Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Karena tidak sabar, akhirnya Marvel menunggu Maura di ruang tamu, menyender santai di sofa dengan ponsel di tangan. Begitu melihat Maura, sudut bibirnya terangkat tipis. “Bagus. Tepat waktu. Rupanya kamu masih bisa belajar patuh.”
Maura menatapnya dingin, enggan bicara. Ia mengambil tas kecilnya, lalu berjalan cepat melewatinya menuju pintu.
Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika suara Marvel menyusul, tenang namun penuh ancaman. “Jangan lupa bawa ponselmu." Marvel mengangkat ponsel Maura yang ada di tangannya. "Kenapa mengganti wallpapernya? Padahal saya sudah mengirim semua foto yang paling cantik menurutku."
Maura mendecih sinis. Ia sudah menghapus semua foto telanjang itu. "Dasar mesum gila!" makinya."
Marvel terkekeh dengan kepala menggeleng-geleng. Wanita itu memang cukup berani. "Janga bicaramu, sayang. Satu gerakan salah, satu pesan pada orang yang tidak seharusnya, saya bisa menyebarkan fotomu dalam hitungan detik. Mau coba?”
Tubuh Maura menegang. Perlahan ia menoleh, menatap pria itu dengan sorot benci. “Kamu iblis.”
Marvel berdiri, merapatkan jarak. “Iblis atau malaikat, tergantung bagaimana kamu memperlakukan saya. Sekarang jalan.”
Sepanjang perjalanan ke kantor, suasana mobil dipenuhi ketegangan. Maura duduk kaku di kursi penumpang, matanya menatap keluar jendela, menolak bertukar kata. Sementara Marvel mengemudi dengan tenang, seakan tidak ada yang salah.
Mobil berhenti tepat di depan lobi megah. Marvel turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya. Wajahnya tampak datar, namun tetap memancarkan karisma.
Marvel menepuk punggungnya pelan, suara rendahnya berbisik di telinganya. "Jangan coba-coba melawan, jangan memprovokasi amarahku dengan segala tingkah kekanakanmu itu. Menjadilah baik atau kamu akan menyesal lebih dalam lagi.”
Maura menggenggam tasnya erat, menahan gemetar di ujung jarinya. Dalam hati ia berteriak, memakai pria brengsek itu dengan segala kata-kata kasar.
***
“Terima kasih atas kerja samanya, Pak Marvel.”
Salah satu kolega Marvel menyalaminya sebelum meninggalkan ruang rapat. Begitu pintu tertutup, di ruangan tersebut menyisakan Marvel, Maura, Rio, Pranata, dan Juan.
Pranata menoleh dengan tatapan penuh bangga. “Saya benar-benar kagum, Marvel. Dalam sebulan saja kamu bisa menggandeng perusahaan besar. Tidak ada yang bisa meragukan kemampuanmu.”
Marvel tersenyum miring, menyandarkan tubuhnya dengan percaya diri. “Kemampuan saya memang tak pernah diragukan. Dalam hal apa pun.”
Ucapannya terdengar seperti kesombongan, tetapi tidak ada seorang pun yang berani menanggapi, kecuali tatapannya yang kini diarahkan pada Maura. Ia mendengar wanita itu mendesis sinis, namun pura-pura sibuk mengetik di laptop, padahal gerakan jemarinya kacau dan kakinya gelisah di bawah meja.
“Benar begitu, Maura?” suaranya tiba-tiba terdengar.
Maura sontak mendongak. “Ya?” Tatapannya kosong, tidak menangkap maksud pembicaraan. Ia tidak menyangka Marvel aka bertanya padanya. Sekilas ia menyapu pandangan ke sekeliling. Semua mata menunggu jawabannya, sementara Marvel mengangkat alis penuh arti, memaksanya untuk menyetujui.
“A-ah... iya. Pak Marvel memang sangat hebat,” jawabnya kaku.
Marvel yang tidak puas dengan jawaban itu pun mencondongkan tubuh ke arah Maura. Senyumnya menyiratkan keangkuhan dan memperjelas sikap semena-menanya.
“Dalam hal apa pun, Maura?” katanya perlahan, menekankan tiap suku kata hingga terasa menusuk.
“Ya! Dalam hal apa pun,” sahut Maura cepat, seolah ingin segera mengakhiri percakapan itu. Ia kembali menunduk ke laptop, pura-pura sibuk.
Tawa ringan terdengar dari Pranata dan yang lain, kecuali Rio yang hanya diam tanpa minat. Sementara Maura merasakan pipinya panas, tangannya mengepal di bawah meja.
Dalam hati ia mengutuk Marvel. Pria itu tidak pernah berhenti mempermainkannya, bahkan di depan orang lain. Dan tatapan dingin sekaligus tajam itu tidak pernah lepas dari dirinya, seakan sengaja mengingatkan siapa yang benar-benar berkuasa. Benar-benar brengsek!
"Sudah, jangan menggoda asisten pribadimu seperti itu, nanti dia marah," celetuk Juan dan hanya dibalas kekehan oleh Marvel.
