NovelToon NovelToon
Jawara Dua Wajah

Jawara Dua Wajah

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Gangster / Idola sekolah
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Aanirji R.

Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.

Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.

Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketidakhadiran Pemimpin

Pagi itu suasana sekolah terasa agak lengang, padahal bel masuk sudah berbunyi beberapa menit lalu. Raka melangkah masuk ke kelas sambil menenteng buku, matanya langsung tertuju ke bangku kosong di pojok jendela. Kursi Bima. Biasanya cowok itu sudah duduk dengan wajah lesu atau nyender malas di meja, tapi kali ini kosong.

Raka menarik napas. "Masih pemulihan..." batinnya, lalu buru-buru duduk. Meski tahu Bima keras kepala, Raka masih merasa ada yang ganjil kalau kursi itu dibiarkan kosong.

Jam pelajaran berjalan normal, meski pikiran Raka beberapa kali melayang ke arah sahabatnya. Hingga akhirnya bel istirahat berbunyi, ia langsung beranjak menuju ruang bekas UKS lama—tempat biasa geng Bima berkumpul.

Ruang itu seperti biasa sepi dan agak pengap, tapi sudah menjadi markas kecil mereka. Di dalam sudah ada Andre yang duduk santai sambil memainkan bolpoin, lalu ada Dodi bersandar di dinding, dan beberapa anak lain dari lingkaran mereka.

“Bima masih di rumah, kan?” tanya Raka begitu masuk.

Dodi mengangguk pelan, wajahnya lebih serius daripada biasanya. “Iya, gue udah bilang sama dia. Sementara biar dia fokus sembuh dulu. Urusan di sini gue yang atur.”

Andre nyeletuk, “Terus gimana sama Bagas? Anak-anaknya masih gerak?”

Suasana sempat hening. Semua menunggu jawaban Dodi. Cowok itu menghela napas panjang sebelum akhirnya bicara.

“Gue udah dapet kabar. Bagas juga lagi pemulihan. Kondisinya nggak jauh beda sama Bima. Jadi untuk sementara ini, aman. Mereka belum bakal gerak dalam waktu dekat.”

Beberapa anak menghela napas lega, tapi tetap ada raut waspada. Raka mengangguk kecil, meski masih cemas. “Tapi kita nggak bisa lengah. Bagas tipe yang nekat. Kalau dia udah bisa berdiri, bisa aja dia nyerang tanpa mikir kondisi.”

Dodi menatap tajam ke arah Raka, lalu ke semua yang hadir. “Makanya gue bilang, kita semua harus tetep siap. Bima nggak ada, jadi tanggung jawab sekarang ada di kita. Jangan ada yang bikin ribut dulu, jangan kasih celah. Kalau ada apa-apa, gue yang maju duluan.”

Andre terkekeh singkat, tapi ada nada hormat di suaranya. “Lo bener-bener ambil alih kayak ketua kelas aja, Dod.”

Dodi menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk, menahan beban yang sebenarnya lebih berat dari yang kelihatan. “Gue bukan Bima. Tapi kalau dia nggak bisa berdiri sekarang, ya kita semua yang harus jagain. Titik.”

Ruangan kembali hening sejenak. Raka menatap kosong ke arah meja kayu tua di tengah ruangan. Entah kenapa, kosongnya kursi Bima di kelas tadi terasa makin nyata sekarang.

Mereka semua tahu, tanpa Bima, geng ini ibarat kehilangan taring. Tapi selama Dodi bisa menahan formasi, mungkin mereka masih bisa bertahan—sambil menunggu waktu, sampai sang jawara mereka bangkit lagi.

***

Sepulang sekolah, suasana gerbang masih ramai. Raka, Andre, dan beberapa anak lain berjalan bersama Dodi. Angin sore membawa riuh suara motor yang diparkir di seberang. Di sana, nongkrong sekumpulan murid berseragam SMK Kolombus—sekolah yang namanya sering terdengar, tapi reputasinya nggak pernah setinggi Garuda. Mereka ribut sendiri, sebagian menghisap rokok, sebagian bersandar ke motor dengan tatapan menantang.

Begitu melihat Dodi dan kawan-kawan lewat, tawa mereka meledak. Suara-suara sindiran langsung melayang, jelas ditujukan untuk mereka. Bagi siapapun yang mudah panas, itu sudah cukup jadi pemicu perkelahian.

Andre spontan menggertakkan gigi, Raka pun refleks mengepalkan tangan. Tapi Dodi tetap melangkah tenang, seolah angin lalu. Satu tatapannya saja sudah cukup bikin Andre menahan diri.

