Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan.
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya.
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya.
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 35
Mentari siang bersinar saat Aprilia membelokkan mobilnya memasuki jalanan desa yang berliku.
Mobil nya berhenti tepat di depan rumah nenek bercat hijau yang tampak rapuh namun kokoh.
Halaman luas itu menjadi saksi bisu masa kecilnya yang penuh tawa. Kini, yang tersisa hanya gurat kesedihan di wajahnya.
Belum sempat Aprilia mematikan mesin, kerumunan tetangga sudah berdiri di depan pagar.
Mata mereka menyorot penuh rasa ingin tahu, menilai setiap inci penampilannya. Bisik-bisik mulai terdengar, ada yang kagum dengan perubahan penampilannya, tak sedikit pula yang sinis dan mencibir. Aprilia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan tatapan mereka.
Dengan langkah mantap, ia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu. Sentuhan tangannya di permukaan kayu yang kasar membangkitkan kenangan masa lalu. Pintu terbuka, dan sosok Nenek Sari muncul di hadapannya.
"Nenek!" seru Aprilia, air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Ia memeluk erat tubuh renta itu, menyalurkan segala kerinduan dan kepedihan yang selama ini ia pendam.
"Mana Vernando?" tanya Nenek Sari, suaranya lembut namun sarat akan kewaspadaan.
Aprilia menelan ludah. "Vernando tiba-tiba ada perjalanan bisnis ke luar kota, Nek. Jadi, aku mengendarai mobil sendiri," jawabnya, berbohong.
"Ya ampun, Sayang. Lain kali jangan begitu, ya. Perjalanannya lumayan jauh, jangan sesekali bepergian seorang diri," nasihat Nenek Sari dengan nada khawatir.
"Iya, Nek," jawab Aprilia, mengangguk patuh.
Nenek Sari menatap wajah Aprilia lekat-lekat, mencari jawaban di balik senyum yang dipaksakan. Kerutan di wajahnya semakin jelas saat ia menyadari perubahan pada kulit cucunya.
"Ya ampun, Sayang, sekarang kamu sangat cantik. Jerawat kamu sudah tidak ada, dan kamu juga tidak memakai kacamata. Apa pandangan mu tidak buram?" tanya Nenek Sari, heran.
"Tenang saja, Nek. Aku memakai soflen kok. Dan untuk jerawat, aku melakukan perawatan rutin," jawab Aprilia, berusaha meyakinkan.
Kerumunan tetangga semakin mendekat, suara mereka semakin riuh.
"Wajah kamu sekarang sudah lebih baik, Pril," celetuk seorang tetangga.
"Iya, dulu ke mana-mana selalu pakai kacamata tebal, sekarang kamu tampak lebih cantik," timpal tetangga lainnya.
Pujian itu terdengar seperti ejekan di telinga Aprilia. Ia merasa seperti sedang dihakimi atas setiap perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
"Kamu belum hamil, Pril?" tanya seorang tetangga dengan nada penasaran.
"Sudah kubilang jangan tanyakan itu pada cucuku!" bentak Nenek Sari, membuyarkan suasana.
"Sudah, bubar! Aku dan Aprilia mau masuk," usir Nenek Sari, menggandeng tangan Aprilia.
"Sebentar, Nek," cegah Aprilia, melepaskan genggaman tangan neneknya.
Ia membuka bagasi mobil dan mengeluarkan beberapa bingkisan yang sudah ia siapkan. Senyum tipis terukir di bibirnya saat ia membagikan oleh-oleh itu kepada para tetangga.
"Ini untuk semuanya," ucap Aprilia, berusaha ramah.
"Nah, gitu dong, Pril. Bawa oleh-oleh dari kota, hehe. Terima kasih, ya," sahut salah satu tetangga dengan nada riang.
Aprilia hanya mengangguk, lalu menggandeng Nenek Sari masuk ke dalam rumah. Pintu kayu itu tertutup rapat, menyisakan keheningan di antara mereka.
"Pril, jujur sama nenek, apa kamu ada masalah dengan Vernando?" tanya Nenek Sari, menatap Aprilia dengan tatapan penuh kasih.
Aprilia terdiam, air mata mulai menetes membasahi pipinya. Ia sudah berusaha menyembunyikan semuanya dari sang nenek, tapi ia tahu, Nenek Sari selalu bisa melihat ke dalam hatinya.
Aprilia mengangguk, mengakui kebenaran yang selama ini ia sangkal.
"Tapi, Nek, Aprilia belum bisa menceritakan segalanya pada nenek. Sekarang, nenek harus ikut Aprilia ke kota, ya," pinta Aprilia, menggenggam erat tangan neneknya.
