Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Diko datang terburu-buru ke mall dengan napas terengah, wajahnya tegang begitu melihat
Sebastian berdiri di depan butik, matanya merah menahan amarah dan panik.
“Tuan Sebastian!” seru Diko cepat, menghampiri sambil memegang ponsel.
“Saya sudah minta pihak keamanan buka rekaman CCTV, tapi…”
“Tapi apa, Diko?” suaranya berat dan dingin.
“CCTV di area belakang butik—termasuk pintu darurat—rusak, Tuan. Mereka bilang baru mati sekitar satu jam yang lalu. Seolah-olah… ada yang sengaja memutus sistemnya.”
Sebastian mengepalkan tangan keras-keras, rahangnya mengeras.
“Sial! Berarti ini sudah direncanakan.”
Diko mengangguk, wajahnya tegang. “Ya, Tuan. Saya sudah sebar tim keamanan untuk mencari di sekitar mall, tapi kalau mereka keluar lewat jalur bawah tanah, kita harus cepat.”
Saat Sebastian hendak melangkah keluar dari butik, matanya menangkap sesuatu di lantai dekat ruang ganti tetesan kecil berwarna merah tua di ubin putih.
Ia berjongkok, menyentuhnya dengan ujung jarinya. Cairan itu masih basah.
“Darah,” ucapnya pelan, matanya menatap tajam ke arah bekas langkah samar yang menjauh ke arah pintu belakang butik.
Diko langsung berjongkok di sampingnya. “Tuan, lihat, jejaknya ke arah lorong servis,” katanya sambil menunjuk ke lantai yang terdapat bercak merah samar yang memanjang.
Sebastian berdiri dengan cepat, matanya penuh determinasi.
“Ikuti jejak ini,” ucapnya singkat namun tegas.
Diko segera berjalan di depan, menyorot lantai dengan senter ponselnya, mengikuti tetesan darah yang berkelok ke arah pintu darurat.
Lorong itu sepi dan dingin, hanya terdengar suara langkah kaki mereka berdua yang cepat dan berat.
“Ini darah Amira,” gumam Sebastian, suaranya serak menahan amarah.
Ia berjalan semakin cepat, hampir berlari mengikuti jejak yang makin jelas menuju parkiran bawah tanah.
Begitu mereka tiba di ujung lorong, Sebastian menghentikan langkahnya.
Di sana, di dekat pintu logam besar, terdapat sapu tangan kecil dengan inisial “A.V.”yang tak salah lagi milik Amira dan sedikit noda merah di ujungnya.
Sebastian memungutnya dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca namun penuh amarah.
“Dia di sini. Dia pasti baru saja dibawa pergi,” ucapnya pelan.
Diko menatap sekeliling dengan cepat, mencoba mencari arah mobil yang keluar terakhir.
“Tuan, saya akan minta pihak keamanan tutup semua akses keluar mall dan periksa setiap mobil lewat,” katanya tegas.
Sebastian mengangguk keras, matanya masih menatap lantai tempat tetesan darah berhenti.
“Cepat, Diko. Aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuh istriku lagi. Kali ini aku akan pastikan mereka menyesal.”
Diko segera berlari keluar untuk mengatur penjagaan, sementara Sebastian berdiri diam beberapa detik, menggenggam sapu tangan Amira erat di tangannya.
“Bertahanlah, Mira. Aku akan menemukanmu,” bisiknya pelan, suaranya penuh tekad.
Di sebuah rumah besar di pinggiran kota, Nakula menurunkan tubuh Amira yang masih belum sadar ke dalam ruangan mewah milik Alexander.
Wajahnya tegang, tangannya sedikit bergetar ketika menatap tubuh lemah itu.
Alexander berdiri di depan jendela besar, menatap ke luar sebelum akhirnya menoleh dan menatap Amira.
Senyum licik muncul di wajahnya.
“Wanita yang membuat Sebastian kehilangan kendali?” ujarnya pelan, nada suaranya dingin namun penuh rasa ingin menguasai.
