NOTE!
-Mengandung beberapa cerita dewasa/adult romance. Mohon bijak!
-Kalau cerita mulai tidak jelas dan dirasa berbelit-belit, sebaiknya tinggalkan. (Jangan ada komentar buruk di antara kita ya) Hiks!
Pantaskah seorang pria dewasa atau terbilang sudah matang, jatuh cinta dengan gadis di bawah umur?
Dia Arga, saat ini usianya sudah menginjak 26 tahun. Dia pria tampan, penuh kharisma dan sudah mapan. siapa sangka, pria sekeras Arga bisa jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih berumur 15 tahun?
simak kelucuan dan kemesraan mereka!
Writer : Motifasi_senja
Mohon maaf jika ada kesamaan beberapa nama tokoh yang sama. 🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Motifasi_senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lupa bawa uang!
Saat berjalan di trotoar menuju taman kota, Mona masih terlihat cemberut. Ia tak banyak bicara. Fani yang berjalan di sampingnya sesekali melirik bibir Mona yang kadang datar, kemudian berubah mengerucut lagi.
“Kau tak suka jalan denganku?” tanya Fani. Tapi Mona tak menjawab, sepertinya Ia melamun.
Kali ini Fani menepuk pelan pundak Mona.
“Hei!”
“Ah! Iya.” Mona terlonjak dan berhenti melangkah.
“Ada apa, Fani?”
“Dari tadi Kau diam saja, apa tak suka jalan dengan Ku?” tanya Fani. Ia melangkah minggir menghampiri kursi panjang di area taman. Fani sudah duduk.
“Eh! Maaf. Bukan begitu...” Mona mengangkat kedua tangannya, lalu mengibaskan nya cepat.
Mona duduk di samping Fani. “Maaf Aku melamun.”
“Kau lagi ada masalah?” tanya Fani.
“Tidak juga, aku hanya sedang kesal dengan Kakakku.”
“Ohhh” Fani membulat kan bibir nya. “Kalau begitu aku tidak mau ikut campur. Lebih baik kita makan, aku sudah lapar.” Ucap Fani sambil mengusap perut datar nya.
Mereka pun berdiri dan menuju sebuah restoran di seberang jalan. Pintu kaca itu sudah terbuka. Jadi pengunjung yang datang tinggal berjalan dan masuk.
“Kita duduk disana.” Tunjuk Fani ke arah kursi nomor 5 di dekat kaca.
Usai duduk mereka langsung memanggil pelayan untuk segera memesan makanan. Mona sudah sumringah. Ia bahkan terlihat sangat antusias saat melihat beberapa makanan yang ada di daftar menu.
“Aku mau ini, itu dan yang ini. Oh Ini juga.” Jari telunjuknya menunjuk beberapa deretan makanan di daftar menu itu. “Kau mau yang mana?”
“Aku yang ini saja.” Fani menunjuk gambar bakmi kuah dan minuman. Padahal tadi baru saja makan. Dan sekarang makan lagi, bahkan dengan porsi lebih banyak. Kata Fani dalam hati.
Pelayan mengangguk lalu pergi.
Sementara di kursi lain Arga, Dion dan Tora masih duduk di posisi masing masing. Ketiganya sedang menikmati roti bakar rasa coklat yang baru saja di sajikan oleh pelayan restoran.
“Sepertinya cuma aku yang tidak paham dengan apa yang kalian bicarakan tadi. Apa tidak ada yang mau menjelaskan nya padaku?” Dion melirik Arga dan Tora bergantian, lalu masuk lagi satu suap roti ke dalam mulutnya.
“Nanti saja, kita makan dulu.” Jawab Tora. Mulutnya masih mengunyah roti.
“Astaga!” Pekik Fani. “Kau yakin bisa menghabiskan makanan sebanyak ini?” Bola mata Fani membulat ketika pelayan sudah selesai menyajikan beberapa macam makanan yang di pesan Mona.
Meja mereka hampir penuh. Fani mengeryit dengan berkerut dahi. “Benar kata orang, tubuh mungil itu makannya banyak.” Batin Fani.
“Tenang saja, pasti habis.” Jawab Mona santai. Satu piring spageti di tariknya lalu satu suap masuk ke mulutnya.
Fani mulai memakan pesanannya sendiri. Ia hampir saja tersedak ketika melihat Mona begitu lahap memasukkan makanannya ke dalam mulut. Fani hanya nyengir ketika pengunjung lain meliriknya.
