Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4b. Misteri Noni Belanda
Hari kedua, kelompok Mapala itu pulang dari jelajah hutan dengan wajah lelah tapi puas. Mereka sempat menyusuri sungai, mendaki bukit kecil, dan mencatat beberapa flora langka. Menjelang sore, mereka kembali ke tenda untuk beristirahat.
Saat teman-temannya sibuk menyiapkan makan malam, Albert diam-diam menyelinap pergi. Dengan alasan ingin mencari kayu bakar, ia melangkah ke arah Rumah Scooby Doo yang sejak kemarin menghantui pikirannya.
Bangunan tua itu berdiri muram, dindingnya lapuk, jendela terbuka seolah menunggu tamu. Albert naik ke lantai dua, membuka tas kecil yang ia sembunyikan. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebatang ganja lintingan dan sebotol kecil minuman keras yang ia bawa diam-diam dari Medan.
Ia menyalakan rokok itu, asap putih mengepul di udara.
“Hhhah… akhirnya, bisa santai juga,” gumamnya sambil meneguk minuman keras.
Tawa kecilnya terdengar sumbang di dalam rumah kosong.
Tapi entah mengapa, hawa dingin segera menyelimuti ruangan. Lampu senter yang ia letakkan di lantai berkelip-kelip, seperti ada sesuatu yang mengganggu.
Albert mengabaikan. Setelah mabuk mulai merayap, ia berdiri, berjalan sempoyongan ke balkon. Tanpa pikir panjang, ia membuka celana dan buang air kecil sembarangan dari lantai dua rumah itu.
Air kencingnya jatuh menimpa semak di bawah, menimbulkan bunyi memecah sunyi. Namun tiba-tiba, angin berembus sangat kencang, seolah ada yang murka.
Dari dalam rumah, samar terdengar suara wanita berbisik.
“Onrein… zondaar…” (Najis… pendosa…)
Albert menoleh cepat, matanya terbelalak. Di pojok ruangan, berdiri wanita berambut pirang panjang, gaun putih compang-camping, wajah pucat dengan mata biru menatap tajam. Tangannya kurus, jari-jarinya panjang, menunjuk tepat ke arah Albert.
Botol di tangannya jatuh berderak. Albert berusaha bicara, namun lidahnya kelu. Wanita itu melangkah perlahan, gaunnya menyeret lantai berdebu.
“Tidak… jangan dekat-dekat!” teriak Albert panik.
Namun semakin ia mundur, bayangan wanita itu semakin banyak—muncul dari jendela, dari pintu, dari cermin pecah di sudut ruangan. Semua menatapnya dengan tatapan yang sama: dingin, penuh dendam.
Dari luar rumah, suara tawa melengking menggema, bercampur dengan jeritan Albert yang memecah sore itu sambil lari ketakutan.
Dengan napas terengah, wajah pucat, dan tubuh penuh keringat dingin, Albert berlari terbirit-birit kembali ke tenda. Begitu masuk, ia langsung menjatuhkan diri di dekat api unggun yang masih menyala kecil.
“Teman-teman… aku… aku lihat dia!” suaranya parau, nyaris bergetar.
Cindy dan Irwan menoleh dengan ekspresi heran. Wendy meletakkan buku jurnalnya, sementara Nita langsung mendekat dengan wajah tegang.
“Siapa, Bert? Kau lihat siapa?” tanya Nita cepat.
Albert memegangi kepalanya. “Wanita itu… perempuan Belanda! Dia muncul di dalam rumah… gaun putih, rambut pirang… matanya menatap aku seakan mau menelan hidup-hidup. Dia bilang aku pendosa…”
Hening sesaat menyelimuti tenda. Lalu, Irwan tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha! Bert, kau pasti terlalu capek kan? Atau jangan-jangan kau nonton film horor sebelum naik gunung ini?”
Cindy ikut tersenyum sinis. “Iya, lagian dari tadi kau terlihat aneh. Jangan-jangan cuma mau bikin kami takut.”
Albert mendongak, matanya merah. “Aku tidak bohong! Demi Tuhan, aku lihat dia! Kalau kalian ke sana sendiri, kalian juga akan—”
“Sudahlah, Bert.” Wendy memotong, suaranya tenang tapi dingin. “Kita semua lelah. Jangan buat panik tanpa alasan. Mungkin cuma halusinasi karena kau kelelahan.”
Nita, yang sejak tadi diam, menggenggam tangan Albert dengan gemetar. “Aku percaya ada sesuatu di sini… sejak tadi aku juga merasa ada yang mengikuti kita.”
Namun tak seorang pun menanggapinya serius. Rasa letih setelah perjalanan panjang membuat mereka akhirnya memilih tidur lebih cepat dari biasanya.
Satu per satu terlelap, meninggalkan api unggun yang meredup, hanya menyisakan cahaya merah samar.
Albert berbaring gelisah, matanya terbuka menatap langit-langit tenda. Bisikan asing itu masih terdengar di telinganya:
“Onrein… zondaar…”
Ia menutup telinga dengan kedua tangannya, berusaha mengusir suara itu. Namun di kejauhan, dari arah Rumah Scooby Doo, terdengar lagi suara tawa perempuan… kali ini lebih dekat. Albert menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya.
Malam semakin pekat. Nita, Wendy, dan Albert sudah tertidur pulas di dalam tenda. Hanya suara jangkrik dan desir angin malam yang menemani hutan.
Namun di luar tenda, Cindy dan Irwan berbisik pelan. Mereka sudah lama menyimpan hubungan khusus tanpa diketahui teman-temannya. Malam itu, mereka sengaja membuat janji bertemu diam-diam, jauh dari tenda, menuju sebuah celah lapang di antara pepohonan.
