NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19

Di dalam kamar bernuansa gelap dengan aroma antiseptik yang samar, Dewi duduk di sisi tempat tidur. Gaun tidurnya terbuka sedikit di bagian bahu, memperlihatkan luka goresan di lehernya yang memerah, masih segar. Pelayan wanita yang sebelumnya hampir dikirim ke kandang harimau oleh Rafael, kini berlutut di hadapannya dengan tangan yang gemetar namun sigap, membersihkan luka itu dengan kapas lembut dan cairan antiseptik.

“Terima kasih… Terima kasih, Nyonya…,” bisik pelayan itu lirih, suaranya bergetar menahan tangis.

“Kalau bukan karena Anda, mungkin saya sudah…”

“Sudahlah,” ucap Dewi pelan namun penuh ketegasan.

“Jangan menangis. Kau selamat sekarang.”

Pelayan itu mengangguk cepat, air matanya jatuh satu per satu. Jemarinya yang cekatan terus membersihkan luka Dewi, penuh kehati-hatian, seolah takut menyakiti lebih dari yang sudah diderita wanita itu.

Suasana hening itu tiba-tiba berubah saat langkah kaki terdengar dari balik pintu. Pintu terbuka tanpa ketukan. Rafael berdiri di ambang pintu, tubuh tinggi tegapnya disinari cahaya lampu dari lorong belakang. Kemejanya basah oleh darah. darah dari tangannya sendiri yang masih menetes pelan dari buku-buku jarinya. Luka di tangannya adalah hasil dari tinju membabi buta yang tadi menghantam tembok, setelah menyaksikan Dewi menyakiti dirinya sendiri.

Tatapan matanya kosong dan tajam. Ia melangkah masuk, satu langkah demi satu, menghampiri mereka. Pelayan wanita itu langsung berdiri, tubuhnya gemetar hebat.

“Ampun, Tuan...” ucapnya buru-buru sambil menunduk, lalu melangkah mundur, menyembunyikan wajah ketakutannya. Ia menunduk begitu rendah hingga hampir menyentuh lantai. Rafael hanya melirik tajam ke arahnya, tanpa berkata sepatah kata pun. Isyarat dingin itu sudah cukup jelas.

keluar.

Dengan cepat pelayan itu mengangguk dan meninggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya tanpa suara.

Kini hanya tinggal Dewi dan Rafael.

Lelaki itu mendekat perlahan. Wajahnya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang berubah di matanya. bukan kemarahan, melainkan luka yang tersembunyi di balik gengsi dan harga diri yang hancur.

Ia duduk di sisi tempat tidur, mengambil kain kasa dan cairan antiseptik dari meja kecil di sebelah ranjang. Tangannya yang terluka mulai bergerak, namun sangat pelan. Luka Dewi masih menganga di leher, dan ia membersihkannya sendiri, satu gerakan lembut demi satu.

Seolah takut... takut menyakitinya lagi.

“Kenapa kau selalu mencoba untuk menyakiti dirimu sendiri?” bisik Rafael akhirnya, suaranya rendah dan pelan, nyaris seperti bisikan dosa yang malu-malu keluar dari mulutnya sendiri.

Dewi tak langsung menjawab. Pandangannya kosong, lurus ke depan. Ia tidak menatap Rafael, hanya menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar.

“Karena lebih baik aku melukai diriku sendiri... daripada melihatmu melukai orang lain... karena kesalahanku.”

Kata-kata itu menggantung di udara, seperti pisau yang menusuk langsung ke dada Rafael.

Wajah Rafael mengeras, tapi bukan karena marah. Ada sesuatu yang runtuh di dalam dirinya. keangkuhan, kemarahan, bahkan dendam yang selama ini mengikatnya.

Tangannya yang masih mengusap luka di leher Dewi terhenti.

Ia menunduk, menatap wanita yang kini terluka bukan hanya di tubuh, tapi juga di jiwanya. karena dirinya. Rafael merasakan dadanya sesak, seperti diikat rantai rasa bersalah yang tak pernah ia sadari sebelumnya.

Rafael mengambil perban putih dari kotak medis kecil di samping ranjang. Tangannya bergerak pelan, membalut luka di leher Dewi dengan hati-hati. Setiap gerakannya seolah dipenuhi rasa takut, seakan ia khawatir sentuhan sekecil apa pun darinya akan melukai wanita itu lagi. Tak ada lagi jejak amarah di wajah Rafael, hanya kehati-hatian yang nyaris seperti penyesalan.

“Jangan pernah lakukan hal bodoh itu lagi,” ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar. Kalimatnya terdengar datar, namun terselip kekhawatiran yang dalam.

