NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua Puluh Dua

***

Jarum jam di dashboard mobil menunjukkan pukul enam lewat lima belas saat Hafiz akhirnya tiba di basement apartemennya. Ia mematikan mesin, namun tidak langsung keluar dari mobil. Kedua tangannya masih menggenggam kemudi, matanya menatap kosong ke arah parkiran yang perlahan mulai sepi.

Sejak tadi sore, pikirannya terus berkecamuk. Ia baru saja menerima pesan dari ART yang bekerja di rumah orang tuanya, mengatakan bahwa Bu Farhana—mamanya—sedang sakit.

Awalnya, Hafiz sempat ragu. Tapi saat ia mencoba menghubungi nomor ayahnya, tidak aktif. Padahal biasanya, Pak Fadlan selalu responsif.

Seketika, naluri seorang anak membuat Hafiz gelisah. Ia menunda semua pekerjaannya, bahkan tak sempat makan siang, dan langsung menuju rumah besar di kawasan elit tempat kedua orang tuanya tinggal.

Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi bayangan ibunya yang mungkin terbaring lemah. Ia tahu betul betapa keras kepala mamanya, dan bisa saja sakit parah tapi tetap menolak ke rumah sakit.

Tapi semua kekhawatiran itu runtuh seketika begitu Hafiz menjejakkan kaki di halaman rumah.

Lampu teras menyala terang. Mobil-mobil mewah berjejer rapi di depan pagar. Saat Hafiz masuk ke dalam, ia disambut oleh suara tawa dan percakapan ramai dari ruang tengah. Tidak ada suasana orang sakit. Tidak ada aroma minyak kayu putih, tidak ada kesan darurat.

Dan benar saja, ketika langkahnya menapaki ruang tamu, Hafiz langsung disambut oleh pemandangan yang membuat kepalanya berdenyut hebat.

Di sana, duduk di sofa panjang yang menghadap ruang utama, Bu Farhana tampak segar bugar dalam balutan kebaya modern berwarna biru muda. Di sampingnya, duduk seorang perempuan muda dengan penampilan yang tak kalah elegan. Wajahnya cantik, riasan wajahnya pas, senyumannya sopan. Di hadapan mereka, duduk pasangan suami istri paruh baya—jelas orang tua dari gadis itu.

Hafiz tertegun di ambang pintu. Matanya menatap lurus pada ibunya yang kini menoleh, dan sejenak, keheningan mencengkeram ruangan.

“Hafiz?” sapa Bu Farhana dengan nada tinggi yang dibuat-buat ceria. “Kok baru pulang? Pas banget, sini duduk dulu.”

Dengan jantung yang menegang, Hafiz melangkah masuk. Tapi bukan untuk duduk.

“Aku kesini karena dikabari Mama sakit,” katanya dengan suara datar. Matanya tak lepas dari ibunya.

“Oh itu... ya Allah, itu ART kamu suka lebay,” sahut Bu Farhana ringan sambil terkekeh kecil. “Mama tadi memang pusing sedikit, tapi sekarang udah baikan. Gitu aja kamu panik, Nak?”

Panik? Hafiz mengepalkan tangannya. Ia memandang ke arah ayahnya yang duduk diam di sisi kanan ruangan, ekspresinya hambar, tak mampu menatap balik ke arah putranya.

“Mama bohong cuma untuk nyuruh aku pulang ke sini?” suara Hafiz meninggi, namun tetap dikendalikan.

Bu Farhana mengerutkan dahi. “Bukan bohong, cuma... ya, ada hal penting yang Mama dan Papa mau bicarakan. Kamu ini makin susah diatur sekarang, Hafiz. Makanya Mama atur strategi sedikit.”

“Strategi?” Hafiz mengulang dengan nada getir. Ia menatap ke seluruh ruangan, lalu menatap langsung ke arah gadis bernama Arini yang hanya menunduk malu, pura-pura tidak mendengar.

“Kalian undang keluarga orang lain, kumpul, bicarakan soal perjodohan—dan kalian sebut ini ‘strategi’?” Hafiz mengalihkan pandangan tajam ke ayahnya. “Dan Papa diam saja?”

Pak Fadlan, yang dari tadi hanya duduk dengan tubuh kaku, membuka suara pelan. “Mama kamu cuma ingin yang terbaik, Hafiz...”

“Terbaik?” potong Hafiz cepat. “Terbaik menurut siapa?”

Suasana ruangan berubah tegang. Tante Andini dan Om Wawan saling bertukar pandang canggung. Arini sesekali melirik Hafiz namun lebih banyak menunduk, memutar-mutar cincin di jari manisnya.

Hafiz menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang nyaris meledak.

“Maaf, saya nggak bisa terus di sini,” katanya akhirnya. “Dan saya juga ingin menyampaikan langsung—saya tidak tertarik dengan rencana perjodohan ini. Tidak sekarang. Tidak dengan siapa pun.”

Wajah Bu Farhana menegang. Senyumnya hilang.

“Hafiz, kamu ngomong apa di depan tamu?”

“Aku cuma jujur,” sahut Hafiz tegas. “Daripada kalian memaksakan sesuatu yang nggak bisa aku jalani, lebih baik aku tolak sekarang.”

Bu Farhana berdiri dari tempat duduknya. “Kamu pikir kamu bisa memilih segalanya semaumu sendiri?”

“Kalau itu menyangkut hidupku, iya, Ma. Aku bisa memilih.”

Pak Fadlan masih diam, hanya menatap Hafiz dengan mata penuh kekalahan. Seolah ingin bicara tapi terlalu takut. Atau terlalu lelah.

