"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duri yang Tercabut
Jefan terus mengecup Nina tanpa henti, dari mata, hidung, kedua pipi, kening, dan tentu saja bibir istrinya itu.
Berulang kali.
"Hentikan, apa kamu mau membasuh seluruh wajahku" ucap Nina dengan sedikit tawa.
Jefan kembali mendaratkan kecupan terakhirnya di pipi kiri Nina, lelaki itu tersenyum lega. Sangat hangat dan menenangkan siapapun yang melihatnya.
"Terimakasih"
"Untuk?"
"Segalanya, Nina. Segalanya"
Jefan menarik tubuh Nina jauh lebih dalam kedalam dekapannya. Memejamkan mata merasakan aroma shampoo manis yang menyegarkan dari rambut gadis ini.
Rasa syukur, mungkin itu yang Jefan rasakan sekarang.
Lelaki itu merasa sebuah duri sudah terangkat dari hatinya. Dan hanya Nina yang bisa mencabut itu dengan mudahnya.
Padahal dia sendiri terus kesusahan dan hanya bisa meringis tiap kali duri itu masuk menancap lebih dalam.
"Apa aku tadi keterlaluan pada Ayah?"
"Tidak"
"Kurasa aku agak tidak sopan"
"Kau tidak perlu sopan padanya, dia bahkan selalu merendahkan mu"
Nina menghembus napas pelan. Mereka sama-sama anak yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia. Jauh dari kata harmonis dan cemara.
Bisa jadi itu alasannya mereka tumbuh menjadi pribadi yang sangat haus akan kebahagiaan.
Mengejar bahagia dunia bagai menggapai bulan dengan tangan kosong.
"Tapi, apa dia pernah mengancamu?" tanya Jefan dengan suara berat.
Nina menimbang untuk mengatakannya. Matanya terpejam mengingat kembali perkataan Erwin saat menemuinya.
Perlahan Nina melingkarkan tangannya kepinggang Jefan, mengusap punggung nya pelan sebelum kembali bersuara.
"Katanya, jika aku tidak bisa memberikan penerus, kau akan menghilang"
Hening. Jefan tak membalas ucapan Nina. Hanya detak jantung yang berdentum normal, dan pergerakan dadanya yang naik turunnya dapat Nina rasakan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Nina memastikan.
"Ya, tidak masalah"
"Apa benar ayahmu bisa berbuat sekejam itu? Maksudku membuatmu menghilang"
Jefan menghela napas berat, tangannya mengarah belakang kepala Nina menekannya lebih dalam lagi ke dalam dadanya, membuat Nina jadi agak sulit bernapas.
Matanya memejam kencang diatas kepala Nina.
"Selama bukan kamu yang dibuatnya menghilang itu bukan masalah besar"
"Kalau kau yang menghilang, itu jadi masalah besar untukku"
Jefan terkekeh pelan "Kalau aku yang menghilang, kau bisa menungguku sampai kembali kan"
"Tapi aku... aku mungkin tidak punya kesabaran untuk menunggumu." lanjut Jefan pelan.
Nina mendongak, alisnya bertaut dan hidungnya mengkerut
"Maksudmu kau akan menikah lagi?"
Suaminya itu menyunggingkan senyumnya "Mana mungkin"
"Jadi apa yang akan kau lakukan jika tidak mau menunggu"
"Menyusulmu segera mungkin dimanapun itu, dengan cara apapun itu"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nina meletakkan mug latte coffe di meja, kemudian menarik kursi dan duduk dihadapan Hera yang langsung menyesap kopinya.
"Jadi sekarang kau sudah tenang kan"
Nina mengangguk semangat "Ya aku jadi merasa tidak punya beban sama sekali"
Hera tersenyum mendengarnya, ia sempat berpikir kalau telah melakukan kesalahan dengan memberitahu Jefan, tapi melihat hubungan mereka yang masih baik, Hera rasa itu jadi keputusan yang tepat.
"Boleh bergabung, nona-nona?"
Hera dan Nina mendongak, itu Jean dengan senyum riangnya datang menghampiri begitu melihat Nina yang sudah menyelesaikan shift nya duduk bersantai di kafenya.
Padahal biasanya gadis itu langsung pulang tanpa mengaret sedetik pun.
"Tidak boleh, paman. Pergi sana, jangan ganggu kami"
"Paman? Aku se-usia Nina tau"
Hera menyinyir menggunakan bibirnya, "Tidak percaya, kau terlihat seperti paman beranak dua"
Jean mendengus jengah, ia menarik kursi disamping Nina dan menatap tajam kearah Hera yang masih dengan anggunnya menyesap kopi.
"Lihat dulu siapa yang bicara, kau pun terlihat seperti bibi yang janda dua kali"
Hera mendelik, mulut nya ternganga tidak percaya "Oh my god!!! Ada yang salah dengan matamu, periksalah segera paman"
"Kalian serasi juga" sela Nina, gadis itu tersenyum dengan tangan yang menyangga dagu melihat kelakuan dua manusia ini.
"Nina! Tarik ucapanmu, itu terdengar sangat mengerikan" Hera bergidik ngeri
"Kau yakin akan terus bertemannya Nina? Dia kurasa tidak waras untukmu"
Nina tertawa renyah "Hera perempuan yang baik, dia tulus dan penuh semangat. Aku menyukainya"
Hera terenyuh. Matanya berbinar mendengar pujian Nina yang sangat mengharukan. Gadis ini, sungguh manusia yang baik sekali.
"Benarkah? Tidak terlihat seperti itu" Jean memicingkan matanya memandang Hera penuh rasa tak percaya.
"Lalu aku terlihat seperti apa?"
"Seperti... sesuatu yang beringas"
"APA KATAMU?! BE-RI-NGAS?!"
Nina dan Jean reflek menutup telinga mereka, bahkan hampir seluruh pasang mata pelanggan yang berada dilantai satu menoleh kearah Hera.
Hera berdiri sembari berkacak pinggang kesal. Pandangan matanya memelototi Jean dengan maksimal.
"Nah lihat kan Nina, seberingas apa temanmu ini"
Hera menggeram kesal "Awas saja kau..... "
"Hei kalian, bagaimana jika kalian makan malam dirumahku?" ujar Nina menyela. Ini caranya supaya lebih mendekatkan Hera dan Jean agar akur.
Bisa-bisa telinga Nina berdarah jika terus menerus menghadapi mereka berdua.
"Nina, aku saja tidak perlu aja dia" Hera menunjuk Jean yang mendengus setelah Hera menunjuknya.
"Apa hak mu? Nina berhak mengundang ku dan aku wajib datang"
Hera memicingkan matanya, dasar lelaki ini tidak peka sekali. Apa dia mau masuk kandang macam yang pencemburu itu.
Nina juga, kenapa gadis itu polos sekali. Dia tidak sadar dirinya sedang mengundang bahaya untuk dirinya sendiri.
"Ya, aku mengundang kalian berdua. Datanglah kerumahku nanti malam jam tujuh."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...