Tepat di hari pernikahan, Ayana baru mengetahui jika calon suaminya ternyata telah memiliki istri lain.
Dibantu oleh seorang pemuda asing, Ayana pun memutuskan untuk kabur dari pesta.
Namun, kaburnya Ayana bersama seorang pria membuat sang ayah salah paham dan akhirnya menikahkan Ayana dengan pria asing yang membantunya kabur.
Siapakah pria itu?
Sungguh Ayana sangat syok saat di hari pertama dia mengajar sebagai guru olahraga, pria yang berstatus menjadi suami berada di antara barisan murid didiknya.
Dan masih ada satu rahasia yang belum Ayana tahu dari sang suami. Rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tria Sulistia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ini kan Elang
Senja telah merangkak ke malam. Rasa kantuk dan juga hawa dingin tak menyurutkan semangat dua anak muda yang sedang memainkan game online favorit mereka.
Di sebuah teras rumah sederhana, pemuda bernama Abian dan Elang bermain game online sampai mereka lupa waktu. Sedangkan di salah satu kamar rumah itu, Ayana menggerutu kesal. Sebab kedatangan Abian membuat dia tak bebas berkeliaran di rumah.
Ayana memegangi perutnya yang lapar karena belum makan malam. Dia duduk di tepi ranjang dan sesekali menengok ke keluar pintu.
"Kira-kira kalau aku keluar kamar, bakal ketahuan Abian nggak ya?" gumam Ayana.
Dia menghela nafas dan memilih kembali duduk di tepi ranjang. Dia tak mau mengambil resiko ketahuan Abian. Sehingga dia menunggu sampai si tamu tak diundang itu pergi.
Tak lama terdengar suara ribut dari arah depan rumah. Karena penasaran, Ayana pun membuka pintu sedikit, cukup untuk dirinya bisa mengintip dan melihat apa yang sedang terjadi di luar.
Ternyata di luar ada dua pria memakai jas rapi yang sedang menyeret Abian untuk pergi. Tentu saja Abian memberontak dan terciptalah keributan di depan rumah.
"Kalian ini siapa hah? Main tarik-tarik saja," teriak Abian tak terima.
"Kami ditugaskan ayah kamu untuk menjemput kamu di sini," ucap salah satu pria.
"Aku nggak mau pulang. Katakan itu pada papa!" Abian menoleh pada Elang yang diam di tempatnya berdiri. "Lang, tolong dong! Aku nggak mau pulang. Pasti aku bakal diceramahin dan dibanding-bandingin sama anak majikan papa aku."
Elang berdecak dan menghela nafas. "Aku mau bantu apa, Bi? Mau dilawan? Dua orang suruhan papa kamu aja badannya kekar kaya samson."
"Aduh, Lang. Kamu sahabat aku nggak sih?"
"Sudah deh, Bi. Pulang saja deh. Percuma memberontak juga.
"Awas kamu ya, Lang! Sudah nggak setia kawan lagi sana aku."
Abian menggeram kesal pada Elang. Tidak seperti biasanya Elang bersikap seperti itu.
Dengan pasrah, Abian ikut bersama dua pria yang membawanya masuk ke dalam mobil. Lalu mobil itu melaju meninggalkan halaman rumah Elang.
"Akhirnya si pengganggu pulang juga," gumam Elang sambil mengambil cangkir kopinya dan membawa masuk ke dalam rumah.
Tepat saat itu, pintu kamar terbuka menampilkan Ayana yang menghambur keluar dan merebut cangkir kopi di tangan Elang.
Diminumnya kopi itu dengan rakus oleh Ayana sambil melirik Elang melalui ekor matanya.
"Ay, itu kopi aku kok diminum?" tanya Elang menunjuk cangkir kopi di tangan Ayana.
"Oh, sorry. Habis mau bagaimana lagi, kamu lama sih mengusir Abian," kata Ayana dengan wajah tak berdosa.
Sedangkan Elang hanya menyeringai melihat Ayana. Lalu dia menghela nafas.
"Nggak apa-apa kalau kamu minum kopi aku, tapi sebagai gantinya, aku minum susu kamu ya?"
Seketika Ayana mendelikkan mata seraya menoleh cepat pada Elang. Bibir Ayana memberengut dan didorongnya tubuh Elang sambil berkata, "Ih, dasar murid mesum."
Detik berikutnya, Ayana membalikkan badan dan melangkah ke arah dapur untuk mengambil makanan.
Ditempatnya berdiri, Elang tergelak menertawakan Ayana. Padahal maksud Elang yang sebenarnya adalah meminta Ayana membuatkan segelas susu.
"Ay, bukan aku yang mesum, tapi otak kamu yang suka banget travelling."
*
*
*
Di waktu yang sama, Abian merasa sudah seperti seorang buronan yang baru saja tertangkap. Di samping kanan dan kirinya, terdapat dua pria berbadan tegap menyeret kedua lengan Abian.
