Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Calon Legenda Kos-kosan
Pria yang dipanggil Tini datang menyeret kopernya. Mendekati tiga wanita yang duduk di teras kamar. Mak Robin masih berhenti beberapa meter dari kumpulan kursi. Wanita itu sedang setengah berjongkok menunggu anaknya yang sedang menggaruk kakinya. Terdengar omelan pelan soal jangan bermain kotor.
Wajah pria yang menyeret koper terlihat begitu serius. Saking seriusnya wajah pria itu, malah terlihat sedikit kesal, karena Tini memanggilnya seperti gerobak pedagang yang melintas.
"Ada apa, ya, Mbak?" Pria itu menatap Tini.
"Kamu anak baru, kan? Pasti mau ngambil kunci," todong Tini langsung.
"Iya, benar. Saya diminta menemui yang namanya Mak Robin. Kamar saya yang ada di sebelah sana, kan?” tanya pria itu menatap pintu kamar pojok kanan yang masih tertutup dan memang kosong sejak lama.
Tini melirik Mak Robin yang masih menunduk dan berbicara dengan anaknya. "Iya, benar. Aku Mak Robin,” jawab Tini. "Kamu bawa apa itu? Speaker, ya? Kerjaan kamu sehari-hari ngamen?” tanya Tini dengan usilnya.
Dijah hanya memandang calon penghuni baru sekilas, lalu ia mengambil stoples berisi emping dan kembali menyodorkannya kepada Dul. "Mau lagi? Ambil aja,” pinta Dijah pada anaknya. Dul menuruti ibunya, mengambil beberapa lembar emping kemudian kembali mengunyahnya.
Mak Robin perjalan berjalan mendekati. Matanya tak lepas memperhatikan pria penghuni baru. Ia lalu tiba di sebelah Dijah dengan Robin berada di gandengannya.
"Enggak—enggak,” kata pria itu tak sabar. Meski terlihat jengkel, ia masih meleadeni pertanyaan Tini dengan sabar. "Aku SPB kosmetik di mall depan. Memangnya kenapa?” tanyanya lagi.
"Kayaknya kamu bisa nyanyi, ya? " Tini menatap pria di depannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Ayo, perkenalkan diri kamu dengan sebuah lagu," pinta Tini. Ia melirik Mak Robin, untungnya wanita itu tidak mendengar, bahwasanya tadi ia mengaku bernama Mak Robin. Asti hanya terkikik sambil menutup mulutnya. Sedangkan Dijah tidak begitu peduli dengan ucapan Tini.
"Mau lagu, ya? Sebentar aku cek mic dulu. Apa baterainya masih bisa.” Pria itu lalu berjongkok menurunkan tasnya seperti seorang sales, yang akan mengeluarkan dagangan. Sejurus kemudian pria itu telah mengeluarkan sebuah mic dan menyalakannya. "Oh, masih bisa. Mau lagu apa?” tanya calon penghuni baru itu. Kalau dengan menyanyikan sebuah lagu bisa memulai hubungan baik di sana, ia tak keberatan. Tapi, perempuan berambut merah di depannya sangat menyebalkan.
"Lagu apa, ya?" Tini menelengkan kepalanya berpikir. “Aku keinget sama satu lagu. Tapi … kamu ada mic yang lain? Mic beneran satu lagi. Ada nggak?” tanya Tini.
"Ada. Ya, ini mic beneran. Memangnya ada yang nggak beneran?” kesal Boy. “Memangnya mau nyanyi lagu apa?” tanya Boy, menurunkan intonasi suaranya yang tadi sudah meninggi. Ia harus bisa lebih bersabar lagi dengan perempuan berambut merah menyala di depannya.
Apalagi tadi pemilik kos mengatakan bahwa wanita yang bernama Mak Robin ini yang memegang kunci kamarnya. Sedikit lagi, ia merasa harus bersabar. Wanita ini pasti penguasa di sini, pikirnya. Tak ada salahnya menjalin hubungan baik. Ia berkali-kali menghibur diri.
