Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Sempit, Beban Luas
Aurora dengan lembut sedikit menggoyangkan tangan ibunya dengan gerakan manja. Wajahnya tampak rapuh, seolah mencari perlindungan dari sosok yang selama ini selalu menjadi sandaran. "Karena itu, mommy... Aku berniat untuk menjauhi pak Suryo. Mommy pasti tidak mau, kan suamiku menularkan penyakit seksual seperti itu?" rengek Aurora dengan nada memohon, matanya berkaca-kaca, seakan-akan tangisan itu tinggal menunggu waktu untuk pecah.
Mulyani seketika menegang. Wajahnya berubah muram, lalu dengan cepat dia menangkup pipi putri semata wayangnya, menatap dalam-dalam ke arah mata Aurora dengan tatapan penuh kasih. "Tentu saja tidak mau, Nak!" ucapnya dengan nada tegas, tapi tetap hangat. "Lihatlah wajah cantikmu ini. Pria kaya masih banyak di luar sana. Keputusanmu sudah sangat benar, Nak!"
Ia kemudian memeluk Aurora erat-erat, tangannya mengusap punggung putrinya berulang-ulang, seolah berusaha menenangkan sekaligus menghapus jejak kekhawatiran yang baru saja menyeruak. "Untunglah kau sudah lebih dulu sadar dan pergi dari pria berpenyakitan seperti itu. Kalau tidak, mommy tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada putri kesayangan mommy ini," bisiknya lirih, suaranya bergetar oleh rasa cemas yang tulus.
Aurora sempat membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu, merasakan kehangatan yang menenangkan. Namun, dengan perlahan ia melepaskan diri, menatap wajah ibunya dengan sorot mata yang penuh keyakinan. "Tapi mommy tenang saja! Aku sudah mendapatkan pria pengganti."
Mulyani terperangah, kedua matanya membulat penuh antusias. Senyum nakal perlahan terukir di wajahnya, seolah menemukan secercah cahaya di tengah kegelapan. "Benarkah itu?" tanyanya bersemangat. Ia lalu berbisik penuh rahasia pada Aurora. "Apa mobil di luar tadi adalah mobil pria yang kau maksud? Pantas saja kau tidak menelepon sopir untuk menjemputmu pulang."
'Benar juga, dalam novel, Aurora itu punya sopir pribadi. Untuk apa aku jalan kaki sendirian untuk menaiki angkutan umum? Dasar diriku sendiri!' batin Aurora, menegur dirinya dengan getir.
Namun tatapan Mulyani tiba-tiba berubah sendu, seakan menimbang sesuatu yang berat. "Tapi..." suaranya terdengar penuh kecewa, "mobil itu terlihat ketinggalan zaman. Itu terlihat seperti mobil kelas menengah yang baru bisa membeli mobil. Sangat tidak keren!"
Aurora menarik napas panjang, menahan rasa gelisah yang tiba-tiba mencekik tenggorokannya. 'Bagus, sekarang mommy menyadari perbedaan kasta yang sangat jelas antara suaminya dan Aditya,' pikirnya sambil menekan rasa panik dalam hati. 'Ya sudahlah, yang penting sekarang, aku mengarang cerita saja yang masuk akal.'
Dengan cepat Aurora tersenyum manis, berusaha menutupi kegugupannya. "Mommy, jadi pria itu adalah seorang pengacara spesialis. Dia adalah pria muda yang tampan, bertanggung jawab, lembut, single, dan yang paling penting... tidak punya penyakit menular."
Kata-katanya meluncur meyakinkan, tapi jantungnya berdegup keras, takut ibunya menangkap kebohongan yang baru saja ia ciptakan.
Mulyani mengerutkan kening, tatapannya berubah tajam, penuh intimidasi. "Sudah mapan?" tanyanya penuh selidik. "Kenapa dia memakai mobil seperti itu saat mengantarmu pulang?"
Aurora hampir kehilangan kata-kata, keringat dingin merembes di pelipisnya. 'Aduh, bagaimana lagi aku menutupi ini?' pikirnya panik. Namun dengan cepat ia menarik napas panjang, memaksa dirinya terlihat tenang. "Nah, justru ini yang mommy tidak tahu!"
Ia melanjutkan dengan nada berbisik, seolah menyampaikan rahasia besar. "Mommy tahu pekerjaan sebagai pengacara, kan? Yang sering menerima..." Aurora menunduk sedikit, mengusap jarinya satu sama lain sambil melirik ibunya. "Sogokan uang."
Mulyani terdiam, menatap putrinya lekat-lekat. Wajahnya berubah serius, kemudian perlahan mengangguk, tanda bahwa ia mulai paham arah cerita itu.
Aurora pun menekan rasa lega yang hampir pecah menjadi senyum. "Nah, karena itu dia memakai mobil murah karena dia baru pulang kerja. Itu untuk menghindari kecurigaan KPK tentang kasus suap dan pungli," jelasnya dengan nada penuh keyakinan.
Wajah Mulyani langsung berubah. Matanya berbinar, dan ia menjentikkan jarinya sambil tersenyum puas. "Pintar! Dia sangat pintar! Mommy menyetujui hubungan kalian berdua!"
"Benarkah itu, Mommy?" tanya Aurora, pura-pura terkejut padahal dalam hatinya hampir ingin berteriak lega.