Dewi menatap mata Rafael, seolah ingin memastikan bahwa ia benar-benar mendengar. Mata mereka bertemu dalam diam yang pekat. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat, hanya denting halus jarum jam yang terdengar dari dinding kamar.

“Aku akan berhenti… jika kau juga berhenti,” bisiknya pelan.

Pandangan Dewi lalu turun ke tangan Rafael. tangan besar yang masih meneteskan darah akibat tinjunya sendiri yang menghantam dinding. Luka itu begitu nyata, sama nyatanya dengan luka di dalam diri pria itu yang tak pernah benar-benar sembuh.

Sekarang gilirannya.

Dewi menggenggam tangan itu dengan lembut. Tangannya yang kecil menyentuh jemari Rafael. jemari yang selama ini dikenal sebagai alat kematian, tangan yang telah berkali-kali mencabut nyawa tanpa ragu. Tapi malam ini, tangan itu terasa rapuh. Tak lagi menakutkan. Tak lagi membunuh.

Ia mulai membersihkan luka-luka di buku jari Rafael. Kapas yang ia tekan berubah merah, namun ia tetap tenang. Tangannya bergerak perlahan, penuh kehati-hatian. Seolah ia sedang mencoba menghapus jejak kekerasan yang selama ini menempel pada Rafael.

Rafael menarik napas panjang, lalu menunduk, memandangi jemarinya yang mulai dibalut oleh tangan wanita yang baru saja ingin ia selamatkan. atau justru yang telah menyelamatkannya?

“Akan kupikirkan...” gumamnya pelan, suara itu seperti bisikan yang jatuh ke dalam hati Dewi.

Dewi terdiam. Tubuhnya seolah tersentak oleh harapan yang tak terduga. Ia tak menyangka Rafael akan menanggapi ucapannya, bahkan dengan satu kalimat sekecil itu. Tapi bagi Dewi, itu cukup. Itu bukan penolakan, bukan kemarahan. Itu adalah celah kecil yang terbuka. celah harapan bahwa pria dingin ini mungkin, hanya mungkin, bisa berubah.

Ia menatap mata Rafael. Ada cahaya samar di sana. Dan tanpa berkata apa pun, Dewi mendekat perlahan. Ia mengecup bibir Rafael dengan lembut. sekejap saja, sebagai bentuk terima kasih, bukan keinginan. Sebuah sentuhan singkat, hangat, dan penuh makna.

“Terima kasih...” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku harap… kau benar-benar akan berubah.”

Kemudian, tanpa menunggu balasan, ia kembali menunduk, kembali fokus pada tangan Rafael yang masih perlu dirawat. Ia melilitkan perban dengan pelan, seolah berharap luka itu bisa menyembuhkan bukan hanya kulit, tapi juga jiwa.

Rafael membeku. Tubuhnya tak bergerak satu inci pun ketika bibir Dewi menempel lembut di bibirnya. sekejap, namun cukup untuk membuat pikirannya bergetar. Ciuman itu sederhana, tanpa tekanan, tapi hangat… terlalu hangat untuk tidak meninggalkan bekas. Seolah segala dingin yang selama ini membalut dirinya, perlahan mulai mencair oleh sentuhan yang tak ia duga.

Ia menarik napas dalam, mencoba mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba tak terkendali. Pandangannya jatuh pada jemari tangannya. kini telah terbungkus rapi oleh perban yang dililitkan Dewi dengan penuh kelembutan. Luka itu masih terasa nyeri, tapi bukan lagi karena kemarahan. Kali ini, luka itu seolah menjadi pengingat akan sentuhan lembut yang baru saja ia terima.

Perlahan, tatapan Rafael beralih menatap wanita di depannya. Dewi masih menunduk, jari-jarinya sibuk merapikan ujung perban, namun Rafael bisa melihat rona merah samar mulai merayap di pipinya. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, bukan karena canggung… tapi karena detik itu terlalu intim untuk dipecahkan oleh suara.

Tangannya terulur pelan, menyentuh leher Dewi. lembut, penuh kehati-hatian. Sentuhan itu membuat Dewi sedikit menegang, namun ia tidak menolak.

“Apa ini sakit?” tanya Rafael dengan suara serak dan rendah, seolah tak ingin merusak udara yang mendadak menjadi lebih berat.

Dewi mengangguk pelan, matanya menatap Rafael sejenak sebelum kembali menghindar.

Rafael menunduk. Bibirnya mendekat pada leher Dewi, lalu mendaratkan sebuah kecupan lembut tepat di atas luka itu. perlahan, seperti angin yang menyentuh kulit di pagi hari. Ciuman itu bukan sekadar permintaan maaf, bukan sekadar bentuk perhatian. Itu adalah bentuk dari rasa yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. rasa yang asing, tapi begitu nyata.

