Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Masih Kepikiran Kerjaan
“Uhuk … uhuk.”
Suara batuk pelan terdengar di kamar yang masih remang. Lidya menarik tisu di meja nakas, mengelap hidungnya yang memerah. Tubuhnya terasa berat, kepala berdenyut seperti dipukul dari dalam.
Namun begitu pandangannya jatuh ke jam digital di sisi tempat tidur — jam 08.30 — ia langsung bangun setengah duduk, panik.
“Ya Allah, jam segini!” desisnya parau. Ia menyingkap selimut, lalu segera meraih laptop di meja samping. “Meeting Kak Arjuna jam sepuluh … bahan presentasinya belum aku kirim.”
Ia menyalakan laptop, jari-jarinya gemetar di atas keyboard. Suhu tubuhnya masih hangat, tapi rasa tanggung jawabnya jauh lebih besar daripada rasa sakit yang menekan.
Ia menarik napas panjang, lalu menyalakan ponsel. Namanya langsung mengetik pesan singkat di layar.
“Mas Raffi, kamu udah di kantor? Aku kirim revisi bahan meeting-nya sebentar lagi ya. Aku agak drop pagi ini.”
Tak sampai satu menit, telepon berdering.
Nama Raffi – Asisten Pak Arjuna terpampang di layar. Lidya segera mengangkat, suaranya serak tapi berusaha terdengar normal.
“Halo, Mas Raffi.”
“Mbak Lidya? Ya ampun, suaranya kenapa? Sakit, ya?” Suara Raffi terdengar khawatir. “Saya udah di kantor, lagi nyiapin berkas meeting Pak Arjuna.”
Lidya tersenyum tipis. “Iya, demam dikit. Tapi aku udah beresin revisinya kok. Sebentar lagi aku kirim lewat email.”
“Ngapain maksain kerja, Mbak? Istirahat aja. Nanti kalau Pak Arjuna tahu, bisa marah besar lho.”
“Justru itu,” Lidya terkekeh kecil, “kalau beliau tahu aku nggak kirim bahan presentasi, malah lebih marah.”
Raffi tertawa pelan di seberang. “Nggak berubah, ya. Tetap perfeksionis.”
“Iya, emang udah dari sananya,” jawab Lidya, berusaha santai meski tenggorokannya terasa perih.
Ia membuka folder presentasi, mengecek satu per satu slide yang semalam belum sempat disunting. Pandangannya agak kabur, tapi ia bertahan.
“Mas Raff, kamu pastikan aja semua file pendukungnya nyatu ya. Jangan sampai miss,” ujarnya pelan.
“Siap, Mbak. Tapi saya catat, Mbak Lidya nggak masuk kerja hari ini, ya? Saya laporin ke HR.”
“Laporkan aja. Sekalian sampaikan ke Pak Arjuna, aku izin istirahat. Tapi tolong … bilangin juga file revisi udah dikirim, biar beliau tenang.”
“Oke. Tapi Mbak janji ya, habis ini tidur lagi?”
“Iya, iya. Aku nurut kok,” katanya sambil tersenyum lemah.
Begitu sambungan telepon terputus, Lidya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kepala ranjang. Laptop masih terbuka, menampilkan grafik keuangan di layar.
Cahaya pagi yang masuk dari sela tirai membuat wajahnya tampak pucat. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
“Tugas selesai,” gumamnya lirih, lalu menutup laptop.
Satu tangan menekan pelipis, lalu tubuhnya perlahan rebah lagi di kasur. Matanya terasa berat.
Dalam benaknya, bayangan wajah Arjuna semalam muncul singkat — tatapan tajam itu, nada suaranya yang tenang tapi penuh kendali.
“Kak Arjuna pasti sibuk,” ucapnya setengah sadar. “Semoga meeting-nya lancar.”
Tak lama, tubuhnya tertidur lagi. Napasnya berat tapi teratur, meninggalkan aroma balsam dan obat penurun panas yang samar memenuhi kamar.
***
Grup Adiwongso Headquarters — 09.10 WIB
Pintu lift terbuka di lantai 25. Arjuna melangkah keluar dengan jas abu-abu dan kemeja hitam, raut wajahnya tegas seperti biasa.
Raffi yang sudah menunggu di depan pintu langsung menyambutnya dengan berkas di tangan.
“Selamat pagi, Pak Arjuna.”
“Pagi, Raffi. Semua sudah siap?”
“Sudah, Pak. Ini bahan meeting-nya, hasil revisi terakhir dari Mbak Lidya.”
Arjuna berhenti sejenak, menatap map biru itu dengan alis terangkat. “Dari Lidya?”
“Iya, Pak. Katanya revisi sudah lengkap. Tapi beliau izin nggak masuk hari ini. Sedang demam.”
Arjuna tertegun sepersekian detik. “Ya, dia memang sedang demam,” gumamnya lirih.
“Iya, Pak. Beliau agak kurang fit,” lanjut Raffi. “Tapi tetap kirim file pagi-pagi. Katanya penting buat meeting Bapak jam sepuluh.”
