Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Perjalanan pulang
Perjalanan pulang, Rui Maya terus berfikir. Ia bertekad, tidak akan takut bila suatu hari mendapati suaminya berselingkuh. Ia tahu cara menghadapi badai tanpa kehilangan wibawa.
Sebagai putri bangsawan Jepang, Maya memang 'berkuasa.' Mampu mengarahkan keputusan tanpa terlihat memerintah. Namun, di balik ketegasannya, ia tetap menjunjung tinggi rasa hormat kepada suami.
Hari itu, ia cukup kaget. Tapi akhirnya menyambut Mamiya dan Naomi di rumah besarnya dengan pelukan hangat. Seperti dua sahabat lama yang akhirnya bertemu kembali setelah bertahun-tahun. Tapi di balik senyum lembut itu, Maya menyembunyikan kewaspadaan.
Penampilan Mamiya terlalu mencolok. Gaunnya berkilau, perhiasan mahal dan aroma parfum yang kuat. Terlalu berlebihan untuk seseorang yang suaminya dipenjara dan bisnisnya runtuh. Ada sesuatu yang disembunyikan, batin Maya. Apakah dia datang untuk pamer, atau membawa pesan tersembunyi?
Darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya menjelaskan segalanya. Meski memiliki darah biru sebagai 'meika no ojōsama' yaitu putri dari keluarga terhormat Jepang , Maya memilih hidup sederhana selama di Indonesia. Ia ingin keluarganya dikenal sebagai keluarga biasa, jauh dari politik dan sorotan publik.
“Cukup jadi keluarga yang bermanfaat,” ujarnya sekali waktu, “bukan keluarga yang disorot karena gelar.”
Keluarga Rui dikenal sebagai garis keturunan aristokrat yang berakar dalam dunia pendidikan dan kesejahteraan sosial. Dari kakeknya, Naru mewarisi marga 'Rui.' Bukan sekadar nama, tapi simbol tanggung jawab dan kehormatan.
Mereka memiliki jaringan sosial luas, yayasan berpengaruh, dan tradisi yang menjunjung ketenangan, etika, serta strategi sosial yang halus.
Jika suatu hari Nuha tahu bahwa suaminya berasal dari keluarga aristokrat Jepang kelas atas… gimana ya reaksinya? WOW, gitu? Atau Shock!
Nuha kini duduk di kantin, mengaduk es cokelatnya pelan sambil mendengarkan obrolan Kanaya dan Sari. Sari mencegahnya sebelum ia menuju tempat ternyamannya, yaitu di bawah pohon.
"Inara, kapan-kapan kita ke rumah lo ya?" pinta Sari tiba-tiba, makan sambil bermain ponsel.
“Kenapa?” sahut Nuha yang sedang menggigit wafer yang baru dibuka setengah, lebih sibuk menikmati rasa manisnya ketimbang mencari topik pembicaraan. Ya, begitulah Nuha. Lebih suka menanyakan alasan dibanding pura-pura antusias.
Sari tersenyum penuh maksud, “Gue cuma pengin lihat aja, seberapa megah sih rumah lo. Lo itu orang kaya, kan? Pakaian lo aja branded semua. iPad lo juga seri terbaru, HP lo juga.”
Nuha berhenti mengunyah. Ia tidak tahu harus menanggapi dengan cara seperti apa. Akhirnya ia hanya berkata pelan, “Keluargaku biasa aja. Rumahku juga kecil.”
Ya, begitulah Nuha. Respon sosialnya sering terasa lambat. Ia terlalu jujur, terlalu apa adanya, bahkan ketika orang lain sedang berbicara dengan nada menyindir.
Namun anehnya, di kelas justru ia begitu cerdas, serius, dan penuh batas. Kontras sekali dengan dirinya yang mudah tantrum kalau berhadapan dengan Naru.
"Ahh... jangan merendah deh." Sari menyipitkan mata, suaranya terdengar sinis. "Apa jangan-jangan lo kayak mahasiswi kebanyakan? Ayam kampus, suka deketin sugar daddy, om-om, biar dapet uang jajan lebih?"
"Sari, jaga bicaramu," tegur Kanaya cepat.
Sari justru melirik sinis ke Kanaya. "Atau jangan-jangan lo OKB? Orang Kaya Baru? Bedalah sama Kanaya. Dia emang kaya, tapi dermawan. Suka traktir anak-anak, penampilannya juga santai. Nggak sombong kayak lo."
Nuha berhenti mengunyah. Ia menatap Sari, "Maksudmu gimana, Sari?" katanya pelan sambil melipat bungkus wafernya dengan rapi. "Kamu sering salah paham sama sikapku. Kalau kamu nggak tahu apa-apa, lebih baik diam." tatapnya dingin.
Nada datarnya begitu menusuk.
Sari merengut, emosinya meluap. Ia menyambar gelas plastik minumannya dan melemparkannya ke arah Nuha. Tapi Kanaya sigap, menepis sebelum cairan itu mengenainya. Gelas itu jatuh berdebam di lantai, air tumpah ke mana-mana.
"Lo mulai lagi, Sar! Selalu ngebanding-bandingin orang," suara Kanaya bergetar, matanya tak bisa fokus. Tapi, ia tetap berusaha gigih, "Harusnya lo yang ngaca. Jangan sok merasa paling benar di depan orang lain."
Ponsel Kanaya tiba-tiba berdering.
Suaranya nyaring, memecah ketegangan yang baru saja reda. Nuha menatap gadis itu sejenak. Jari-jari Kanaya gemetar saat mengangkat panggilan. Kenapa dia terlihat begitu gugup? Apa dia takut pada Sari? Selalu menuruti semua keinginannya?
