NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:220
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 22 Kuat

Kami sudah kembali di dalam kamar. Begitu pintu tertutup, Maarten langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur seperti anak kecil yang baru pulang dari petualangan panjang.

“Akhirnya…” desahnya sambil menutup mata sejenak, lalu tertawa kecil,

“Silakan makan dulu, gadisku. Aku tahu kamu belum kenyang.”

Aku tertawa kecil, membuka bungkus makananku dengan hati-hati. Aku memang masih lapar, dan aku senang karena dia selalu peka, bahkan untuk hal kecil seperti ini.

Saat aku mulai menikmati gigitan pertama, Maarten membuka mata, menoleh padaku dan berkata pelan,

“Besok pagi aku akan berangkat ke Sumatera.”

Aku sedikit menghentikan kunyahanku, lalu menatapnya. Dia tersenyum lembut dan kemudian duduk.

“Tapi aku janji,” lanjutnya,

“Begitu aku kembali… aku akan langsung mencarimu. Aku ingin kita pergi ke Jogja, seperti yang kita bicarakan tadi. Aku ingin melihat kota itu bersamamu.”

Ada ketenangan dalam nadanya. Tidak terburu-buru, tidak menjanjikan hal muluk. Tapi kalimatnya cukup untuk membuat hatiku terasa penuh.

Maarten duduk menyender di kepala ranjang, menatapku sambil memainkan jari-jarinya pelan.

“Aku seminggu di Sumatera,” katanya akhirnya.

“Aku ingin lihat hutan. Mungkin aku juga akan tinggal di tempat yang jauh dari kota, lebih dekat dengan alam.”

“Maarten. Kamu emang selalu nyari ketenangan di alam ya?”

Dia tersenyum, matanya menyipit hangat.

“Ya. Tapi kamu tahu, Kelly… sekarang aku juga menemukan ketenangan itu di kamu.”

Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang mulai memanas.

“Kamu gak takut tinggal di tempat terpencil seminggu?”

“Takut? Hmm…” Dia berpikir sebentar, lalu menatapku dalam.

“Mungkin satu-satunya yang aku takuti cuma satu, aku kangen kamu, dan sinyalnya buruk.”

Aku tertawa kecil. “Ya udah, kirim merpati kalau sinyalnya hilang.”

Maarten ikut tertawa pelan, lalu menjulurkan tangannya dan menyentuh jemariku.

“Aku janji, setelah seminggu selesai, aku balik ke sini. Lalu kita ke Jogja. Naik kereta, menyusuri kota, lihat matahari terbenam. Mau ya?”

Aku menatapnya. Ada keraguan, tapi juga harapan. Dan di balik semua rasa itu, aku tahu… aku ingin percaya.

“Ya… aku mau,” kataku pelan.

Dan malam itu, di antara lampu kamar yang temaram dan suara AC yang samar, kami tahu… perpisahan besok mungkin akan membuat rindu. Tapi rindu itu akan jadi jembatan untuk pulang kembali satu sama lain.

Setelah selesai makan, aku rebahan di atas kasur hotel. Perutku kenyang, pikiranku sedikit melayang. Di sampingku, Maarten berjalan pelan menuju saklar lampu dan mematikannya. Kamar menjadi redup, hanya cahaya tipis dari luar jendela yang menerangi.

“Aku suka cahaya seperti ini,” katanya sambil berbaring di sebelahku. “Tenang, hangat… dan kamu ada di sini.”

Aku hanya tersenyum kecil. Tapi sebelum sempat menjawab, ponselku tiba-tiba bergetar.

Sebuah panggilan masuk.

Dan ya, lagi-lagi… dari nomor itu.

Nomor yang sudah sangat kukenal. Nomor masa lalu.

Aku menatap layar ponsel dengan napas menahan. Panggilan itu berdetak, satu… dua… tiga…

Maarten melirik ke arahku.

“Itu… telepon? Dari siapa?” tanyanya pelan.

Aku memalingkan wajah, meletakkan ponsel menghadap ke bawah.