Arjuna diam, memandangi berkas itu tanpa bicara.
Dalam benaknya, tiba-tiba muncul bayangan Lidya semalam — wajah pucat, napas tersengal, tapi masih sempat berterima kasih karena dipanggilkan dokter.
Dan pagi ini, gadis itu masih sempat bekerja untuknya?
“Gila kamu, Lidya, seharusnya kamu tuh istirahat saja,” ucapnya dalam hati.
“Pak?” tanya Raffi, mengira bosnya tidak mendengar.
Arjuna menggeleng cepat. “Nggak, nggak apa-apa. Oke, taruh aja di meja kerja saya.”
“Baik, Pak.”
Raffi meletakkan map itu di meja besar yang menghadap jendela.
Sebelum keluar ruangan, ia menoleh lagi. “Pak, kopi hitam seperti biasa, ya? Saya panggil Mbak Lidya … oh iya, lupa, kalau dia lagi sakit.”
Arjuna sempat ingin menjawab otomatis, “Ya, suruh Lidya aja yang buat”, tapi kalimat itu tertahan di tenggorokannya.
Raffi menyadari ekspresi itu. “Mau saya buatkan, Pak?”
Arjuna menatap mejanya yang rapi. Biasanya, di sisi kanan selalu ada cangkir kopi hitam — buatan Lidya sendiri, dengan takaran gula setengah sendok yang hanya dia yang tahu pasnya.
Kini tempat itu kosong.
“Ya, tolong buatkan aja,” jawab Arjuna akhirnya. “Kopi hitam, gula setengah sendok saja.”
“Siap, Pak.”
Begitu pintu tertutup, ruangan itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Arjuna membuka map biru di depannya, menatap halaman pertama. Presentasi keuangan, analisis risiko, grafik ekspansi — semua rapi, presisi, dan disusun dengan gaya khas Lidya: bersih, tajam, efisien.
Namun kali ini, setiap baris angka justru terasa seperti pesan diam dari seseorang yang sedang berjuang di bawah selimut.
Ia menatap layar laptopnya, lalu menekan ikon email.
Benar — ada pesan masuk dari Lidya Calista, dengan subjek: Final Revision for Meeting 10 AM.
Dan di akhir pesan itu, ada satu baris kecil:
“Semoga meeting-nya berjalan lancar, Kak. Mohon maaf, aku masih belum bisa masuk kerja.”
Arjuna terdiam cukup lama, pandangannya tertuju pada huruf “Kak” yang sederhana tapi terasa aneh di dadanya.
Ia mengembuskan napas panjang, menutup laptop perlahan. Entah kenapa, pagi ini kantor terasa lebih dingin dari biasanya.
Raffi kembali masuk membawa secangkir kopi di atas nampan. “Ini, Pak.”
“Terima kasih,” ujar Arjuna singkat. Ia mengambil cangkir itu dan meneguk sedikit.
Begitu rasa pahit menyentuh lidahnya, ia langsung tahu — tak sama.
Terlalu manis, dan aroma kopinya terlalu kuat. Tidak seperti buatan Lidya yang selalu seimbang: tidak terlalu pahit, tidak terlalu ringan.
“Raffi.”
“Ya, Pak?”
“Kopinya terlalu manis.”
“Oh, maaf, Pak. Saya—”
“Nggak apa-apa.” Arjuna memotong pelan. “Lain kali biar Lidya aja yang buat. Dia tahu rasa kopi buat saya.”
Raffi mengangguk. “Baik, Pak. Tapi, hari ini Lidya tidak masuk,” katanya sebelum pamit keluar.
Bersambung ... ✍️
Gambar hanya sekedar pemanis 😁, foto di atas: Lidya dan Arjuna
💪😰😰😰😆
makin panas tuh hatiii 🤣🤣🤣
kamu pikir dengan smua yg kamu lakukan smua beres? tidak kaaan? justru kamu makin g bisa tenang karena g d sangka2 ucapan Lidya kebuktian, walaupun smua nya datang dengan kebetulan 🤭
semangat MOMMY GHINA, bikin Arjuna g bisa tenang dn g bisa tidur..item2 tuh d bawah mata,,biar panda ada temen nya 🤣
maka nya Juun kamu jangan sok2an smua bisa d selesaikan dengan uang..smua bisa selesai hanya dengan menjaga jarak dn menjauh,,klo udh begini..siapa yg panas cobaaa?? 🤣🤣🤣🤣
hareudaaaang !!!!!
air mana...aiiiiiirr 🤣🤣🤣
gimana Juun,,hati amaaan??? 🤣
aman dong tentu nya yaaaa,,kan Lidya cuma adik ipar...d tambah lg udh d transfer 2 M utk kehidupan Lidya k depan nya kaaan?
awas lhoo tuh hati jangan sampe mencelos ketika liat keakraban Lidya ama Farel..!!!
jangan sampe ada goresan d hati y Juun liat Lidya dn Farel pelukan,,karena Lidya kan HANYA ADIK IIIIPAR 🤭
ayoo lid semangat ketawa2 aja terus jgn melow2 berkepanjangan