Pemuda tujuh belas tahun itu tertunduk lesu kala langkah kakinya menapaki lantai mamer dan beberapa meter di depan sana, Arif bersama sang istri duduk di sofa sambil melayangkan tajam.
"Abian Saputra," ucap Arif dengan penuh penekanan. "Papa nggak tahu jalan pikiran kamu, Nak. Papa sudah melakukan cara halus dan juga cara yang keras agar kamu itu serius belajar, tapi nyatanya kamu malah kabur dari rumah hanya karena Papa bandingin kamu sama anak majikan Papa."
Abian menghela nafas lesu dengan pandangan menunduk menatap lantai.
"Bagi Papa membandingkan aku dengan anak majikkan Papa itu hal sepele, tapi bagi aku nggak, Pa."
Abian mendongak, memberanikan diri membalas tatapan sang ayah.
"Aku dan dia berbeda, Pa. Aku ya aku dan dia ya dia," Abian yang sudah tidak tahan lagi memendam perasaan yang selama ini menumpuk pun berteriak, "Stop membandingkan aku dengan siapapun, Pa!"
Arif bangkit berdiri dengan mata yang menyorot tajam pada sang anak.
Selama ini dia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk Abian. Dia hanya ingin melihat sang anak bahagia dan sukses di masa depanny.
Tapi Abian justru memberontak dan terus mengatakan jika Arif tidak menyayanginya.
Entah mana yang salah dan mana yang benar.
Sebagai seorang istri dan juga ibu, Zahra ikut berdiri untuk menjadi penengah di antara ketegangan yang tercipta.
"Papa, sudahlah! Jangan terlalu keras pada Abian," ucap Zahra pada Arif. Kemudian dia menolah pada Abian. "Dan kamu juga, Bi. Mama mohon menurut sama ucapan Papa. Ini juga untuk kebaikan kamu, Sayang."
"Ma, jangan membiasakan Abian untuk selalu dimanja," ucap Arif melirik tajam pada istrinya. "Biarkan dia didik dengan cara yang keras dan dislipin agar dia bisa seperti Tuan Muda Raynar."
Mendengar nama Tuan Muda Raynar disebutkan, Abian hanya bisa menghela nafas panjang dengan bola mata melingkar malas.
Jika sang ayah sudah menyebut nama Raynar, dapat dipastikan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Arif adalah kata-kata memuji kehebatan Raynar dan berlanjut menyebutkan sederet aib Abian.
Dan seperti dugaan Abian, Arif bercerita panjang lebar tentang sosok Raynar yang sudah dapat mengemban tugas kantor diusianya yang sangat muda.
"Bahkan umur Tuan Muda Raynar hanya beda satu tahun lebih tua dari kamu, Abian. Tapi dia cerdas, cekatan, dan tentu saja bertanggung jawab. Tidak sepertimu yang begundal dan hanya bisa membuat malu keluarga," kata Arif panjang lebar dengan nada cepat.
Abian mendengarkan kata-kata Arif yang dia tirukan dalam hati saking sudah hafalnya akan ucapan sang ayah.
Ceramah Arif berlangsung selama lima belas menit, sampai Abian merasa kedua kakinya kesemutan tak sanggup lagi untuk berdiri.
"Ya, ya, Pa. Besok aku akan mencontoh seperti apa yang dilakukan Tuan Muda Raynar. Bahkan kalau perlu wajahku dioperasi plastik saja, Pa. Biar mirip seperti Tuan Muda Raynar nya Papa tercinta," cibir Abian yang sudah sangat ingin menyudahi pembicaraannya dengan Arif.
"Abian, jangan bilang seperti itu, Nak!," Zahra berbicara dengan suara lemah lembut menenangkan amarah Abian. "Bagaimana pun juga Papa seperti ini karena sayang sama kamu."
"Ya lagian Papa membandingkan aku terus sama Raynar. Aku heran, mana ada sih remaja usia delapan belas tahun bisa menjabat sebagai wakil direktur?"
"Eits, kamu nggak percaya? Nih Papa kasih buktinya. Dia itu memang benar-benar masih muda sekali."
Arif mengelurakan ponsel dari dalam saku. Lalu mengarahkan layar ponsel pada anaknya, dimana di layar itu terpampang foto seseorang yang sangat dikenali Abian.
Bahkan belum ada satu jam yang lalu Abian bertandang ke rumahnya.
Mata Abian membulat sempurna. Begitu juga dengan mulutnya yang menganga lebar.
"Ini kan Elang."
Arif menoleh pada Zahra, sang istri, sambil menampilkan raut wajah tercsentak dan tak percaya.
"Kamu lihat kan, Zahra? Abian saking sering bolos, dia sampai tidak bisa membedakan mana manusia dan mana burung Elang."
Abian berdecak kesal mendengar ucapan ayahnya. Dia menghentakan kaki karena gemas.
"Bukan begitu, Pa. Maksudnya, anak majikan Papa ini teman sekolah aku tapi dia namanya Elang, bukan Raynar."
"Apa?"