“Oh iya, Mona,” Fani menghentikan kegiatan makannya. “Kenapa kemarin Kau bertengkar dengan Tika?”
Seketika Mona langsung mendongak. Ia menyeruput satu mi yang belum sepenuhnya masuk ke dalam mulut. Mona hanya menatap Fani tanpa memberi jawaban. Lalu bibirnya mulai terbuka. “Oh itu, Aku cuma tak sengaja menabraknya. Eh Dia marah padaku, memaki maki segala.”
“Sampai jambak jambakan segala.” Fani terkekeh.
“Huh Kau ini!” Mona kembali melirik makanannya. “Kalau Dia tak memulai, Aku juga tak akan sampai begitu.” Menyuap lagi satu sendok bakmi kuah.
Setelah 4 macam makanan sudah selesai di habiskan, Mona meletakkan sendok dan garpu yang Ia pegang. Matanya lurus menatap tepat ke wajah Fani. Fani hanya mengerutkan dahi lagi.
“Apa? Mau nambah?”
“Fan! Aku lupa tidak bawa uang.” Pekiknya pelan.
Uhuk! Pada akhirnya Fani tersedak juga. Ia terbatuk dan langsung meraih satu gelas minuman. Di teguknya sampai habis. Di letakkan nya kembali gelas itu dengan keras.
“Kau serius?” matanya mengatup lalu terbuka lebih lebar.
Mona mengangguk. Gigi atasnya hampir terlihat semua. “Aku lupa minta pada Ibu tadi. Maaf.”
“Huh! Kau ini! Lalu siapa yang mau bayar semua ini?” gerutu Fani. Ia sudah panik sendiri. Di sekelilingnya masih begitu banyak pengunjung lain. Duh malu lah kalau sampai ketahuan nggak bawa uang!
Melihat kegelisahan dua pengunjungnya, pelayan wanita yang sedang mengelap meja di dekat mereka langsung melontarkan pertanyaan.
“Ada apa Nona? ada yang bisa di bantu?”
Mereka berdua saling pandang tak ada yang berani menjawab. Fani menyikut lengan Mona. Mengisyarat kan untuk segera berbicara dengan pelayan itu.
“Maaf, anu... Saya...”
“Iya Nona, bagaimana?” Pelayan itu masih memandang Mona yang mulai gelisah sendiri.
“Aku lupa bawa uang. Hehe.” Mona menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bahkan dengan santai nya hidung mungilnya kembang kempis mirip seekor kelinci.
“Maksud Nona?” tanya pelayan yang masih belum mengerti.
Mona melambaikan tangan, menyuruh pelayan untuk sedikit membungkuk dan mendekat lagi. Setelah jarak mereka sekitar 10 cm Mona mulai menggerakkan bibir mungil nya.
“Maaf, aku lupa bawa uang.”
“Apa?!” Pelayan itu mundur menjauh. “Lalu bagaimana dengan makanan ini? Siapa yang akan membayarnya?” tanya pelayan.
“Sshht!” Mona menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. Kaki nya Ia hentakkan. “Bisa tidak, kalau tidak usah keras keras. Pengunjung lain bisa dengar tahu.” Sewot Mona.
Siapa yang salah siapa yang marah. Pelayan itu justru kembali memarahi Mona. “Kalau tidak punya uang sebaiknya jangan kemari.”
“Aku punya uang tahu!” balas Mona dengan berkacang pinggang.
Fani menepuk jidat nya sendiri. Kenapa bisa Ia punya teman baru yang sekonyol Mona. Wataknya sungguh seperti anak kecil yang tak mau mengalah.
“Mona, sudahlah. Kita di lihat banyak orang. Gumam Fani. Fani menarik lengan Mona untuk mundur.
“Nanti juga Aku bayar, tapi tunggu aku pulang dulu.” Cerocosnya lagi masih tak mau mengalah.
“Ada apa sih mereka ribut-ribut?” tanya Dion.
Arga memutar kursinya lalu berdiri. “Mona?”
Arga langsung mendekat ketika keributan itu berasal dari seseorang yang di kenalnya. Dion dan Tora mengikutinya.
“Itukan bocah tengil yang waktu itu?” ucap Dion.
“Kau ini!” Arga menyeret lengan Mona. “Apa yang kau lakukan disini?”