"Tentu saja, Nak. Mommy tidak akan melarangmu untuk mengincar pria manapun. Yang penting satu!" Mulyani mendekat, berbisik pelan penuh rahasia. "Uangnya banyak!"
Aurora terkekeh pelan, meski di dalam hatinya perasaan ngeri dan lega bercampur jadi satu. "Tentu saja, mommy. Aku akan mencari pria banyak uang."
Mulyani tampak semakin puas. Ia mencubit pipi Aurora dengan gemas. "Baiklah, sekarang mandi sana! Habis itu pakai skincare dan tidur. Ayo lakukan!"
Aurora berdiri perlahan, seolah melepaskan beban berat yang nyaris menelannya hidup-hidup. "Baiklah, aku ke kamar dulu untuk melakukan semua yang mommy perintahkan," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Selamat malam, mommy!"
"Selamat malam juga, sayang! Jangan bergadang, ya! Tidak baik untuk kulitmu!" balas Mulyani dengan suara penuh kasih.
---
Aditya akhirnya sampai di sebuah rumah sederhana yang berdiri di tengah permukiman padat. Bangunannya tidak luas, cat dinding luarnya sudah sedikit pudar, tapi tetap terlihat rapi. Mobil yang dikendarainya perlahan masuk ke dalam garasi sempit, yang hanya cukup untuk menampung satu kendaraan. Suara derit ban bergesekan dengan lantai semen terdengar jelas, menambah rasa sesak di ruang sempit itu.
Dengan hati-hati, Aditya membuka pintu mobil. Ruangan yang terlalu sempit membuatnya agak kesulitan untuk keluar, hingga ia harus sedikit memiringkan tubuhnya agar tidak menabrak dinding garasi. Napas panjang terhembus dari bibirnya, menandakan kelelahan yang masih tersisa setelah seharian penuh bekerja di pengadilan.
Begitu kakinya menjejak tanah, suara riuh segera pecah dari arah rumah. Pintu depan terbuka lebar, dan beberapa sosok kecil berlarian dengan langkah terburu-buru. Wajah-wajah penuh semangat itu seakan tidak pernah memberi jeda bagi Aditya untuk sekadar bernapas lega.
"Kak Aditya, selamat datang!" seru seorang gadis muda yang menyambutnya dengan senyum ceria, matanya berbinar seolah kedatangan sang kakak adalah pesta kecil di sore itu.
Belum sempat Aditya menjawab, suara lain memotong dengan nada manja.
"Kak Aditya! Aku mau kuliah! Samakan saja jurusannya dengan kak Aditya!" rengek gadis muda lainnya, tubuhnya hampir melompat ke arah Aditya seperti anak kecil yang takut kehilangan kesempatan.
Dan sebelum Aditya bisa menanggapi, suara remaja laki-laki langsung menyusul, kali ini penuh tuntutan.
"Kak, top up roblox!" Ia mengulurkan tangan seenaknya, seakan kata “tolong” bukan bagian dari kosakatanya.
Aditya terdiam sejenak. Matanya menatap adik-adiknya satu per satu, lalu ia memejamkan mata sambil mengusap pangkal hidungnya. Cubitan ringan pada sinus menjadi pelampiasan kelelahan yang sudah menumpuk sejak pagi.
'Baru sampai rumah, sudah diserbu begini lagi…' pikirnya, berusaha menahan diri agar suaranya tetap stabil.
"Adik-adik, kakak baru pulang. Semua request kalian tuliskan saja di secarik kertas, nanti kakak baca," ucapnya, suaranya dalam namun tetap terkontrol.
"Aduh, Anak-anak, kakak kalian baru pulang kerja. Setidaknya suruh kakak kalian duduk dulu!" tegur suara wanita paruh baya yang baru saja keluar dari dalam rumah. Wajahnya penuh kasih, meski garis lelah tampak jelas di bawah matanya. Ia segera menghampiri Aditya, tangannya yang hangat menuntun lengan putranya itu.
Aditya hanya bisa pasrah ketika tubuhnya diarahkan untuk duduk di kursi ruang tamu. Kehangatan jemari sang ibu terasa menenangkan, meski pikirannya masih riuh oleh tanggung jawab yang menumpuk.
"Ayo istirahat dulu, kau pasti lelah ya, nak?" ucap sang ibu dengan suara lembut, seakan hanya ia yang masih peduli pada kelelahan anak sulungnya.
Aditya menggeleng pelan, mencoba menampilkan senyum tipis yang meyakinkan. "Aditya baik-baik saja, bunda."
Namun dalam hati, ia sadar: senyum itu hanyalah tameng tipis di balik lautan beban yang dipikulnya seorang diri.
Seorang pria muda, adik laki-lakinya, mendekat sambil membawa segelas teh hangat. Uapnya mengepul, menyebarkan aroma wangi yang seharusnya menenangkan. Tapi ucapannya justru membuat Aditya mengangkat alis.
"Ini, minum! Tidak ada racunnya, tenang saja!" candanya, menyodorkan gelas dengan tangan kiri sementara tangan kanannya tak pernah lepas dari ponsel. Jemarinya lincah menari di layar, jelas sedang sibuk dengan game atau obrolan yang baginya lebih penting.
Aditya menerima gelas itu dengan tenang, meski di dalam hatinya bergemuruh. 'Beginilah nasibku… Kakak, pengganti ayah, sekaligus dompet berjalan di rumah ini.'