"Ayo, coba nyalakan speaker. Kamu cari lagu Gelora Asmara. Aku mau nyanyi lagu itu, tapi kamu ikut nyanyi, ya. Aku nggak pede kalau sendirian menggila di siang bolong. Aku biasanya menggila di malam bolong,” ucap Tini.
Mak Robin menarik kursinya dan ikut duduk. Siang itu mereka seperti kedatangan seorang sales elektronik yang berdemo dengan sebuah speaker. Merasa ikut penasaran, Mak Robin memperhatikan pria muda yang dengan cekatan mengeluarkan ponsel, lalu menghubungkan channel musik melalui bluetooth ke speaker-nya.
Dijah yang sejak tadi diam memperhatikan akhirnya ikut tersenyum. "Ayo, nyanyi. Aku pengen denger,” pinta Dijah.
"Oke—Mas … eh, namanya siapa?” tanya Tini. Ia baru sadar bahwa sejak tadi mereka belum ada menanyakan nama pria itu.
"Panggil aja Boy. Mas Boy,” jawab Boy.
"Nggak, ah. Aku manggil kamu nama aja, Boy. Memangnya berapa umur kamu, sampai mau dipanggil Mas,” ketus Tini. “Lagian … apa iya Mas-mas?” gumam Tini, mengamati penampilan Boy dengan lebih teliti.
Seketika Boy langsung terlihat gusar mendengar ucapan Tini. "Ya, udah. Panggil nama aja. Makin dituruti, kok, makin ngeselin." Boy bergumam dengan sangat jelas.
Tapi, meski Tini mendengar jelas perkataan Boy, perempuan itu cuek saja. Tini malah merampas mic dari Boy saat musik mulai mengalun. Ia duduk bersandar dan menyilangkan kakinya.
Tini memejamkan mata, meresapi hentakan musik yang bergetar keluar dari speaker. Boy kemudian memencet tombol yang membuat lampu di speaker itu berkedip-kedip dengan meriah.
Dan … jeritan panjang melengking Tini pun keluar. Wanita itu mulai bernyanyi. Boy mengeluarkan mic satunya dan ikut menimpali nyanyian itu. Tak sangka, duet mereka berdua terdengar lumayan.
Sejak jumpa dia
di suatu pesta
apa yang kurasa
hatiku berbunga
Lama kumendamba
gejolak asmara
kini kumerasa
padamu hai, Dara
senyummu sungguh menawan
wajahmu ayu rupawan
ke mana mata memandang
hanyalah dirimu yang selalu terbayang
(Gejolak Asmara - Nassar Sungkar)
Tini dan Boy siang itu bernyanyi bersahut-sahutan dengan suara speaker yang merambat hingga ke seluruh bangunan. Beberapa penghuni dari lantai dua terlihat melongokkan kepala ke bawah tanpa protes.
Tanpa Tini dan Boy sadari, hari itu mereka berdua telah mengikat takdir dengan speaker portable yang akan terus menemani mereka mengisi hari-hari di kos-kosan itu.
Boy masih Berdiri di dekat mereka. Ia mematikan mic-nya dan memencet tombol di speaker untuk memadamkan lampu. Boy merasa, siang itu satu lagu sudah cukup. Hatinya sedang tak enak. Ia baru saja ribut dengan bapaknya melalui telepon. Berulangkali ia sudah mengeluh bahwasanya ia lelah menjadi SPB di mall.
Sebelumnya Boy tinggal di kos-kosan elit. Perbulannya ia bisa mengeluarkan hampir setengah gajinya hanya untuk tidur dan mengurusi pakaiannya. Belum lagi soal makannya. Karena permohonan modalnya ditolak oleh sang bapak, lagi-lagi Boy menutup telepon tanpa salam pada orang tuanya. Ia mengambek untuk kesekian kali. Lalu, ia memutuskan untuk pindah ke kos-kosan yang jauh lebih murah untuk menghemat biaya.
Boy membeli sebuah sepeda motor bekas milik temannya dengan harga jauh lebih murah. Niatnya ia ingin memangkas biaya pengeluaran transportasi. Esok hari, motor itu baru akan diantarkan oleh temannya.