“Semua lagi tidur. Nggak akan ada yang tahu,” bisik Cindy sambil tersenyum kecil.
Irwan tertawa pelan, lalu menarik tangan Cindy. “Tenang aja, CinDy. Di sini kita bebas.”
Di bawah cahaya bulan pucat yang menyinari hutan, mereka melakukan perbuatan terlarang itu—perbuatan yang sejak awal dilarang keras oleh sesepuh desa.
Namun begitu mereka larut dalam dosa, tiba-tiba suasana hutan berubah mencekam. Angin berhenti berembus. Daun-daun pohon yang tadi bergoyang kini kaku. Suara jangkrik mendadak hilang, digantikan kesunyian yang menekan telinga.
Cindy menghentikan gerakannya, menatap sekitar. “Wan… kau dengar nggak? Kok sepi kali…”
Irwan tertawa gugup. “Mungkin mereka juga tidur.”
Tiba-tiba, dari balik semak, terdengar suara tawa lirih seorang wanita. Lembut, namun menyeramkan.
“Hhhihihihi…”
Cindy sontak merapat ke tubuh Irwan. “Itu suara apa?! Ada orang di sini?!”
Irwan menoleh cepat, matanya liar mencari sumber suara. Senter di tangannya berkedip-kedip, lalu mati seketika.
Dalam gelap, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas, bercampur tangisan lirih berbahasa asing.
“Waarom… waarom jullie… zondaars…”
Dari balik pepohonan, perlahan muncul sosok wanita berambut pirang panjang, gaun putih lusuh, wajah pucat penuh luka. Matanya biru, namun memerah ketika menatap mereka. Ia melangkah mendekat, jari-jarinya panjang, kurus, dan bergetar.
Cindy menjerit kencang. “Aaaaaaahhhh!!!”
Irwan mencoba melindunginya, namun tubuhnya seolah terpaku. Kaki tak bisa bergerak, seakan tanah mencengkeram erat.
Wanita itu tersenyum dingin, lalu berbisik tepat di telinga mereka berdua:
“Dosa kalian… telah membangunkan aku…”
Mendadak, udara menjadi beku. Dari arah hutan, muncul banyak bayangan putih lain—sosok-sosok tanpa wajah, hanya tubuh pucat yang melayang, mengelilingi mereka berdua.
Dan malam itu, hutan Tahura kembali bergema oleh jeritan panjang Cindy dan Irwan… jeritan yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan Tahura Pocut Meurah Intan.
Pukul dua dini hari. Api unggun telah padam, hanya menyisakan bara kecil. Di dalam tenda, Wendy dan Nita tertidur pulas, sementara Albert gelisah. Perutnya terasa mual, kepalanya pening akibat minuman keras yang ia konsumsi sore tadi.
Dengan malas, ia bangkit, keluar tenda. Udara malam menusuk tulang. Ia berjalan beberapa langkah, lalu buang air kecil sembarangan di balik semak. Uap tipis mengepul di udara dingin, tubuhnya sedikit menggigil.
Tiba-tiba, telinganya menangkap sesuatu. Suara lirih memanggil namanya.
“...Albert…”
Ia menoleh cepat. Sunyi. Hanya pepohonan hitam menjulang.
Lalu terdengar lagi, kali ini jelas: suara Irwan.
“Bert… sini… bantu aku…”
Albert mengernyit. “Irwan? Kau di mana?”
Tak lama, terdengar suara Cindy, lirih dan memelas.
“Albert… tolong kami… cepat…”
Tanpa pikir panjang, ia berjalan mengikuti suara itu, masuk semakin dalam ke arah hutan. Langkahnya berat, tapi dorongan penasaran mengalahkan rasa takut. Suara itu semakin jauh, memancingnya untuk terus berjalan.
Setelah beberapa menit, ia tiba di Rumah Scooby Doo. Bangunan itu tampak lebih gelap dari biasanya, seolah menelan cahaya bulan. Dari lantai dua, jelas terdengar suara Cindy menangis.
“Bert… naiklah… kami di sini…”
Albert menelan ludah, lalu menaiki tangga kayu yang berderit. Sesampainya di atas, ia membelalak—Irwan dan Cindy berdiri di tengah ruangan, tubuh mereka kaku, wajah pucat, mata kosong menatapnya.
“Ya Tuhan… apa yang terjadi sama kalian?” Albert mendekat dengan panik.
Tiba-tiba, wajah Cindy terdistorsi, senyumnya melebar hingga telinga, matanya berubah hitam legam. Irwan bergerak kaku seperti boneka, lalu berbisik serak:
“Kau… pendosa… sama seperti kami…”
Albert mundur, jantungnya berdegup kencang. Tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan dingin menyentuh pundaknya dari belakang. Perlahan ia menoleh—wanita Belanda itu berdiri tepat di belakangnya.
Mata birunya menusuk, senyumnya mengerikan.
“Onrein… zondaar…”
Seketika tubuh Albert terangkat ke udara, melayang, lalu dibanting keras ke lantai kayu. Ia menjerit, tulang punggungnya patah. Darah segar mengalir dari mulutnya.
Dalam pandangan kabur, ia melihat Irwan dan Cindy—atau entah apa wujud mereka sekarang—ikut mendekat. Wajah mereka semakin hancur, membusuk, mata berlumuran darah.
Jeritan Albert memecah malam, lalu terhenti mendadak…
Dan setelah itu, Rumah Scooby Doo kembali sunyi.