Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Hari-hari dan minggu-minggu berlalu, dan semuanya tetap sama. Dasha sudah tidak tahu apakah dirinya bodoh, atau hanya terlalu kebal rasa. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Suatu hari Issa membawanya ke Masion keluarga Sheffield, tapi keesokan harinya, hingga sekarang, lelaki itu selalu datang bersama wanita berbeda setiap hari.
Perannya sebagai kekasih pura-pura Issa masih berlanjut, dan itu justru membuatnya semakin bingung. Bukankah lebih baik Issa mengatakan yang sebenarnya saja, bahwa hubungan mereka sudah berakhir? Karena semakin lama, semakin sakit rasanya. Di depan keluarga Issa, lelaki itu manis dan perhatian, tapi begitu mereka keluar dari rumah itu, semuanya kembali seperti semula dingin dan jauh.
Hari ini, satu hari lagi melihatnya dengan wanita lain. Issa tidak pernah absen membawa perempuan ke kantornya. Dasha tahu persis apa yang mereka lakukan di dalam ruangannya.
Laki-laki murahan! pikirnya getir. Tukang main perempuan!
Meski begitu, setidaknya Issa masih menjalankan perusahaannya dengan baik. Ia mungkin bejat, tapi tidak ceroboh dalam bisnis.
Dasha berusaha keras menunjukkan bahwa ia tidak peduli. Tapi lama-lama, rasa sakit itu menumpuk, menyesakkan dada.
Ia berdiri dan melangkah menuju kamar mandi, berharap tempat itu bisa memberinya kenyamanan. Bahkan kamar mandi pun kini jadi tempat pelariannya.
Ia memutuskan untuk menenangkan diri dengan menghubungi anak-anaknya. Ia menekan tombol video call, dan beberapa detik kemudian wajah Lea muncul di layar.
“Halo, Mima! Mima nggak sibuk?” tanya si kecil dengan senyum lebar. Dasha tidak bisa menahan senyum. Ia sudah bilang agar anak-anak tidak menelepon ketika ia sedang di kantor, tapi kini justru dia sendiri yang melanggar aturan itu.
“Maaf ya, Mima yang salah kali ini. Harusnya kalian tidak Mima ganggu di jam segini. Lagi ngapain, hmm?”
Mendengar suara anak-anaknya selalu menjadi obat mujarab bagi Dasha. Semua kekacauan di kepalanya tentang Issa lenyap setiap kali mereka tertawa.
“Kami di rumah, Mima! Hari ini pulang lebih awal, jadi nenek jemput kami di sekolah. Leo masih ganti baju, lambat sekali dia,” tawa Lea riang.
Dasha ikut tertawa, tapi tawa itu terhenti saat tiba-tiba terdengar suara berat memanggilnya.
“DASHA!”
Ia hampir menjatuhkan ponselnya. Dengan cepat, ia menekan tombol akhir panggilan dan keluar dari kamar mandi. Di luar, wajah Issa tampak menegang, penuh amarah.
“T-tuan me-manggil saya?” Dasha terbata.
“Aku tidak membayarmu untuk mengobrol lewat telepon! Kembali ke meja kerjamu. Kalau ketahuan lagi, aku tidak akan ragu memecatmu. Sembunyi-sembunyi di toilet pula. Aku tahu apa yang kau lakukan.” katanya dingin, sebelum masuk lagi ke ruangannya.
Dasha hanya menarik napas panjang, menahan emosi yang sudah di ujung. Ia kembali ke mejanya, memilih diam. Ia tahu, jika ia bicara sekarang, mungkin akan berakhir buruk.
**
Beberapa jam kemudian…
“Hei, jalang.”
Dasha menoleh. Benar, hanya ada dia di ruangan itu selain Issa dan tentu saja wanita baru lelaki itu hari ini. Siapa lagi yang dipanggil kalau bukan dirinya?
“Kau baru saja memanggilku jalang?” tanyanya tenang.
“Ya. Masa aku memanggil diriku sendiri jalang?” jawab si wanita dengan nada sinis.
“Apa yang memberimu hak untuk memanggilku seperti itu?” suara Dasha masih terkendali meski darahnya mendidih.
“Aku pacarnya Issa. Jadi tolong, belikan aku mocha frappe di kafe bawah. Haus aku.”
Dasha tertawa kecil, sarkastik. “Aku sekretaris bosku, bukan pembantumu, nona. Jadi, kalau boleh, pergi dari hadapanku karena kau sedang mengganggu pekerjaanku. Aku sedang melakukan TUGASKU, dan tugasku bukan melayani permintaanmu. Kau punya kaki, bukan? Jadi silakan beli sendiri.”
Ia sudah tidak bisa lagi menyaring kata-katanya. Tapi ia tetap tampak tenang, walau dadanya bergemuruh.
“Akan kulaporkan ini pada Issa! Kau harus dipecat!”
“Oh, dan aku lupa bilang,” Dasha menatapnya tajam, “kau itu cuma selingan harian. Kita berdua tahu, dia tidak pernah meminta kau jadi pacarnya. Kau hanya berasumsi sendiri. Kaya sih, tapi menyedihkan.”
Tepat saat wanita itu hendak menamparnya, pintu lift terbuka dan dari sana muncul Isa.
“Ada apa ini?” suaranya tajam.