya sesaat. "Gue tau," balasnya pelan sambil mengangguk.
"Naya," sapa Naomi hangat.
"Ma," Kanaya langsung mencium punggung tangan Naomi, lalu Silvia dan Adi, diikuti Angga di belakangnya.
"Mama gak kenapa-kenapa kan? Kok bisa sampai gini Ma?" tanya Kanaya cemas.
"Musibah gak pernah ada di kalender Naya. Kalau tahu bakal begini, mama gak akan keluar tadi," jawab Naomi lembut sambil menggenggam tangannya.
Kanaya menarik napas berat. "Mama habis dari mana? Kok bisa sampai keserempet motor?" tanyanya, sambil menyentuh perban di lengan kiri Naomi.
"Mama habis ziarah ke makam papa kamu. Pas mau ke mobil, mama gak lihat jalan dengan benar, akhirnya keserempet motor. Tapi mama baik-baik aja kok. Sebenarnya lengan ini gak parah cuma mami kamu maksa harus diperban." Naomi meringis kecil, melirik Silvia di sampingnya.
Grep!
Kanaya langsung memeluk ibunya erat, matanya berkaca-kaca. "Kenapa mama gak bilang ke Kanaya? Kenapa harus pergi sendiri? Kan Kanaya bisa nemenin," ucapnya, air mata jatuh tak terbendung.
"Jangan nangis Naya. Mama beneran baik-baik aja. Kamu kan baru menikah, mama gak mau ganggu waktu kamu sama Angga. Mama cuma suntuk di rumah, jadi pengin jalan-jalan sekalian mampir ke makam papa." Naomi mengusap lembut punggung putrinya.
Mengganggu waktu sama gue? Salah Ma. Dia sibuk pacaran sama cowoknya tadi! batin Angga, hatinya panas mendengar ucapan mertua.