Pranata menepuk meja dengan puas, tidak menyadari kegelisahan Maura yang semakin menjadi. “Jesica memang beruntung mendapatkan calon suami seperti kamu, Marvel. Pantas saja anak saya itu tidak pernah bisa jauh-jauh darimu dan terus merengek minta cepat dinikahkan "
Maura tercekat mendengar nama itu disebut. Bibirnya terasa kering, jemarinya refleks mengetuk-ngetuk tuts laptop yang bahkan tidak lagi menyala.
Marvel melirik ke arahnya sambil tersenyum tipis. “Ya, Jesica memang sangat beruntung,” ujarnya, nadanya ambigu. Ia tahu betul kalimat itu menusuk Maura lebih dari siapa pun di ruangan ini.
Rio melirik singkat, melihat perubahan raut Maura yang menegang. Ia menahan diri untuk tidak cepat-cepat melarikan diri dari ruangan itu, meski jelas-jelas situasi ini tidak sehat.
“Kalau begitu, saya permisi dulu,” ujar Pranata sambil berdiri. “Saya harus segera menelepon Jesica, memberi kabar baik soal proyek ini. Dia pasti akan semakin bangga padamu, Marvel.”
Marvel bangkit dengan sopan, menyalami calon mertuanya itu. "Tentu. Sampaikan salam saya untuk Jesica," ucapannya manis, tapi sorot matanya yang sekilas kembali ke arah Maura bagaikan pisau yang menyayat.
Begitu Pranata dan Juan meninggalkan ruangan, pintu tertutup rapat. Hening menyergap, menyisakan Marvel, Maura, dan Rio.
Marvel tidak langsung duduk. Ia berdiri, merapikan jasnya, lalu melangkah pelan ke arah Maura. “Jesica bangga padaku,” katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kamu lebih tahu, Maura ... saya lebih hebat dalam hal apa," lanjutnya, sengaja menggoda wanita itu.
Pikiran Maura bercabang ke mana-mana, dan ia hanya bisa menahan napas, menunduk dalam-dalam berpikir tidak harus menanggapi ucapan cabul itu. Ia tahu ke mana arah pembicaraan si brengsek itu.
Rio akhirnya membuka suara, nadanya dingin. “Pak, sebaiknya kita sudahi saja. Rapat sudah selesai.”
Marvel menoleh ke arahnya, senyum sinis terbit di wajahnya. “Rio, jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda. Lagipula, dia terbiasa dengan cara kerjaku yang ... sangat hebat."
Maura menggertakkan gigi. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak, tetapi ia tahu itu mustahil. Setiap kali Marvel berbicara seperti itu, selalu ada ancaman tersembunyi di balik ucapannya.
“Sudahlah,” ucap Marvel akhirnya sambil berbalik menuju pintu. “Maura, tetap di kantor sampai malam. Saya membutuhkanmu untuk menyelesaikan sesuatu.”
Kali ini, tatapan singkat yang ia lemparkan padanya bukan sekadar instruksi pekerjaan—itu perintah yang hanya Maura pahami arti sebenarnya.
***
Kantor sudah sepi ketika jarum jam mendekati pukul sembilan malam. Lampu-lampu di lantai lain padam, menyisakan cahaya putih dingin di ruang kerja Marvel.
Maura masih duduk di mejanya, menatap layar laptop yang kini benar-benar penuh dengan pekerjaan. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Setiap menit terasa lambat, setiap detik hanya menambah rasa gelisah.
Suara pintu terbuka membuatnya tersentak. Marvel masuk dengan langkah tenang, jas sudah ia lepas, hanya menyisakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya terlihat lelah, senyum tipisnya yang mengembang membuat Maura semakin sulit bernapas.
“Masih di sini rupanya,” ujarnya ringan.
Maura menegakkan tubuhnya. “Saya sedang menyelesaikan laporan. Mohon jangan diganggu.” Ini hari pertamanya setelah mogok kerja, dan Marvel menghadiahinya setumpuk berkas yang harus cepat diselesaikan.
Marvel mendekat, berhenti tepat di sisi meja. Tatapannya menelusuri wajah Maura, lalu turun ke jemari wanita itu yang masih sibuk mengetik. “Kamu tahu, Maura… saya selalu menghargai loyalitas.”
Maura mendecih sinis. “Kamu memang sengaja mengerjaiku dengan semua dokumen ini, kan?”
“Tidak juga. Kamu tidak akan mengerjakan semua itu kalau tidak kabur dan bertingkah seperti anak kecil, dan tugasmu tidak hanya itu," balas Marvel cepat. Ia bersandar di meja, tubuhnya miring ke arah Maura.
"Pranata mengira saya calon menantu ideal. Jesica menganggap saya pria sempurna. Bukankah mereka berlebihan? Mereka tidak tahu manusia yang dianggap sempurna ini sangat menyukai desahan asisten pribadinya." Marvel terkekeh.
Maura memalingkan wajah, berusaha mengatur napas dan menyembunyikan pipinya yang sudah terbakar. “Jangan bicara seperti itu. Kita sedang di kantor.”
Marvel terkekeh pelan. “Memangnya kenapa, ada yang salah? Saya memang menyukai desahanmu. Terlebih, kalau sekarang kamu mau mendesah untukku," ucapnya pura-pura polos.
Maura meremas tangannya sendiri di pangkuan, menahan gemetar amarah. Ia ingin bangkit dan menampar pria gila itu, tetapi kakinya terasa berat.
Marvel mendekat sedikit lagi. "Bagaimana?" tanyanya.