Mona mendengus. “Ya makan lah! Apa lagi?”
“Maaf Tuan, Nona ini memesan begitu banyak makanan tapi tidak mau bayar.” Jelas pelayan itu. Ia membungkuk hormat pada Arga. Tentu pelayan itu sudah tau siapa Arga. Dia adalah pemilik restoran ini.
“Aku akan bayar kok!” serobot Mona lagi. Ia menyingkirkan tangan Arga yang menahan pundak nya.
Arga mengisyaratkan pelayan itu untuk segera kembali. “Biar Aku yang urus.”
“Baik, tuan.” Pelayan itu kembali ke belakang.
“Kau ini ya! Selalu saja bikin ulah!” Arga menarik kerah baju bagian leher belakang Mona.
“Aduh! Sakit Kak! Lepas!” Teriak Mona. Telapak tangannya mencoba meraih pergelangan Arga.
Arga masih terus menariknya menuju di mana tempat mobilnya parkir. Mona berontak pun tak akan menang. Kalau di bandingkan tenaga Mona di ibaratkan kucing melawan harimau. Mungkin 0,1% untuk bisa menang. Fani yang juga mengekor di belakang cuma bisa diam dan sesekali melirik Dion dan Tora yang ternyata juga melirik nya.
Ini wanita atau pria?
Fani berhenti. “Kenapa melihatku begitu?”
Dion dan Tora yang kepergok melirik Fani langsung berpaling dan mengejar langkah Arga yang sudah sampai di tempat parkiran.
“Dia itu perempuan atau laki-laki?” tanya Tora pada Dion.
“Kau tidak dengar suaranya tadi? Dia itu perempuan.” Jelas Dion yakin.
Mata mereka kembali fokus pada Arga dan Mona.
“Kenapa kau selalu bikin ulah?” tanya Arga. Kali ini cengkeraman di kerah baju Mona sudah terlepas.
“Siapa yang bikin ulah? Aku tidak...”
Sudahlah Mona! Kau memang pembuat onar. Batin Fani yang menyembunyikan tawanya.
“Tidak apa? Ayo masuk! Kita pulang.” Arga mendorong paksa Mona masuk ke dalam mobil. Dan “Breth!” pintu tertutup keras.
“Tapi Fani...” ucap Mona. Ia menyembulkan kepalanya keluar jendela mobil.
“Aku bisa pulang sendiri. Daagh!” Fani tersenyum dan langsung ngibrit berlari melewati Dion dan Tora.
Aku tak mau ikut campur debatmu dan Kakakmu. Bikin pusing saja.
“Cepat sekali larinya...” Celetuk Dion ketika Fani sudah menjauh di seberang jalan raya.
Arga sudah menempatkan pantatnya di jok depan. Ke dua tangannya sudah memegang setir mobil. “Aku balik dulu.” Ucapnya pada Dion dan Tora. Mereka hanya mengangguk.
Bibir Mona masih mengerucut ke depan. Wajahnya masih terlihat sangat kesal. Sesekali Ia melihat wajah Arga lalu mendengus dan melengos lagi.
Huh! Menarikku begitu di depan banyak orang. Aku kan malu.
“Kalau tak punya uang kenapa pergi ke restoran? Makan di rumah saja, itu lebih baik.” Cerocos Arga. Wajahnya datar tanpa tanpa ekspresi. Mona saja tidak bisa membedakan antara marah atau tidak. Wajahnya terlihat biasa dan sudah lebih tenang dari sebelumnya.
“Kakak ini sedang marah atau apa?” batin Mona.
“Kau tidak menjawabku?” timpal Arga lagi. Ia menoleh sebentar lalu fokus lagi pada jalanan.
“Aku kan cuma lupa tidak bawa uang. Jadi tak perlu marah padaku kan?” jelas Mona.
Jemarinya sudah saling meremas. “Semalam Kakak juga sudah memarahiku.” Masih terus menyalahkan tanpa menoleh pada siapa yang ada di sampingnya.
Arga menghela nafas. Tangan kirinya meraih kepala Mona, Membelai lembut dengan satu senyuman. “Maafkan Aku, Aku tidak bermaksud.” Tangannya masih menempel disana.
Huh! Mona menarik tangan Arga untuk segera menjauh dari kepalanya. Bukan karena tak suka, tapi terasa berati kalau berlama lama di sana. “Iya Aku maafkan.” Mona melipat tangan di depan dada.