Bagi Dodi, SMK Kolombus bukan lawan utama. Mereka hanyalah gerombolan anak yang merasa berani ketika mendengar kabar Bima tumbang. Tapi ancaman sesungguhnya bukan dari arah itu. Bagas dan SMK Garuda jauh lebih berbahaya—pemimpin dengan pengaruh kuat, strategi licik, dan geng yang solid.

Kalau sekarang mereka terpancing, bukan hanya energi yang terbuang, tapi juga posisi mereka bisa kebaca. Itu sama saja membuka jalan bagi Bagas untuk menyerang di saat mereka lengah.

Dodi tahu benar, di momen seperti ini mereka harus tetap utuh, harus menjaga sisa tenaga untuk badai yang lebih besar. Bukan malah menghamburkan kekuatan melawan lawan yang salah.

Langkah mereka tetap mantap melewati anak-anak Kolombus, tanpa satu kata pun. Semakin mereka dicuekin, semakin keras ejekan yang dilemparkan. Tapi Dodi tak goyah sedikit pun.

Raka menoleh sekilas ke wajah Dodi. Ada sesuatu di sana—dingin, tapi terkontrol; bukan amarah, melainkan perhitungan. Dan untuk pertama kalinya, Raka melihat bahwa kekuatan geng ini bukan hanya soal otot. Ada strategi, ada otak yang menahan mereka dari jurang yang salah.

Bima mungkin ibarat api: menyala, menghanguskan, tak bisa dipadamkan kalau sudah tersulut. Tapi Dodi adalah air—dingin, tenang, dan tahu kapan harus mengalir atau menghanyutkan.

Itulah cara mereka bertahan sekarang: dengan menyeimbangkan keduanya.

***

Malam itu, Dodi duduk sendirian di teras rumahnya, earphone tergeletak di pangkuan, rokok yang tak pernah benar-benar ia nyalakan hanya digulung-gulung di jarinya. Ia tahu, posisi sekarang genting—tanpa Bima, geng mereka pincang. Tapi kalau nekat main tabrak, bisa saja SMK Garuda atau sekolah lain justru balik menyerang di saat yang salah.

Dengan kepala dingin, ia memilih langkah lain. Malam itu ia menghubungi salah satu eksekutif SMK Garuda. Bukan dengan nada menantang, melainkan dengan bahasa yang tenang tapi tegas. Ia tahu lawannya sama-sama punya kekhawatiran: tanpa Bagas, SMK Garuda juga rentan diserang. Jadi, Dodi menekan titik itu.

"Jangan ada serangan sampai pemimpin masing-masing sembuh," begitu kesepakatan tak tertulis yang akhirnya mereka pegang bersama. Sama-sama menjaga wilayah, sama-sama menahan diri. Sementara, biar yang lain mengira kondisi tetap panas, padahal dua eksekutif ini sudah saling paham untuk tidak bikin gerakan gegabah.

Malam itu, Dodi akhirnya bisa sedikit menghela napas. Ia tahu dirinya bukan Bima yang bisa menjawab semua masalah dengan pukulan, tapi justru karena itu ia bisa menutupi kekurangan itu dengan kepala dingin.

***

Pagi berikutnya, suasana sekolah masih terlihat normal. Dodi, Raka, Andre, dan beberapa orang lainnya kembali berkumpul di ruang bekas UKS lama—markas mereka yang sudah jadi kebiasaan sejak lama.

Awalnya suasana terasa santai. Obrolan ngalor-ngidul, sedikit bercanda soal kelas, bahkan Raka sempat berkomentar bahwa aneh juga rasanya kalau Bima nggak ada di tengah-tengah mereka. Keheningan kecil muncul, tapi buru-buru ditutupi lagi oleh mereka masing-masing.

Hingga akhirnya pintu berderit terbuka, dan Andre masuk dengan langkah tergesa. Dari wajahnya saja semua orang bisa membaca kalau ada kabar yang nggak enak.

"SMK Kolombus," ucapnya pendek, nafasnya sedikit terengah.

Semua langsung berhenti bicara.

"They’re calling us out. Ngajak duel. Katanya khusus para eksekutif."

Ruangan yang tadinya adem langsung berubah tegang. Nama SMK Kolombus memang nggak sekuat Garuda, tapi mereka cukup dikenal karena sering bikin onar. Pemimpinnya memang kuat, walau bukan level Bagas, tapi tetap bisa jadi masalah kalau disepelekan.

Mata semua orang otomatis mengarah ke Dodi. Dialah sekarang yang memegang kendali. Bagaimana ia menanggapi tantangan ini akan menentukan arah geng ke depan.

1
Amel
lnjuttt
Amel
Suka banget sama cerita aksi sekolah sekolah gini
Aanirji R.: siap kak😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!