Ia melangkah mendekat, menatap wajah Amira yang masih tertidur karena efek obat bius.
“Cantik sekali dia,” ucap Alexander dengan nada puas, matanya menatap dalam seolah mengukur nilai seorang trofi, bukan manusia.
Nakula menunduk, mencoba menghindari tatapan Alexander.
“Aku sudah lakukan seperti yang kau minta, Alexander. Sekarang, sesuai janji—kerjasama kita berjalan, bukan?”
Alexander menatapnya sebentar, lalu terkekeh pelan.
Ia mengambil koper dari bawah meja dan melemparkannya ke arah Nakula.
Koper itu terbuka sedikit, memperlihatkan tumpukan uang di dalamnya.
“Ambil itu. Dan pergilah,” ucapnya dingin.
Nada suaranya berubah tajam.
“Setelah ini, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. Jangan campuri urusanku.”
Nakula menatap koper itu, lalu kembali menatap Amira dengan perasaan campur aduk.
Ada kegelisahan di matanya, tapi ia memilih bungkam.
“Baiklah,” gumamnya akhirnya. “Anggap saja urusan kita selesai.”
“Selesai? Belum tentu. Tapi sekarang, keluar dari sini sebelum aku berubah pikiran.”
Tanpa berani membantah, Nakula mengambil koper itu dan melangkah cepat keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Alexander menatap Amira lagi dan kini dengan senyum yang perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi gelap penuh obsesi.
“Sebastian Vettel…” gumamnya pelan.
“Kita lihat siapa yang benar-benar bisa melindungi wanita ini.”
Ia berjalan ke arah meja, menekan sebuah tombol interkom.
“Pastikan tidak ada satu pun orang luar yang bisa masuk ke rumah ini. Aku tidak ingin ada gangguan.”
“Siap, Tuan Alexander,” jawab suara dari seberang.
Alexander menatap Amira sekali lagi, lalu berdiri di dekat jendela dengan tangan terkepal.
“Permainan baru saja dimulai,” katanya pelan, senyum dingin kembali muncul di bibirnya.
Darah Amira menetes di sepanjang lantai marmer rumah Alexander, meninggalkan jejak samar menuju pintu belakang.
Setiap tetesan seolah menjadi tanda bagi Sebastian yang berlari dengan mata penuh amarah.
“Jejaknya ke arah sini, Tuan!” seru Diko sambil menyorot senter ke arah bekas darah di lantai.
BRAKK!
Pintu kayu besar itu langsung terbuka keras ketika Sebastian menendangnya.
Napasnya berat, matanya tajam seperti binatang buas yang kehilangan kesabaran.
Alexander berdiri di tengah ruangan, terkejut.
“Sebastian?! Apa yang—”
Dor!
Suara tembakan menggema keras dan peluru menembus kaki Alexander, membuat pria itu jatuh tersungkur sambil menjerit kesakitan.
“ARGHHH! Sebastian! Gila kamu!”
Sebastian menurunkan pistolnya perlahan, tatapannya tajam dan dingin.
“Itu baru sebagian kecil dari rasa sakit yang pantas kamu terima karena berani menyentuh istriku,” ucapnya dengan suara rendah namun penuh amarah yang menekan.
Diko segera masuk, menodongkan pistol ke arah anak buah Alexander yang sudah ketakutan.
“Turunkan senjata kalian! Sekarang!” bentaknya.
Sebastian melangkah cepat menuju sudut ruangan, dan di sanalah ia menemukan Amira terbaring lemah di lantai, wajah pucat, darah masih menetes dari luka di lengannya.
“Amira…” suaranya bergetar saat ia berlutut, mengangkat tubuh istrinya dengan hati-hati.
“Sayang, dengar aku. Aku datang. Kamu aman sekarang.”
Amira membuka matanya perlahan, bibirnya bergetar
“B-bas, aku tahu kamu datang…”
Sebastian menahan napas, menatap wajah istrinya dengan rasa sesak di dada.
Ia menggendong Amira erat-erat, lalu menoleh pada Diko.