Nenek Sari mengangguk, mengerti akan ketakutan dan keraguan yang berkecamuk dalam diri cucunya. Ia memberikan Aprilia kesempatan untuk memberanikan diri, untuk membuka semua luka yang selama ini ia pendam.
"Nenek sudah berkemas?" tanya Aprilia, berusaha mengusir kesedihan.
"Sudah, Nak. Ayo, kita bisa berangkat sekarang," jawab Nenek Sari, bangkit dari duduknya.
Aprilia dan Nenek Sari segera naik ke dalam mobil. Aprilia melajukan mobilnya meninggalkan desa yang menyimpan begitu banyak kenangan.
***
*PLAKKKK
Tangan Dayana terangkat cepat, lalu menghantam pipi Vernando dengan keras. Suara tamparan itu memecah keheningan ruangan, menggema bagai petir di siang bolong. Wajah Vernando tersentak ke samping, tanda betapa dahsyatnya amarah yang membakar Dayana.
"Bodoh!" desis Dayana, matanya menyala penuh kemarahan. "Temukan gadis itu sekarang! Aborsi dan hilangkan semua buktinya!"
Vernando menunduk dalam, merasakan perih di pipinya bukan apa-apa dibandingkan dengan ketakutan yang mencengkeram hatinya. "Iya, Bu. Aku sudah berusaha mencarinya, tapi orang-orangku belum menemukannya," jawabnya lirih.
"Dia bisa menghancurkan segalanya! Cukup reputasi Yuka yang hancur gara-gara anak haram," bentak Dayana, suaranya bergetar menahan emosi.
"Maaf, Bu. Aku menyesal," ucap Vernando, penyesalan terdengar jelas dalam setiap katanya.
"Penyesalanmu tak ada gunanya! Kamu harus menemukannya sebelum dia bertindak lebih jauh, mengerti?!" hardik Dayana, mencengkeram bahu Vernando dengan kuku-kuku tajamnya.
Vernando mengangguk patuh, meski hatinya bergejolak. Ia tahu, ia tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah ibunya. Konsekuensinya terlalu besar jika ia gagal.
"Aku akan mengutus orang-orangku untuk menemukan Vini dan mengaborsi anak haram itu. Dia tidak boleh dilahirkan ke dunia ini. Tak seorang pun boleh tahu tentang hal ini," ucap Dayana dengan nada dingin, seolah nyawa seorang manusia tak lebih berharga dari debu.
"Tapi kemarin, Aprilia menanyakan soal Vini padaku," lapor Vernando, wajahnya pucat pasi.
"Sial!" umpat Dayana, amarahnya kembali tersulut. "Sepertinya gadis licik itu sudah memberitahu Aprilia. Hilangkan semua bukti! Kalaupun Aprilia mengadu pada kakek tua itu, tak ada gunanya jika tidak ada bukti yang bisa dia tunjukkan," ucapnya dengan seringai licik.
"Iya, Bu," jawab Vernando, menunduk dalam-dalam. Ia tahu, ibunya tak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi kekuasaan dan nama baik keluarga mereka. Bahkan jika itu berarti menghilangkan nyawa seorang bayi yang tak berdosa.
***
Di salah satu ruangan VIP sebuah restoran mewah, Yuka duduk dengan anggun menunggu kedatangan orang kepercayaannya.
Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya keemasan, menerangi wajahnya yang penuh perhitungan.
Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam memasuki ruangan. Fey, nama pria itu, adalah tangan kanan Yuka yang paling setia dan bisa diandalkan.
"Bagaimana?" tanya Yuka tanpa basa-basi, suaranya dingin dan menusuk.
Fey menyerahkan beberapa lembar foto kepada Yuka. "Ini yang aku temukan. Vini bersama Vernando saat melakukan perjalanan bisnis," ucapnya, menunjuk pada foto-foto yang menampilkan kemesraan antara Vernando dan seorang wanita yang tidak asing bagi Yuka.
Yuka meneliti setiap detail foto dengan seksama. "Sepertinya mereka memang memiliki hubungan spesial," gumamnya, bibirnya tertarik membentuk seringai sinis.
"Tapi saat aku menyelidiki hal ini lebih lanjut, sebelum kepulangannya, Vini mengunjungi sebuah rumah sakit. Dia masuk ke dalam ruangan OBGYN," lanjut Fey, memberikan informasi yang lebih mengejutkan.
Mata Yuka memicing, otaknya bekerja keras menyusun kepingan-kepingan informasi yang ia dapatkan. "Selidiki lebih dalam. Aku butuh bukti-bukti itu," perintahnya dengan nada tegas.
"Baik," jawab Fey singkat, lalu undur diri meninggalkan Yuka dengan pikiran yang berkecamuk.