Tanpa menunggu reaksi lebih jauh, Hafiz berbalik. Langkahnya cepat dan tegas, meninggalkan ruang tamu yang kini terasa jauh lebih dingin daripada sebelumnya. Ia keluar rumah, menutup pintu dengan pelan namun penuh tekanan. Saat sampai di mobilnya, ia menyalakan mesin dan memejamkan mata sejenak.

Pikirannya kembali kepada Serena. Kepada senyumnya yang sederhana. Kepada caranya bicara dengan hati-hati, seolah takut dunia kembali menyakitinya. Hafiz tahu, rasa yang ia miliki bukan hanya karena Serena berbeda dari Arini atau gadis-gadis lain. Tapi karena Serena membuatnya merasa... utuh.

Dan malam ini, ia semakin yakin. Kalau ia ingin memperjuangkan seseorang, maka itu bukan karena perintah orang tuanya.

Melainkan karena hatinya sendiri yang memilih.

.

Udara malam terasa hangat, tapi bagi Hafiz, langit yang bertabur bintang malam itu terasa dingin dan kosong.

Jam menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Ia duduk sendirian di balkon apartemennya yang menghadap ke arah kota. Lampu-lampu jalan terlihat berkilauan seperti serpihan cahaya, sementara deru kendaraan di kejauhan menjadi latar yang jauh, nyaris tak terdengar.

Ia bersandar di kursi rotan, kaki disilangkan, satu tangan menggenggam gelas berisi air putih, dan mata menatap langit gelap tanpa benar-benar melihat.

Kepalanya masih berat, bukan karena lelah fisik, tapi karena semua pertanyaan yang tak berjawab dan emosi yang belum reda. Pertengkaran—atau lebih tepatnya—konfrontasi dengan mamanya tadi sore terus terngiang-ngiang di kepala.

Wajah kecewa Bu Farhana, diamnya Pak Fadlan, dan ekspresi canggung Arini dan orang tuanya… semua berpadu menjadi kekacauan dalam hati Hafiz.

Ia bukan tidak mengerti maksud baik orang tuanya. Tapi sejak kapan cinta bisa dipaksa? Ia bukan anak kecil yang bisa dibujuk hanya dengan embel-embel "perempuan baik-baik" dan "keturunan orang berada."

Dan Serena… entah kenapa, bayangan wajah lelah gadis itu terus muncul. Hafiz menyesal karena tidak bisa menemuinya lebih awal, tidak bisa menyusul ke klinik, bahkan tidak tahu Serena sudah benar-benar membaik atau belum.

Ia mencoba menghubungi Serena beberapa kali sejak sore tadi, tapi pesan-pesan itu tetap centang satu. Mungkin Serena masih tidur, atau mungkin... tidak ingin diganggu. Hafiz hanya bisa berharap yang pertama.

Pikirannya teralihkan oleh getaran halus dari ponselnya yang diletakkan di atas meja kecil samping kursi.

Ia menoleh.

Nomor tak dikenal.

Hafiz ragu sejenak, lalu menggeser notifikasi dan membuka pesan tersebut.

“Hai Hafiz, ini Airin. Maaf tiba-tiba menghubungi kamu malam-malam begini. Nomormu aku dapat dari Mama kamu, katanya kamu sering ganti nomor jadi beliau kasih yang terbaru. Kalau kamu tidak keberatan, boleh aku bicara sedikit?”

Hafiz menghela napas. Ia menaruh kembali gelasnya, lalu menatap layar lama.

Airin.

Teman kecil yang terakhir ia temui mungkin saat usia mereka masih belasan tahun. Dulu mereka memang cukup akrab, bermain bersama kalau keluarga mereka saling berkunjung.

Tapi waktu mengubah segalanya. Mereka tumbuh dewasa, berjalan ke arah berbeda, dan satu-satunya yang menghubungkan mereka kini hanyalah ambisi orang tua mereka—dan rencana perjodohan yang ia tolak mentah-mentah tadi sore.

Tangannya bergerak perlahan, membalas.

“Halo, Airin. Iya, ini aku. Ada yang ingin kamu bicarakan?“

Balasan dari Airin datang tak lama kemudian.

“Aku tahu kamu nggak nyaman tadi. Aku bisa lihat dari sikapmu. Sebenarnya aku juga nggak sepenuhnya setuju dengan rencana itu.”

Hafiz mengernyit.

“Oh ya?“

“Iya. Aku setuju ketemu karena nggak mau mengecewakan orang tuaku. Tapi bukan berarti aku siap dipaksa menikah sama orang yang bahkan udah punya kehidupan sendiri.”

Hafiz terdiam. Jujur, ia tidak menyangka mendengar itu dari Airin. Ia kira gadis itu akan bersikap pasif, menerima apa pun yang sudah ditentukan.

“Terima kasih sudah jujur, Airin. Aku pikir kamu juga sebenarnya nggak masalah dengan rencana itu.”

“Bukan nggak masalah. Tapi aku… realistis. Aku lihat dari cara kamu tadi ngomong ke mamamu, kamu bener-bener nggak mau kan?”

“Iya. Aku nggak bisa menjalani sesuatu yang aku nggak yakini dari awal.”

“Aku ngerti. Dan jujur aja ya, Hafiz… aku dengar juga soal kamu dan seseorang di kantor.”

Hafiz menghela napas. Ia bisa menebak siapa yang dibicarakan.

Serena?

Hafiz tidak membalas lagi, Karena ia Baru teringat dengan percakapan nya waktu itu dengan Mamanya, dimana Mamanya mengatakan kalau Airin menyukai dirinya dari mereka masih kecil.

Tapi kenapa sekarang Airin mengatakan seperti itu? dan Hari mulai tidak percaya dengan isi pesan Airin barusan.

Hafiz juga sadar kok dengan tatapan Airin ketika sedang menatap dirinya, tatapan memuja.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!