“Bukan siapa-siapa,” jawabku singkat.

“Gak penting.”

Dia tidak memaksa. Tidak menuntut penjelasan. Dia hanya mengangguk pelan, lalu menggeser sedikit badannya mendekat.

“Kalau memang gak penting, lupakan saja. Kamu sudah di tempat yang tenang sekarang.”

Aku mengangguk, walau hatiku masih bergetar. Rasanya seperti dihantui bayangan yang belum selesai. Tapi aku menolak untuk mengizinkannya mengganggu malam ini. Malam yang seharusnya damai, bersama seseorang yang tidak pernah berjanji, tapi selalu hadir.

Panggilan itu berhenti.

Dan aku tidak menyesal karena tidak menjawabnya.

Maarten mengusap pipiku perlahan dengan punggung tangannya. Tatapannya begitu dalam, hangat… seolah bisa menenangkan badai dalam diriku hanya dengan senyum itu.

“Kamu amazing,” bisiknya pelan.

Aku hampir lupa akan dunia luar. Lupa pada semua luka, semua kenangan yang menyakitkan. Tapi tepat di detik itu…..

Ponselku kembali bergetar.

Nada panggilan yang sama. Nama yang sama. Bayangan masa lalu kembali mengusik.

Aku menarik napas perlahan, mencoba tetap tenang. Maarten melihat ke arah ponsel, lalu kembali menatap mataku.

“Kamu boleh angkat kalau mau,” katanya lembut.

“Aku gak akan marah. Kadang... Kita perlu menyelesaikan hal yang belum selesai.”

Aku menatapnya dalam-dalam. Tak ada rasa cemburu di matanya, hanya penerimaan dan pemahaman yang dewasa. Dan entah kenapa, justru dari sikap itu aku makin sulit bernafas. Karena seseorang yang tulus, semakin membuatku ingin menjauh dari masa lalu.

Aku menatap layar ponsel itu cukup lama… hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Perlahan, kutekan tombol home, lalu kugeser layar, dan mematikan semua koneksi. Tak ada lagi suara dering. Tak ada lagi getaran yang menggoda luka lama.

Maarten masih duduk di sampingku, tenang… seperti menungguku siap.

Aku menghela napas pelan, lalu menoleh padanya.

“Maarten…”

“Hmm?”

“Itu mantan aku,” ucapku akhirnya, jujur. “Dia orang yang pernah aku ceritain. Yang ninggalin aku.”

Maarten tak bereaksi berlebihan. Hanya mengangguk pelan, seolah memberiku ruang untuk lanjut berbicara.

“Dia udah lama gak muncul. Tapi tiba-tiba hari ini, beberapa kali dia nelpon. Aku gak tahu harus gimana, tapi… aku gak angkat. Karena aku gak mau dia ganggu hidupku lagi.”

Maarten menatapku, lembut. Tak ada penilaian, tak ada rasa curiga. Yang ada hanya ketulusan.

“Kamu gak harus jelasin semuanya, Kelly. Tapi aku senang kamu jujur. Dan aku lebih senang lagi karena kamu melindungi hatimu.”

Aku terdiam, lalu tersenyum tipis.

“Dulu aku selalu berharap seseorang akan memperjuangkan aku. Tapi sekarang… aku sadar, aku harus belajar memperjuangkan diriku sendiri dulu.”

Maarten mengangguk, lalu mengusap rambutku perlahan.

Aku bersandar di kepala tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang temaram. Hati ini mulai sesak, bukan karena rindu, tapi karena amarah yang lama kupendam mulai terasa lagi.

“Dia pria dari Turki,” kataku pelan. "Tapi dia pergi dariku tanpa penjelasan. Hanya diam. Lalu sekarang… dia datang lagi seolah semuanya baik-baik saja.”

Maarten diam, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Aku pernah percaya padanya, Maarten. Dia pernah bilang mau datang ke Indonesia, mau bertemu keluargaku, bahkan sempat bilang ingin membawaku ke Bali. Tapi semua itu hanya kata-kata kosong. Tidak pernah terjadi.”

