Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pintu kamar didorong terbuka, semburan api langsung menyambutnya.
Tirai dan karpet sudah terbakar, dan bingkai foto di dinding meleleh tertelan panas.
Husna menutupi hidung dan mulutnya dengan kerudung, berusaha menahan batuk yang mulai menyerang.
Di tengah kobaran api, ia melihat meja rias tempat foto Aisyah dan kalung kesayangannya tersimpan.
Dengan tangan gemetar, ia meraih kotak itu dan melemparkannya keluar.
“Aku bukan dia. Aku bukan pengganti siapa pun,” bisiknya pelan, hampir seperti doa di tengah suara gemuruh api.
Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari sisi jendela.
Kaca kamar mulai pecah, dan potongan atap mulai runtuh.
“HUSNA!!"
Suara Jovan menggema dari koridor, diikuti langkahnya yang tergesa menembus asap.
Begitu Jovan masuk, pandangannya langsung tertuju pada tubuh Husna yang jatuh tersungkur di dekat ranjang.
Balok kayu menimpa tubuh Husna membuatnya tak bergerak.
Saat Jovan akan masuk, tiba-tiba ia melihat Arkan yang masuk terlebih dahulu.
Arkan tidak mempedulikan pakaiannya yang juga terbakar.
"Bertahanlah, sayang." ucap Arkan yang kemudian mengangkat balok kayu yang menimpa tubuh Husna.
Setelah berhasil mengangkat balik kayu, Arkan segera membopong tubuh Husna dan membawa keluar.
"C-cepat bawa dia ke rumah sakit." ucap Arkan yang kemudian memberikan Husna ke Jovan.
Jovan menganggukkan kepalanya dan membopong tubuh istrinya.
Sedangkan Burak memapah tubuh Arkan dan mengajaknya keluar.
"Terima kasih sudah menyelamatkan, Husna." ucap Burak.
Arkan yang masih sesak nafas hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Sirine ambulans mulai terdengar dan perawat segera menurunkan brankar.
"Tolong, anda taruh disini." ucap perawat.
Jovan menganggukkan kepalanya dan segera menaruh tubuh istrinya ke atas brankar.
Setelah itu perawat membawa Husna ke dalam ambulans.
Lampu merahnya berputar cepat, memantul di wajah Jovan yang duduk di dalam ambulans .
Ia menggenggam tangan Husna yang terbaring lemah di atas brankar.
Tubuh Husna dibalut kain basah, sebagian wajahnya tertutup masker oksigen.
Suara alat monitor berdetak pelan di sampingnya, seolah menghitung waktu antara hidup dan mati.
Jovan menggenggam tangan istrinya yang sangat dingin.
“Husna, tolong jangan pergi. Aku minta maaf ." bisik Jovan.
Ambulans melaju cepat menembus jalan kota, diiringi pandangan cemas dari warga yang berdiri di pinggir jalan.
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di rumah sakit.
Pintu belakang ambulans langsung dibuka oleh para perawat dan petugas medis.
Mereka bergerak cepat, menarik brankar keluar dan membawa Husna ke dalam unit gawat darurat.
“Mohon tunggu di luar, Pak. Kami akan berusaha sebaik mungkin,” ucap salah satu perawat dengan nada tegas.
Jovan menganggukkan kepalanya dan ia menunggu di luar ruang UGD.
“Kami akan kabari segera setelah stabil, Pak. Tolong percayakan pada kami.”
Ia berdiri terpaku di depan pintu ruang UGD yang menutup perlahan di hadapannya.
Beberapa menit berlalu dalam hening yang mencekam.
Hanya suara langkah dan tangisan samar yang terdengar di lorong rumah sakit.
Tak lama kemudian, langkah tergesa terdengar dari arah koridor.
Burak dan Mama Riana datang dengan wajah panik.
Di belakang mereka, Arkan muncul menggendong Ava yang menangis kecil di dadanya.
Rambut bayi itu kusut, wajahnya kotor oleh abu sisa kebakaran.
“Bagaimana keadaan Husna?” tanya Mama Riana.
Jovan menggelengkan kepalanya dan langsung memeluk tubuh Mama Riana.
“Aku tidak tahu, Ma. Mereka masih memeriksa keadaan Husna." jawab
Burak menepuk bahu putranya dan memintanya untuk tenang.
“Tenang, Nak. Dokter pasti melakukan yang terbaik.”
Ava yang berada di pelukan Arkan terus menangis, seolah merasakan bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi pada ibunya.
Arkan berusaha menenangkan Ava yang masih menangis.