“Panggil ambulans sekarang! Dan pastikan polisi menahan Alexander malam ini juga!”
Alexander masih meringis kesakitan di lantai, mencoba menahan darah yang mengucur dari kakinya.
“Sebastian!! Kamu akan menyesal…”
Sebastian menatapnya tajam sekali, matanya berkilat dingin.
“Masukkan dia ke penjara,” ucapnya datar.
“Pastikan dia tidak pernah keluar lagi.”
Diko mengangguk cepat. “Siap, Tuan.”
Dengan langkah cepat, Sebastian membopong tubuh Amira keluar dari rumah itu. Sirene ambulans sudah terdengar dari kejauhan.
Begitu tiba di depan, Sebastian menatap wajah pucat istrinya yang masih bersandar di dadanya.
“Bertahan, sayang. Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kamu dengar?”
Amira menatapnya lemah, tapi senyumnya tipis muncul di tengah rasa sakitnya.
“Aku percaya padamu… Bas…”
Ambulans tiba. Sebastian naik bersama Amira, menggenggam tangannya erat sepanjang perjalanan ke rumah sakit, seolah menolak melepaskannya bahkan untuk sedetik pun.
Sirene ambulans meraung keras menembus malam.
Begitu ambulans berhenti di depan rumah sakit, para dokter dan perawat langsung berlari membawa tandu.
“Pasien kehilangan banyak darah! Cepat ke ruang UGD!” seru salah satu perawat.
Sebastian berjalan di samping tandu, masih menggenggam tangan Amira yang dingin.
“Bertahan, sayang… sebentar lagi kamu aman.”
Begitu mereka sampai di ruang UGD, dokter jaga segera melakukan pemeriksaan cepat.
“Tekanan darahnya menurun drastis! Kita butuh donor darah segera. Golongan darahnya O positif!”
Sebastian tanpa pikir panjang langsung maju.
“Saya, Dok! Golongan darah saya juga O. Ambil darah saya, sebanyak yang dibutuhkan.”
Dokter menatap Sebastian sejenak, memastikan.
“Anda yakin, Pak? Kita mungkin butuh cukup banyak volume darah untuk transfusi pertama.”
Sebastian mengangguk tegas, suaranya berat tapi mantap.
“Saya bilang ambil saja. Selama itu bisa menyelamatkan istri saya, lakukan.”
Perawat segera menuntun Sebastian ke ruangan sebelah.
Lengan kirinya disterilkan dan jarum ditancapkan.
Cairan merah mengalir perlahan ke dalam kantung donor, sementara Sebastian menatap kaca pembatas menuju ruang UGD tempat Amira terbaring.
Ia menatap wajah istrinya dari balik kaca dengan tubuhnya yang lemah, wajah pucat, dan kabel infus di sekitarnya membuat dada Sebastian terasa sesak.
“Dia sudah terlalu sering terluka…” gumamnya lirih.
“Kali ini aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya lagi. Tidak Alexander, tidak Nakula, tidak siapa pun.”
Dokter keluar dari ruangan UGD beberapa menit kemudian, membawa kantung darah hasil donor.
“Darahnya cocok, segera pasang transfusi,” ucapnya cepat kepada tim medis.
Sebastian memejamkan mata sebentar, menahan letih tapi tetap berdiri tegak.
Diko yang datang dari luar memandangnya cemas.
“Tuan, Anda perlu istirahat dulu. Anda kehilangan cukup banyak darah.”
Sebastian hanya menggeleng pelan.
“Aku akan istirahat setelah Amira sadar.”
Di balik pintu kaca, dokter mulai memasang transfusi. Perlahan warna pucat di wajah Amira mulai berangsur hangat. Jari-jarinya yang tadi lemas, kini sedikit bergerak.
Sebastian menatapnya dari jauh, mata berkaca-kaca namun bibirnya tersenyum kecil.
“Bertahanlah, Mira. Darahku sekarang mengalir di tubuhmu. Aku di sini, selalu denganmu.”
up'ny yg bnyk thor🙏💪