Aku menghela napas panjang.

“Dan sekarang… aku gak tau apa tujuannya. Mungkin cuma penasaran. Tapi aku sudah kecewa terlalu dalam. Dan aku belajar... jangan biarkan seseorang yang dulu membuatku menangis, datang lagi hanya untuk melihat apakah aku masih bisa tersenyum.”

Maarten menatapku lekat-lekat. Tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya penuh dukungan.

“Untuk apa aku memberikan waktuku lagi untuk orang yang bahkan tak menghargai waktuku dulu? Aku bukan tempat persinggahan. Aku pantas mendapatkan lebih dari sekadar penyesalan yang datang terlambat.”

Ia menggenggam tanganku pelan, lalu berkata,

“Kamu benar, Kelly. Kamu bukan pilihan kedua. Kamu adalah rumah. Dan kamu pantas dicintai tanpa harus menunggu dibuktikan.”

Aku hanya tersenyum samar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak harus menjelaskan diriku terlalu banyak. Seseorang akhirnya benar-benar mendengarkan.

Maarten menatap langit-langit sejenak, lalu berkata pelan,

“Kelly… semua orang punya masa lalu. Tapi tidak semua orang berani menceritakannya.”

Maarten memandangku lama. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh empati.

“Kamu gak harus menceritakan semuanya kalau itu masih sakit,” katanya pelan.

“Tapi aku ingin kamu tahu satu hal… kamu hebat, Kelly. Sangat hebat.”

Aku terdiam, menahan air mata yang mulai menggenang.

“Kamu disakiti, ditinggalkan tanpa penjelasan, tapi kamu masih bisa tersenyum… masih bisa tertawa. Itu bukan kelemahan, itu kekuatan.”

Aku menatap tanganku yang saling menggenggam erat di pangkuanku. Ada bagian dalam diriku yang ingin percaya kalimat itu, tapi juga masih takut kecewa lagi.

Maarten lalu meraih tanganku dengan lembut, menggenggamnya seperti seseorang yang tidak sedang berjanji, tapi sedang menenangkan badai.

“Jangan pikir kamu kurang. Bukan kamu yang salah. Kadang orang pergi bukan karena kamu tidak cukup baik… tapi karena mereka tidak tahu bagaimana cara mencintai seseorang sebaik kamu mencintai.”

Aku menunduk, kali ini tidak menahan air mata. Tapi Maarten tetap diam. Ia hanya menggenggamku, seolah berkata: aku di sini. Aku tidak akan membuatmu mengulang luka yang sama.

“Dan satu lagi, Kelly…” katanya setelah beberapa saat.

Aku menoleh perlahan.

“Jangan takut membuka hati. Tapi buka hati kamu bukan karena kamu kesepian, tapi karena kamu tahu kamu layak bahagia.”

Malam itu, aku duduk diam di sisi ranjang, mencoba merapikan kekacauan di dalam hati. Tapi Maarten tak banyak bertanya. Dia tidak mendesakku, tidak juga menghakimi. Dia hanya duduk di sana, menjadi tempat yang tenang untuk jiwaku bersandar. Dengan tenang, dia berkata bahwa aku adalah perempuan yang luar biasa. Bahwa luka yang kubawa bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa aku masih mampu bertahan, meski sudah pernah dipecah berkali-kali.

Tangannya meraih tanganku perlahan. Genggamannya hangat, tak tergesa, seolah ingin mengatakan bahwa aku tak sendirian. Ia tidak datang membawa janji, tapi kehadirannya malam itu seperti pelipur dari luka-luka lama. Ia tak ingin aku membuka hati karena kesepian, tapi karena aku tahu bahwa aku layak untuk dicintai dengan cara yang benar, oleh orang yang tepat.

Dan dalam diamku, aku sadar... aku mulai percaya lagi. Bukan pada orang lain, tapi pada diriku sendiri. Karena untuk pertama kalinya, setelah sekian lama… aku merasa diterima, tanpa harus berpura-pura menjadi apa pun.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!