Beberapa menit yang terasa seperti jam akhirnya berlalu.
Pintu ruang UGD terbuka perlahan, dan seorang dokter keluar sambil melepas masker bedahnya.
“Bapak Jovan?”
Jovan langsung menghampiri dokter yang memanggilnya
“Iya, Dok. Bagaimana istri saya?” tanya Jovan.
Dokter menarik napas panjang, menatap Jovan dengan wajah serius namun lembut.
“Kami sudah melakukan tindakan darurat untuk menghentikan penyebaran luka bakar dan menjaga pernapasannya tetap stabil.”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih berat,
“Tapi kondisi nyonya Husna sangat parah. Luka bakar mencakup hampir tujuh puluh persen bagian tubuhnya mulai dari dada, punggung, hingga bawah pusar.”
Mama Riana menutup mulutnya dan air matanya langsung jatuh.
Burak menunduk dalam-dalam, menggenggam tangan istrinya untuk menahan diri agar tidak jatuh pingsan.
Sementara Jovan berdiri mematung menatap wajah dokter.
“Tu-tujuh puluh persen…?” suaranya nyaris tak terdengar.
Dokter menganggukkan kepalanya dan kembali menjelaskan.
“Kami akan berusaha semampu kami, tapi masa kritisnya adalah dua puluh empat jam ke depan. Kami mohon Bapak kuat, karena dia butuh doa dan dukungan.”
Kata-kata itu menghantam Jovan seperti gelombang besar.
Ia menunduk, memejamkan mata, dan air matanya jatuh untuk pertama kalinya malam itu.
"Apakah saya boleh masuk?" tanya Jovan.
" Silahkan, Tuan." Dokter menganggukkan kepalanya dan ia meminta perawat untuk mengganti pakaian Jovan dengan pakaian khusus.
Begitu pintu ruang ICU terbuka, aroma obat dan suara mesin medis langsung menyambut Jovan.
Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara.
Setiap detik terasa begitu berat, seolah udara di ruangan itu sendiri menolak untuk bergerak.
Husna terbaring di atas ranjang dengan tubuh penuh perban.
Hanya sebagian wajahnya yang terlihat, pucat dan lemah.
Selang oksigen menempel di hidungnya, dan jarum infus menusuk di kedua tangannya.
Jovan mendekat perlahan, duduk di sisi ranjang istrinya.
Tangannya bergetar saat menyentuh ujung jari Husna.
"Husna..” panggil Jovan sambil menggenggam tangan istrinya.
Tiba-tiba, Husna membuka matanya perlahan-lahan.
Ia melihat Jovan yang duduk di samping tempat tidurnya.
"J-jovan, maafkan aku. A-aku tidak bisa menyelamatkan foto pernikahan kalian. A-aku hanya bisa menyelamatkan kotak itu." ucap Husna.
Jovan hanya terdiam saat mendengar perkataan dari istrinya.
“M-maaf, aku belum bisa jadi ibu yang baik untuk Ava. A-aku juga belum bisa jadi istri yang baik buat kamu."
Jovan menggelengkan kepalanya sambil menggenggam tangan istrinya.
"Aku yang minta maaf, Husna. Aku bodoh, karena sudah menyia-nyiakan kamu. A-aku berjanji akan berubah, Husna."
Husna tersenyum tipis dan tiba-tiba nafasnya kembali berat.
Monitor jantung di sisi ranjang mulai berbunyi tak stabil.
Beep… beep… beep…
Dokter dan perawat segera masuk ke ruang ICU dan segera memeriksa keadaan Husna.
“Tekanan turun! Siapkan defibrillator!” seru salah satu perawat.
Jovan mundur setengah langkah, matanya membulat penuh ketakutan.
“Husna! HUSNA!!” teriaknya, suaranya pecah di udara dingin ruangan itu.
Tubuh Husna tersentak saat alat kejut listrik menempel di dadanya.
“Masih flat!” kata dokter dengan wajah tegang.
Jovan mengguncang kepalanya, air matanya tak berhenti jatuh.
“Jangan pergi, Husna. Aku mohon, jangan tinggalin aku…”
Ia menunduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya yang makin dingin.
“Aku janji nggak akan biarin kamu sendiri lagi. Aku akan berubah, Husna. Aku mohon, buka matamu…”
Satu hentakan lagi dari alat kejut terdengar dari defibrillator
Tubuh Husna kembali tersentak, lalu jatuh tenang.
Monitor sempat menampilkan garis datar sampai terdengar kembali suara 'beep'.
“Detaknya kembali,” ucap dokter sambil menarik napas lega.