“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Play Room
Eve membanting tubuhnya dengan kesal ke atas kasur.
Apa yang terjadi barusan? Memalukan! Bukan begitu seharusnya.
Napas Eve masih memburu. Entah rasa malu, atau kekesalan, rasanya dia ingin berteriak saja. Sekeras mungkin.
“Jika setiap hari seperti ini, mungkin aku akan mati kaku di dalam kamar ini. Secara hukum aku ini sah istrinya, kan? Kenapa juga aku harus takut jika dia melihat tubuhku? Jika dia tidak bisa menyentuhku, ya itu deritanya sendiri.”
“Dasar Imp0ten! Takut sekali aku keluar tanpa busana. Konglomerat, tapi tidak bisa menegak.”
Eve mendengus kesal.
Sudah berjam-jam dia mencoba tidur, tapi perutnya berisik. Lapar.
Ragu-ragu dia pergi ke arah pintu, membuka sedikit celah.
Sangat sunyi, hening.
Dia menggeser lebih banyak. Gerakannya sangat halus dan hati-hati, seolah jika dia menggeser lebih keras sedikit saja, pintu itu akan hancur lebur.
Namun ternyata tidak ada siapa pun di kamar. Ranjang itu kosong dan rapi, seperti tidak pernah tersentuh.
Eve bernapas lega. Dia tidak peduli ke mana pria itu. Saat ini, dia hanya ingin makan.
Namun ternyata, langkahnya berhenti sebelum turun tangga. Pandangannya tertuju pada lorong sunyi di sisi kamarnya.
Kaki yang tadinya hendak turun, kembali memutar arah. Eve berjalan ke lorong tersebut, melihat-lihat.
Tidak ada yang spesial. Semua ruangan tampak sama. Semua pintu berwarna putih, persis seperti pintu kamarnya.
Namun, tepat di ujung lorong, sebuah pintu berwarna hitam mengambil perhatiannya.
Eve berhenti, memandangi pintu tersebut dengan penasaran.
Kenapa hanya ini satu-satunya yang berwarna hitam? Sedangkan hampir semua pintu di rumah ini yang ia lihat berwarna putih.
Tidak ada Alex. Selain itu, dia juga penasaran.
Eve mendekat, mencoba menekan knop pintunya.
Terkunci.
Apa mungkin ruang kerjanya?
Pasti di dalamnya banyak berkas penting, tidak heran jika dikunci rapat.
Eve mengdikkan bahu, mengambil tujuan awalnya tadi.
Beberapa ruangan sudah gelap. Hanya cahaya samar saja dari beberapa sudut yang membawanya ke dapur.
Dia tidak tahu kalau ternyata Alex ada di sana, dan itu membuatnya sedikit terkejut.
“Alex?” panggilnya sedikit gugup. “Kau … kenapa kau di sini?”
“Ini rumahku.” Alex melihatnya, matanya menelisik. “Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau mengendap-endap?”
“Aku tidak ….” Eve menggeleng cepat. “Aku hanya … ingin mencari makanan saja ke sini.”
Alex menggerakkan kepala, seolah dia sedang memberi isyarat padanya untuk melakukan apa yang ia inginkan.
Eve menarik sepotong kue, membawanya duduk di hadapan Alex.
Melihat cangkir kopi yang masih mengepulkan asap, sepertinya Alex juga baru duduk.
Eve tidak menahan diri lagi. Dia menyuap kue itu dengan lahap, bahkan sampai lupa ada Alex di depannya. Beberapa kali krim kue itu mengotori bibirnya, dan Eve mengulumnya tanpa sungkan.
Dia tidak sadar kalau apa yang dia lakukan membuat Alex menahan napas. Pandangan tajam pria itu terjebak, mengamati bagaimana wanita itu menjil4t dan menelan makanannya.
Sedangkan yang ditatap malah sibuk menyendok dan meraup suap demi suap.
Sampai Eve sadar jika diperhatian, kepalanya menegak. Melihat Alex yang menatapnya seperti itu, dia memasang wajah polos sambil menyodorkan piringnya. “Kau … mau?”
Alex mengerjap, tapi tidak menarik pandangan. “Makan saja.”
“Ngomong-ngomong … kenapa kau memberi warna pintu kerjamu dengan warna hitam? Aku lihat, hampir semua pintu di rumah ini berwarna putih, dan itu satu-satunya yang berwarna hitam.”
“Itu bukan ruang kerja.”
“Bukan?” ulangnya. “Aku pikir itu tempat di mana kau menyimpan semua berkasmu. Pantas saja kau menguncinya dengan rapat.”
Alex menunduk, menyesap kopinya seakan mengalihkan pandangan dari Eve.
“Jika itu bukan ruang kerja, lantas apa?”
Alex terdiam beberapa detik, sebelum dia kembali mengangkat kepala. “Itu adalah play room.”
“Play room? Maksudnya … ruang bermain?”
Eve tertawa samar. “Maaf, tapi … untuk siapa kau menyiapkan ruang itu? Jika itu ruang bermain, kenapa terkunci?”
“Aku menyiapkan untuk diriku sendiri.”
“Apa yang kau mainkan? Apa itu sejenis ruang gym?”
Alex berdiri dan mencondongkan tubuhnya. Dia berkata tepat di depan wajah Eve. “Aku memainkan permainan untuk memuaskan orang lain dan diriku sendiri. Di mana aku menjadi penguasa dan kendali atas segalanya.”