Awas saja kalau memarahiku lagi. Kau tak tau ya Aku sangat ketakutan?!
“Kau harusnya tau, wajah Mu semakin jelek kalau di tekuk begitu.” Sindir Arga. Jari telunjuknya menusuk pipi Mona yang sebenarnya terlihat sangat menggemaskan.
“Biar saja, aku akan cantik kalau sudah dewasa nanti.” Timpal Mona. Kepercayaan diri bisa membawa kenyataan, itu kata Ibu nya dulu.
Di sampingnya Arga justru tertawa terbahak bahak. Lihat saja perut datar nya sampai Ia usap karena menahan tawa yang semakin meluber. Mona sudah mbesengut. Tapi ketika menoleh mengawati wajah yang sedang menertawainya itu, Mona langsung tersenyum. Ini pertama kalinya Mona melihat Arga tertawa seperti itu. Eh! Mungkin ke dua kalinya, Kemarin Arga juga tertawa ketika Nenek bertengkar dengannya di dapur kan? Tapi ini lebih dari tawa yang kemarin.
“Hei Kak!” Mona menegur. “Kenapa Kau sangat tampan.” Mona nyengir Menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Tawa itu akhirnya terhenti. “Aku memang tampan, banyak wanita yang mengantri padaku. Kau harus tau itu.”
Sepertinya Mona menyesali ucapannya barusan. Ia sudah menggerakkan lehernya menghadap jendela kaca. “Huek.” Kenapa dia jadi sombong seperti itu? Di puji sedikit saja sudah besar kepala. Huh!
Mobilnya sudah berdecit pelan, berhenti setelah memasuki halaman rumah. Di garasi depan sudah terparkir 3 mobil warna silver. Yang satu nya tentu milik Ayah. Mona yang sudah turun dari mobil langsung ngibrit lari menuju kamarnya. Air kencingnya sudah tak bisa di tahan lagi, bahkan Ia berlari dengan tas yang Ia selipkan di himpitan selakangannya untuk menahan supaya tak keluar.
“Nenek disini?” Gumam Arga melirik satu mobil silver itu. “Mudah mudahan saja tak ada Tiara.” Arga berjalan masuk memasuki rumahnya.
“Sepi.” Arga menyapu setiap ruangan. Tak ada siapa pun disana. Hanya ada Minah dan kedua temannya yang sedang mengepel lantai.
“Minah!” panggil Arga.
Yang di panggil langsung mendekat. Ada lap meja yang tersampir di pundak nya. “Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?” menunduk sopan.
“Nenek dimana?”
“Di ruang kerja Tuan Hutomo.”
“Oh. Ya sudah.”
“Baik Tuan, Saya permisi.”
Arga kembali berjalan. Menaiki tangga dengan langkah pelan. “Tak biasanya Nenek masuk ke ruang kerja Ayah. Apa yang sedang mereka bicarakan?” Pertanyaan di dalam hati nya membuat penasaran.
“Aku datang kesini karena memang akan mengurus sesuatu yang sangat penting. Jadi Aku minta bantuan Mu.” Mira sudah duduk di kursi Hutomo. Sementara Hutomo memilih berdiri bersendehan pada rak Buku.
“Bantuan apa yang Ibu butuhkan dariku?” Berjalan mendekati meja lalu duduk di kursi di depannya.
“Aku minta Kau urus proyekku yang sedang berjalan 1 bulan di sini.”
“Kenapa? Apa Ibu akan pergi ke luar negeri lagi?”
“Tidak.” Meri berdiri. Jemarinya mengelap pinggiran meja. “Aku hanya akan menyelesaikan urusanku yang lain terlebih dulu. Dan selama Aku sibuk dengan itu, kau uruslah proyek Ku. Aku hanya percaya padamu Hutomo.”
“Kalau boleh tau, Apa yang sedang Ibu kerjakan? Sampai sampai Aku harus mengurus proyek Ibu?” Hutomo di buat penasaran. Ini pertama kali nya Meri menyerahkan pekerjaan kepada Hutomo. Biasanya Ia hendel sendiri di bantu para bawahannya.
Meri mendesah. Ia menggamit ponselnya di atas meja. “Untuk saat ini Kau tidak perlu tau dulu.” Jawab Meri sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu.
***
sempatkan untuk rate dan Vote yaaaa... 🙏🙏🙏🙏