Dewi memejamkan mata. Napasnya tertahan. Kehangatan dari bibir Rafael di lehernya merambat turun, membangkitkan sensasi yang membuatnya sulit membedakan antara nyeri dan nyaman. Ia tak pernah menyangka Rafael bisa menyentuhnya seperti ini. tanpa kekerasan, tanpa paksaan. Hanya… kejujuran yang sunyi.

“Aku tidak ingin kau terluka… lagi,” bisik Rafael lirih di atas kulitnya. Suaranya terdengar seperti pengakuan yang selama ini tak pernah diucapkan.

Dewi membuka mata perlahan, menatap Rafael yang masih begitu dekat. Ia bisa merasakan embusan napas pria itu, bisa merasakan detak jantungnya melalui jarak yang nyaris tak ada. Jari-jari Rafael kini bergerak naik, menyentuh rahang Dewi, mengangkat wajahnya agar mata mereka kembali bertemu.

"Biarkan aku mencoba…" kata Rafael pelan, matanya menyelam ke dalam mata Dewi. "Untuk menjadi versi diriku yang tidak membuatmu takut."

Rafael masih menatap Dewi dalam diam, jarak mereka nyaris tak ada. Napasnya menyentuh wajah Dewi, hangat dan sedikit bergetar. Di antara detak jantung yang menggema dalam keheningan kamar itu, Rafael perlahan mendekat lagi. Kali ini bukan untuk sekadar menyentuh luka, tapi untuk mencium bibir Dewi sekali lagi.

Ciuman itu lembut. Bukan karena ragu, tapi karena ingin. Ingin membuatnya merasa aman. Ingin merasakan sesuatu yang tidak berdasar pada kekuasaan, tapi pada perasaan yang perlahan tumbuh dari luka dan pengampunan.

Bibir Rafael menyentuh bibir Dewi dengan penuh kesabaran, namun perlahan, kehangatan itu berubah menjadi kobaran api yang perlahan tumbuh. Ciuman itu semakin dalam. Jari-jari Rafael terangkat ke wajah Dewi, menyentuh pipinya, menelusuri rahangnya, seolah ingin mengingat setiap lekuk yang selama ini hanya ia lihat dalam diam.

Dewi memejamkan mata. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena perasaan yang sulit dijelaskan menyelubunginya. Sentuhan Rafael berbeda malam ini. Tidak ada kekerasan. Tidak ada tekanan. Hanya kehangatan yang menusuk hati.

Ciuman itu semakin lama, semakin dalam, semakin menyala. Nafas mereka berpacu, menyatu, saling mengisi ruang yang sebelumnya kosong. Rafael menarik tubuh Dewi mendekat, merengkuhnya dalam pelukan yang erat namun masih berhati-hati, seolah ia memegang sesuatu yang berharga dan rapuh sekaligus.

Hingga akhirnya, Rafael perlahan menjauhkan wajahnya. Bibirnya masih nyaris menyentuh Dewi saat ia berbisik, suaranya serak, berat oleh hasrat yang tak bisa sepenuhnya ia redam.

“Dewi…” bisiknya. “Bolehkah aku…?”

Ia tidak melanjutkan. Kata-katanya menggantung, seolah menunggu izin untuk melangkah lebih jauh. Matanya menatap Dewi dalam-dalam, mencari jawaban bukan dari mulut, tapi dari sorot matanya.

Dewi diam sejenak. Hatinya bergemuruh hebat. Ini Rafael. lelaki yang dulu menakutinya, namun malam ini memeluknya seolah ia satu-satunya yang layak diselamatkan. Ia tidak menjawab dengan kata, hanya mengangguk pelan. Sebuah anggukan yang lirih, tapi penuh makna.

"Tolong... lakukan dengan perlahan" ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.

Mendengar itu Rafael tersenyum kecil. Ia kembali mendekat. Tapi kali ini bukan hanya bibirnya yang berbicara. melainkan sentuhan lembut di tengkuk, genggaman pelan di pinggang, dan mata yang tidak pernah berpaling dari miliknya.

ia membaringkan tubuh Dewi perlahan. Memandangi wajah wanita yang belakangan ini mengisi kekosongan di hatinya.

Rafael mencumbui setiap inci tubuh Dewi, pelan. Seolah takut akan menyakiti wanita itu untuk kesekian kali.

Dewi menahan desahannya, saat Rafael mulai menjelajahi area bawah dirinya. Ia menggeliat merasakan sensasi menyenangkan yang menjalar ke seluruh tubuh.

Dalam pelukan malam, mereka menyatu. Menyalurkan perasaan yang mulai tumbuh di hati mereka. tidak ada amarah, tidak ada dendam. Hanya dua jiwa yang sama-sama terluka… saling menemukan harapan dalam kehangatan yang perlahan menjelma menjadi pelipur luka.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!