Eve tertegun, dengan sendok yang masih menggantung di bibirnya.
Tunggu. Apa itu tadi?
Kepala Eve terangkat. Saat dia akan bertanya, bibirnya membisu melihat sorot mata Alex yang berubah. Itu seperti menyedotnya ke pusaran air, lalu menghempaskan dia sekeras-kerasnya.
Alex menarik pandangan tiba-tiba, pergi meninggalkan Eve yang masih bengong.
Beberapa menit setelahnya, ucapan Alex masih menggumpal di kepala. Namun tidak sedikit pun Eve bisa memahaminya.
Tidak, mungkin lebih tepatnya, tidak mau memahami.
Itu sedikit … membuatnya merinding. Tapi Alex imp0ten, bagaimana dia bisa memiliki pikiran sampai ke sana?
Gara-gara ucapan itu, Eve tidur dengan perasaan tidak nyaman. Digerogoti dengan rasa penasaran, juga sedikit perasaan takut setiap mengingat wajah Alex di kepalanya.
Pagi itu dia bangun tanpa ada siapa pun di kamar kecuali dirinya.
Ranjang Alex sudah rapi, dan ada bekas parfum khas pria itu yang tertinggal di kamar.
Saat dia turun, Alex sudah ada di bawah. Dengan Rayyan juga. Kedua pria itu sudah rapi, berbincang dengan nada rendah.
“Kau … akan ke perusahaan?”
Ucapan Eve memotong pembicaraan mereka. Alex menoleh, mengangguk tipis.
“Kalau begitu, bolehkan aku ke perusahaan juga?”
“Apa itu urusanku?”
Eve mencebik. Menyesal telah bertanya. Jika bisa, dia akan menj!lat kembali ucapannya tadi.
Tapi ternyata Alex tidak pernah hadir di perusahaan. Rayyan pun sama. Tidak tahu ke mana mereka.
Manda melihat Eve yang masih berdiri di luar. Matanya melebar. Kakinya melangkah cepat menghampiri. Dengan keras dia memanggil, “Eve? Bagaimana kau bisa ada di sini?”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya? Kau ini baru menikah kemarin, kenapa sudah ada di perusahaan?”
“Memang kenapa jika aku ada di sini? Alex tidak melarangku bekerja.”
“Kalian tidak bulan madu?”
“Dia sibuk. Karena dia pergi bekerja, aku tidak ingin di rumah sendiri.”
“Bilang saja kalau kau dicampakkan!”
Tiba-tiba suara orang lain memotong pembicaraan mereka.
Dari belakang, Silvia—teman satu departemen berjalan mendekat. Tatapannya sangat mengejek, dan senyumnya benar-benar menjengkelkan.
Kedua tangannya terlipat di dada, menatap Eve seperti setumpuk kotoran. Sejak hubungan Alex dan Eve menyebar, sejak saat itu otaknya seperti terbakar. Hanya belum memiliki kesempatan saja untuk meledakkan semuanya.
Sekarang Eve di depannya, dan mendengar obrolan mereka. Silvia tidak ragu menyela.
Berdiri di depan Eve, Silvia tersenyum iblis. “Wanita mandul, dan pria imp0ten. Betapa serasinya kalian berdua. Aku hampir ingin bertepuk tangan untuk kalian. Bahkan setelah menikah dengan pria seperti itu pun, kau tetap menjadi yang terbuang, Eve. Aku merasa kasihan padamu.”
“Kasihan? Justru aku malah merasa beruntung mendapatkannya. Meskipun suamiku tidak bisa menegak, nyatanya aku tetap menjadi Nyonya Muda keluarga Ace. Menyewa pria panggilan itu sangat mudah! Kenapa kau merasa kasihan padaku? Aku bahkan bisa mendapatkan satu lusin dari mereka setiap malam untuk menghiburku.”
“Ternyata aku benar. Kau menjual dirimu pada Direktur, kan?”
“Oh, tentu saja. Jika tidak, bagaimana mungkin aku bisa mendapat suami kaya raya? Apa itu masalah buatmu? Bukankah kau juga sedang melakukan hal yang sama pada Pak Rayyan?”
Eve melipat tangan, tatapannya menyala dengan kelicikan. “Silvia, kita sama-sama menjual diri meski pada pria yang berbeda. Tapi Direktur menerimaku. Sedangkan kau? Meskipun kau melelang tubuhmu, apa ada dari Direktur atau Pak Rayyan yang memilihmu? Tidak, kan? Mungkin … hargamu terlalu rendah.”
“Kau!” Wajah Silvia terbakar. Telunjuknya menunjuk wajah Eve dengan tajam, tapi mulutnya tidak bisa berkata apa-apa. Bungkam. Pada akhirnya, dia hanya meremat tangan dan memukul udara.
“Kau hanya menjadi pelampiasan Direktur, dan ucapanmu sudah sangat sombong! Apa kau tidak sadar bahwa kau hanya tempat sampah? Kau—“
“Cukup!”
Suara seorang pria terdengar berat dan tajam. Tidak tahu sejak kapan, Rayyan sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Mungkin juga mendengar perseteruan mereka, karena saat ini matanya menusuk Silvia lebih tajam dari pisau mana pun.
Tatapan itu mengerdilkan nyali Silvia, membuat tubuhnya meringsut seperti balon kempis. Keringat dingin merembes dari telapak tangannya yang gemetar.
***