“Baiklah, kalo gitu saya mau masuk dulu ke kamar. Mak Robin, kunci kamarku mana?” tanya Boy, menengadahkan tangannya pada Tini.
“Bah! Sejak kapan pula kau jadi mamaknya si Robin?” tanya Mak Robin terheran-heran. “Aku mamaknya si Robin? Apa kata perempuan ini sama kau tadi?” Mak Robin menunjuk Tini bertanya pada Boy.
Tini tak sanggup menyembunyikan tawanya. Wanita berambut merah itu tertawa terbahak-bahak tanpa perasaan. Asti dan Dijah ikut tertawa. Sedangkan Mak Robin menarik rambut Tini sebelum masuk ke kamarnya untuk mengambil kunci kamar Boy.
Boy terlihat gusar. Namun, Tini segera mencolek lengan Boy. “Salam kenal, ya, Boy. Semoga kamu dan aku bisa menjadi teman sehati tempat berbagi nasi dan mencurahkan isi hati.” Tini mengedipkan matanya.
Kegusaran perlahan memudar dari wajah Boy. Ia lalu ikut tertawa kecil seraya mengedarkan pandangannya pada Dijah dan Asti yang masih tersenyum-senyum.
“Nah, ini kunci kau!” kata Mak Robin, mengulurkan sebuah kunci yang diberi gantungan souvenir resepsi pernikahan entah siapa.
Dua orang wanita berjalan melintasi halaman ke arah pagar. Mereka adalah penghuni lantai dua. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berbicara, sambil menoleh ke arah Dijah.
“Itu! Janda yang gatel sama pacarku. Apa nggak ngaca mau ganggu-ganggu pacarku. Padahal udah punya anak. Laki-laki mana yang mau ngasi makan anaknya. Apalagi denger-denger, bapaknya suka judi. Pengangguran,” ujar perempuan itu dengan suara yang tak disamarkan sama sekali. Seakan ia memang ingin Dijah yang duduk di sana ikut mendengarnya.
Dijah terdiam. Ia menatap Dul yang sedang berjongkok menyusun-nyusun batu bersama Robin di halaman kos.
“Itu orangnya, Mak?” tanya Dijah memandang Mak Robin.
Mak Robin mengangguk. “Jelas kau dengar, kan? Selama ini dia sering ngeliat ke pintu kamar kau. Tapi, kau jarang ada. Hari ini, dilampiaskannya semua.”
Boy yang tadi mau berjalan ke kamarnya, mengurungkan niat. Ia berhenti untuk mendengar pembicaraan di teras itu. Ternyata di mana-mana sama saja, pikirnya. Sindiran-sindiran dari mulut orang pengecut akan selalu ada. Ia mengingat kejadian baru-baru ini di mal tempatnya bekerja.
“Mulutnya jahat banget,” gumam Boy tak sadar. Ia tak bermaksud mencampuri, tapi para wanita di depannya tak ada mengganggu siapa pun sejak tadi. Apalagi wanita yang sejak tadi memangku anaknya. Boy melirik Dijah.
“Gimana, Jah?” tanya Tini, melirik Dijah dan menatap kedua wanita yang berjalan menjauh keluar pagar.
“Sekarang ada Dul. Besok pagi aja,” kata Dijah.
“Boy!” pekik Tini tiba-tiba.
Boy tersentak mundur selangkah saking terkejutnya. “Apa?” sergah Boy benar-benar terkejut. Perempuan berambut merah di depannya ternyata memang paling gaduh.
“Besok pagi keluarkan speaker-mu. Kita harus jadi promotor Dijah. Dia harus menang. Demi eksistensi anak lantai satu,” ujar Tini.
Boy mengangguk saja meski tak terlalu paham. Ia kembali menoleh wanita yang bernama Dijah itu.
Dijah hanya diam setengah melamun sambil memandangi Dul. “Laki-laki mana yang mau ngasi makan anakku?” gumam Dijah. Sorot matanya sendu menatap Dul.
To Be Continued
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza