Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Dia Sudah Mati
Farhan membuang waktu kerjanya untuk mencari jejak Sari. Dia sangat menyesal karena sudah menyakiti perasaannya. Bahkan ia tak pernah tahu kalau gadis itu berasal dari daerah yang dulunya pernah ditempati. Meskipun sudah cukup lama tidak pernah menginjakkan kakinya di daerah itu, tapi ia masih bisa menghafal setiap tikungan menuju tempat Sari tinggal.
Di kampung kujang kecamatan Waringin kini dia memijakkan kakinya. Dia mendapati beberapa orang yang berlalu-lalang pergi beraktivitas. Nuansa pedesaan dengan hamparan luas tanah pertanian begitu menyejukkan. Sangat berbeda sekali dengan kota yang ditinggalinya, sangat sulit untuk mendapatkan udara segar alami, banyaknya asap kendaraan yang nyaris membuatnya sesak nafas.
Mendapati seorang pria tua yang tengah duduk di pos ronda diputuskannya untuk keluar mobil dan bergegas menemuinya. Ia berharap bisa mendapatkan titik terang mengenai keberadaan Sari.
"Permisi Pak, apa di daerah ini ada anak gadis bernama Sari?"
Pria tua itu mengerutkan keningnya. Dia mengingat-ingat berapa banyak warga di tempatnya yang memiliki nama serupa. "Maaf Pak, kalau boleh tahu Sari siapa ya? Soalnya di sini banyak orang yang namanya Sari."
Farhan menggaruk kepalanya. Ia sendiri juga belum begitu mengenal sosok Sari, apalagi memiliki fotonya. Pencarian itu hanya modal tekad. Ia memiliki keyakinan kalau Sari memang berasal dari kampung itu.
"Tingginya kurang lebih seratus lima puluh sentimeter pak, dia agak kurus dengan kulitnya putih bersih, rambutnya sebahu. Asalnya dari kampung Kujang kecamatan Waringin, bukanlah ini tempatnya?"
"Oh..., iya benar. Ini memang kampung Kujang kecamatan Waringin. Kalau orang yang bapak cari kemungkinan besar ada di daerah sini, tapi apakah anda memiliki fotonya? Kalau dengan foto mungkin saya bisa menunjukkan sesuai dengan yang anda maksud. Kalau nggak ada fotonya ya saya takut salah pak," jawab pria itu.
"Waduh..., gimana ya Pak? Saya sendiri nggak ada fotonya. Kemarin dia kan bekerja di rumah saya di kota. Seminggu bekerja di tempat saya dia mengalami kecelakaan tabrak lari, ketika di rumah sakit dia tiba-tiba menghilang. Saya khawatir kalau dia balik ke kampung dalam kondisi terluka. Sudah seharusnya saya bertanggung jawab atas kejadian yang menimpanya."
Pria tua itu geleng-geleng kepala mendengar penjelasannya. Tapi setahunya tidak ada wanita bernama Sari yang ada di perantauan, karena sebagian besar penduduknya bertani, mereka enggan pergi merantau sampai ke luar kota.
"Em..., gini aja deh Pak, barangkali anda mengenal Pak Rahmat, dulu beliau tinggal di daerah sini, tapi saya lupa tempatnya. Mungkin kalau saya bisa menemui beliau saya bakalan menemukan petunjuk mengenai gadis itu."
"Pak Rahmat? Jadi anda kenal dengan Pak Rahmat? Ya..., saya baru ingat kalau pak Rahmat memiliki cucu yang bernama Sari. Kalau untuk pak Rahmat sendiri beliau sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Rumahnya ada di pojokan situ, tapi sudah terjual. Sari pun juga pergi dari situ karena diusir oleh anaknya pak Rahmat. Kasihan sekali anak itu, sudah ibunya meninggal, kakeknya meninggal, diusir pula sama pakdhe dan budhenya. Entah di mana keberadaan gadis itu. Semoga saja dia bertemu dengan suaminya. Saya cukup mengkhawatirkannya. Di dunia ini dia hanya sebatang kara, suaminya juga dijemput oleh keluarganya."
Farhan serasa tercekik lehernya hanya dengan mendengar kabar yang mengejutkan dari seseorang yang pernah singgah di kehidupannya. Terlalu lama ia tak pernah datang untuk berkunjung. Bukannya ia tak ingin berkunjung, tapi sang ayah mewanti-wanti akan menghancurkan kehidupan Rahmat dan keluarganya jika masih berani menjalin hubungan dengan keluarga itu.
"Jadi maksud bapak Pak Rahmat sudah meninggal? Terus bagaimana dengan kehidupan Nurma?" tanya Farhan.
"Loh, anda mengenal Nurma? Nurma sudah meninggal duluan, tidak lama dari itu ibunya juga meninggal."
Farhan mendelik terkejut. "A—apa! Nurma sudah meninggal? Ini tidak mungkin! Anda bohong kan Pak?"
Pria tua itu memicingkan matanya. Dia melihat wajah sedih pria itu. "Kalau boleh tahu anda siapanya Nurma? Kok anda terlihat begitu gelisah?"
"S—saya suaminya Pak!"
"Apa? Jadi anda suaminya Nurma yang menghilang tanpa kabar itu? Bahkan di saat istri anda meninggal anda tidak datang? Suami macam apa anda ini! Nurma meninggal setelah dibully banyak orang. Dia mengalami depresi hingga mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia bahkan meninggalkan anaknya yang masih sangat kecil. Tidak lama dari itu ibunya menyusul, dan pak Rahmat harus mengurus cucunya seorang diri. Di saat pak Rahmat meninggal, cucunya di usir oleh dua anak pak Rahmat yang lain. Dia sekarang hidup sebatang kara dan tak tahu di mana keberadaannya! Semoga saja dimanapun Sari berada dalam kondisi baik. Saya pikir ayah Sari sudah meninggal, bahkan seumur hidupnya dia belum pernah merasakan kasih sayang sosok ayah. Dia selalu menjadi gunjingan warga sini, cacian, bullyan semua dia terima. Sungguh malang anak itu."
Pria tua itu cukup geram dan ingin menumpahkan kemarahannya pada Farhan. Awalnya ia tak mengingat kalau pria itu pernah tinggal di kampungnya dan menikahi seorang gadis yang tak lain adalah Nurma, anak bungsunya pak Rahmat. Kalau bukan pria itu yang bercerita sampai kapanpun ia tak akan pernah mengetahuinya.
"Pak, tolong izinkan saya untuk datang ke pemahaman istri saya. Saya ingin memastikan kalau istri saya benar-benar sudah tiada. Sebelum saya melihat dengan mata kepala saya sendiri saya tidak akan bisa percaya begitu saja."
"Oh..., jadi anda masih nggak percaya sama penjelasan saya? Ya terserah! Anda mau percaya ataupun tidak itu bukan urusan saya, yang jelas saya sudah ceritakan semua!"
Dengan nada sinisnya pria bernama Burhan yang tak lain mantan ketua RT itu mendengus kesal karena niat baiknya masih juga disepelekan.
"Bukan begitu maksudnya pak, anda jangan salah paham dengan penjelasan saya. Saya hanya ingin minta tolong untuk ditemani ke makam, setelah saya menemui makam istri saya, bapak bisa meninggalkan saya."
Walaupun masih jengkel, Burhan tetap harus mengantarkannya menuju pemakaman. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman antara penduduk kampung dengan pria itu. "Ya sudah, mari saya antar."
Setibanya di pemakaman umum Burhan menunjukkan tiga makam berjajar rapi, di situ bertuliskan nama Nurma, Rahmat dan Yanti, istri daripada Rahmat. Farhan tak berhenti menitikkan air matanya kala matanya tertuju pada batu nisan bertuliskan nama istrinya.
"Nurma! Secepat itu kamu ninggalin aku? Aku bahkan belum sempat mengunjungimu. Aku pikir kamu baik-baik saja dan masih setia menungguku, ternyata kamu sudah tiada. Maafin aku Nurma, aku sudah banyak mengecewakanmu. Aku tidak pernah ada di saat kau butuhkan. Aku benar-benar sangat jahat! Aku bahkan sudah tega mentelantarkanmu. Kau patut untuk membenciku! Kau juga patut untuk membalaskan dendammu! Tapi bukan berarti harus mengakhiri hidupmu. Orang tadi bilang kamu meninggalkan seorang anak kecil perempuan. Apakah itu Sari? Jika benar Sari itu anak kita, berarti aku sudah melukai perasaannya. Maafkan aku Nurma, bahkan di saat anakku hadir di hadapanku aku tidak bisa mengenalinya."