Nuha diam, lalu menunduk. Seketika, ingatannya berputar. Aku pernah mengalaminya, bisiknya dalam hati. Ia menyentuh sisi kepalanya, menekan pelipis seperti mencoba menenangkan diri.
Rasa gemetar itu... bukan karena nggak tahu cara merespons orang lain, tapi karena takut. Karena kalau melawan, kamu akan dirundung. Akan diancam. Dan kamu belajar diam, supaya nggak disakiti.
Tiba-tiba suara Kanaya memecah lamunannya. "Apa?! Kakek masuk rumah sakit?!" serunya dengan wajah panik.
Nuha tersentak dari pikirannya.
"Iya, iya, Mas! Kanaya akan segera ke sana!" katanya tergesa sebelum menutup telepon, wajahnya pucat, matanya kosong beberapa detik.
Kanaya bersiap ke Rumah Sakit.
Brankar rumah sakit itu meluncur cepat di sepanjang lorong putih yang dingin. Dua orang keluarga dekat berjalan terburu-buru di belakangnya, diikuti oleh Naru dan Sifa.
"Kasihan banget... Oh Tuhan, semoga Kakek baik-baik saja," doa Sifa lirih, langkahnya tergesa dan napasnya memburu.
Naru meraih lengannya, menahan langkah mereka. “Gimana ini bisa terjadi? Apa perlu kuhentikan dulu pembangunan perusahaan itu?” suaranya tegang, nyaris pecah oleh kecemasan.
Sifa menggeleng cepat. “Bukan, Ru. Bukan itu sebenarnya…” Wajahnya semakin pucat.
Ia menatap lantai, seolah menimbang harus bicara atau tidak. Tapi semakin dalam ia mencari tahu, semakin jelas semuanya.
Tanah yang sedang dibangun itu…
Ternyata bukan tanah leluhur seperti yang dikatakan oleh Sang Kakek, melainkan milik putri pertamanya. Tanah itu diam-diam dijual oleh putri keduanya tanpa sepengetahuan keluarga besar.
Kakek memperjuangkannya mati-matian. Selama ini ia menjaga agar tidak ada yang berani mendekati, apalagi memilikinya. Dan kini, tanah itu justru dibangun.
Tentang pekerja yang meninggal itu pun terungkap. Bukan karena kelalaian proyek, tapi karena ia memiliki riwayat penyakit dan memaksakan diri untuk tetap bekerja. Naru sudah mengurus semuanya, bahkan memberi santunan dengan sebaik-baiknya. Tapi tetap saja, beban moral itu menghantamnya.
Suara 'bip… bip…' dari monitor jantung menggema lirih di ruangan ICU yang diselimuti aroma antiseptik. Kakek terbaring di atas brankar rumah sakit, wajahnya pucat pasi, oksigen menutupi hidungnya.
Naru berdiri di sisi pintu, diam menatap dari balik kaca. Sifa duduk di kursi tunggu, memeluk tasnya erat-erat. Matanya sembab.
“Dia kelihatan lemah banget…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Padahal terakhir aku ketemu, Kakek masih sempat bercanda…”
Naru menarik napas berat. “Sifa, kamu tahu siapa yang mulai menjual tanah itu?”
Sifa menunduk. “Aku tahu… tapi aku takut nyebut namanya." Suara gadis itu bergetar. “Kalau Kakek tahu yang melakukannya adalah anaknya sendiri… aku nggak yakin beliau sanggup menerimanya.”
Naru menatap kembali ke arah Kakek, yang kini tampak rapuh dan jauh dari sosok marah-marah dan keras kepala. "Keluarga ini... selalu dipenuhi rahasia dan ambisi.”
Naru duduk di kursi tunggu, menunduk sambi mengusap wajahnya. Kepalanya terasa panas, pikirannya pun berputar tak karuan. Udara dingin dari AC malah bikin kulit tangannya kering. Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebotol lotion berwarna pastel.
Sifa yang duduk di sampingnya langsung melongo. “Astaga, Naru. Lo bawa lotion?” katanya, merebut botol itu dengan ekspresi tak percaya. “Dan... ini lotion cewek?! Harumnya manis banget lagi!”
Naru mengangkat alis santai. “Nuha yang beliin untukku. Kemarin kita abis kencan.”
Sifa hampir tersedak angin. “Walah... tapi nggak harus lotion cewek juga kali, Ru! Ini wangi buah persik! Lo pikir tangan lo mau jadi tangan peri?”
Naru hanya tersenyum tipis, menatap botol itu. “Nggak masalah. Soalnya ini harum Nuha banget.” Ia menutup mata sejenak, menghirup aromanya pelan seolah mencium Nuha dari jauh.
Sifa spontan menepuk dahinya. “Hooeekk… lebay banget, sumpah! Kupikir setelah dia kena amnesia selektif dan lupa siapa lo, kalian bakal pisah selamanya, ternyata malah makin bucin.”
“Namanya juga cinta sejati.”
“Cinta sejati pala lo! Lo tuh udah mirip bapak-bapak bucin yang nyium baju istri pas lagi LDR!”
Naru terkekeh kecil, akhirnya bisa tertawa di tengah pikirannya yang kusut. “Ya, mungkin emang segitu parahnya aku.”
Sifa cuma bisa geleng-geleng.
Langkah Kanaya terdengar cepat bergema di lantai rumah sakit, disusul Nuha dan Sari yang ikut berlari kecil di belakangnya.
Begitu sampai di lorong yang dituju, suasana langsung berubah...
Nuha… terperanjat ketika matanya menangkap dua sosok yang tak asing di ujung lorong.
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