Menjadi seorang dokter bedah ilegal di dalam sebuah organisasi penjualan organ milik mafia berbahaya, membuat AVALONA CARRIE menjadi incaran perburuan polisi. Dan polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus itu adalah DEVON REVELTON. Pertemuan mereka dalam sebuah insiden penangkapan membuat hubungan mereka menjadi di luar perkiraan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan Letaknya
“Ya! Pakaianmu, Ava. Lepaskan!” perintahnya, suaranya semakin menekan karena Ava hanya diam saja.
Ava masih terkejut menyilangkan tangannya di depan dada. “A-aku—“
“Tidak ada waktu lagi, Ava!” hardiknya. “Ini bukan waktunya untuk malu! Vittorio … dia pasti menaruh sesuatu di tubuhmu. Aku harus memastikannya.”
“Kau yakin?” tanya Ava, ketakutan yang baru mulai menjalar.
“Ya!”
Ava menggeleng, menolak untuk percaya. “Itu tidak mungkin. Itu gila.”
Tanpa basa-basi lagi, Devon meraih kerah blus sutra hitam yang melekat pada tubuh Ava.
Ava berteriak, protes, tangannya mencoba menahan. Tapi Devon sudah tidak bisa mendengar apa pun selain detak jam waktu yang terus bergerak.
Dengan satu hentakan yang kasar dan penuh rasa geram, dia merobek blus itu hingga kancingnya berterbangan dan kainnya terbuka.
Ava menjerit, menutupi dadanya dengan tangan yang gemetar.
“Ini darurat, Ava. Aku tak sedang melecehkanmu!”
Mata Devon seperti scanner, menyisir setiap inci kulit pucatnya yang terbuka.
“Berbaliklah,” perintahnya, kali ini lebih lembut tapi masih penuh perintah yang tak terbantahkan.
Ava, dengan tubuh gemetar, menurut. Dia membalikkan badan, merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya yang terbuka.
Devon menyalakan lampu mobil. Cahaya kuning itu menerangi bagian belakang tubuh Ava.
Jari-jari Devon yang kasar dan terlatih menyentuh kulitnya, menyusuri tulang belakangnya dengan sedikit menekan.
Ava masih gemetar. Dia merasakan setiap otot di tubuhnya menegang, menanti sesuatu yang dia sendiri tidak tahu.
Lalu, jari Devon berhenti. Tepat di atas pinggangnya bagian belakang, sedikit ke samping, di mana lekukan punggungnya bertemu dengan pinggul. Di sana, di bawah kulit yang tampak mulus, ada sebuah tonjolan kecil, hampir tidak terasa. Seperti sebutir beras yang tertanam.
“Ini dia,” desis Devon, suaranya terdengar lega namun juga waspada.
Dia membuka pisau lipatnya yang dia ambil dari dashboard tadi. Ava mendengar suara logam berderak dan matanya membelalak penuh ketakutan.
“Devon, jangan …” Ava memegang tangan Devon.
“Ini harus dilakukan, Ava. Sekarang.” Tanpa menunggu jawabannya, Devon menuangkan isi botol alkohol yang selalu dia bawa di mobilnya ke atas mata pisau yang mengilat.
“Ini akan sakit sedikit. Kau pasti tahu itu,” katanya, dan itu adalah satu-satunya peringatan yang dia berikan.
Ava memejamkan matanya erat-erat, menggigit bibirnya hingga berdarah. Dia merasakan ujung logam yang dingin menyentuh kulitnya, tepat di atas tonjolan kecil itu.
Lalu, datanglah sensasi terbakar yang tajam dan menusuk. Pisau itu menyayat kulitnya dengan ujung yang kejam.
Bukan sayatan dalam, tapi irisan yang cepat dan kecil, cukup untuk membuka lapisan epidermis dan mencapai benda asing di bawahnya.
Irisannya memang kecil, tapi sakitnya bukan main. Seperti semburan api yang langsung membakar saraf-sarafnya.
Ava meringis dan sedikit merintih keras, sebuah rintihan panjang dan parau keluar dari kerongkongannya.
Air mata mengalir deras di pipinya, bercampur dengan keringat dingin. Tangannya mencengkram sandaran kursi sampai buku jarinya memutih.
Ava bahkan berusaha keras untuk tidak pingsan.
Dia bisa mendengar Devon menggumam pelan, “Sudah hampir … dapat.”
Rasa sakit itu berpuncak ketika jari Devon yang berdarah masuk ke dalam sayatan itu. Ada sensasi mencengkeram, menarik, dan kemudian sebuah rasa robek yang membuatnya hampir menjerit lagi.
Lalu, tiba-tiba, tekanan dan rasa sakit yang tajam itu mereda, digantikan oleh rasa perih.
Devon mengangkat tangannya. Di antara jempol dan telunjuknya yang berlumuran darah, terdapat sebuah chips elektronik kecil, tidak lebih besar dari sebutir beras, yang sekarang juga bersimbah darah.
“Damn it!!” umpatnya dengan nada marah.
(JANGAN LUPA KOMEN YAAA.. JANGAN SAMPAI DILEWATKAN..)
masih penasaran siapa yg membocorkan operasi Devon di markas Don Vittorio dulu ya 🤔🤔