Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17
Jari Regas memainkan kartu pelajar milik Shana. Ia meneliti lagi alamat gadis itu. Sepertinya bukan daerah tempat ia bertemu dengannya waktu itu.
Mungkinkah dia ngekost? Atau dia sengaja menghindari agar aku tidak tahu tempat dia tinggal sebenarnya?
Tok! Tok! Seseorang mengetuk kaca jendela mobilnya. Ternyata itu sepupunya, Merta. Regas terkejut. Ia segera menurunkan kaca mobilnya.
"Sudah tadi, ada di sini?" tanya Regas meletakkan kartu pelajar itu di kursi sebelah.
"Ya." Perempuan itu tersenyum.
"Oke aku akan segera keluar."
Merta mengangguk. Perempuan itu berjalan kembali ke teras. Regas segera bersiap untuk keluar setelah menyimpan kartu pelajar Shana dengan baik.
"Ngapain bengong di dalam mobil?" selidik Merta sadar bahwa Regas tengah merenung tadi.
"Hanya lagi capek aja."
"Kerjaan banyak di sekolah?"
"Ya, begitulah." Regas berjalan lebih dulu untuk membuka pintu. "Tumben ke sini tanpa nelfon?" tanya Regas seraya membuka pintu mempersilahkan sepupunya masuk.
"Dapet tugas dari Bude." Merta menunjukkan sebuah tas. Dia tahu bahwa itu adalah masakan dari mamanya. Regas menerima bawaan Merta.
"Kenapa mama repot-repot."
"Seperti biasa, beliau terlalu sayang dengan putra bungsunya."
Regas tergelak pelan. "Mau minum apa?" Sebagai tuan rumah, Regas ingin memperlakukan tamunya dengan baik.
"Enggak usah di layani, aku mau melihat sendiri isi kulkas kamu." Merta melenggang begitu saja menuju ke pantry. Regas membiarkan perempuan itu melakukannya.
"Aku ganti baju dulu," pamit Regas.
"Ya!" Merta melambaikan tangan tanda memberi ijin tanpa menoleh. Dia mulai tertarik dengan isi kulkasnya. Regas memang akhirnya membeli makanan lebih waktu di mini market tempo hari. Awalnya yang hanya membeli minuman, dia juga akhirnya mengambil beberapa camilan dan buah di akhir tegurannya pada gadis itu.
...***...
Sekembalinya Regas dari kamar, ia menemukan Merta sudah menyantap sepiring buah. Pun mengeluarkan beberapa camilan.
"Aku menemukan beberapa harta karun mu di sana," tunjuk Merta pada pantry.
"Kamu sedang merampokku, ya?" canda Regas. Merta hanya angkat bahu. Lalu pria itu menuju pantry. Mengambil air dingin dari kulkas dan meneguknya perlahan. Kemudian mendekati Merta dan ikut duduk. "Hei, siapa yang kamu kirim untuk bertemu denganku waktu itu?" Dia tentu ingat dengan baik kejadian itu. Sampai detik ini ia belum mendapatkan penjelasan dengan baik soal itu.
"Ah, ya. Kamu sudah bertemu dengannya?" Merta antusias.
"Ya, Aku bertemu dengan dia."
"Gimana? Apa dia cantik?" Raut wajah Merta menelisik dengan berharap Regas berkomentar sesuai dengan harapannya.
Regas melirik. "Kamu berharap dapat jawaban jujur atau enggak?"
"Apa dia kurang menarik?" Merta jadi ragu karena pertanyaan Regas.
Bibir Regas tersenyum tipis membuat Merta menebak sendiri respon sepupunya. Regas membetulkan letak duduknya. Membiarkan ada jeda sebentar di antara mereka. Ini makin membuat Merta penasaran.
"Lumayan menarik. Bahkan sangat menarik."
"Ah, benarkah?" Merta merasa surprise dengan jawaban Regas. Ia lega karena perkenalan yang di rencanakan berhasil. "Apa kamu tertarik?" Dia kembali antusias.
"Entahlah." Regas menjawab sekenanya saja.
"Yah ... Gimana sih. Tadi katanya dia menarik, tapi kok kamu enggak tertarik." Merta menyuapkan buah ke dalam mulutnya.
"Dia sebenarnya siapa?" selidik Regas tanpa menunjukkan bahwa ia begitu antusias. Pria ini menahan diri.
"Raisa itu temanku kerja di perusahaan. Memangnya dia enggak bilang?"
"Teman kerja? Jadi dia seumuran denganmu?"
"Enggak. Dia di bawahku setahun. Hampir samalah dengan kamu. Kenapa? Kamu juga pilih-pilih umur untuk cari pasangan ya?"
"Bukan." Kepala Regas menggeleng. "Apa benar dia seumuran dengan mu?"
"Tentu saja. Dia bawahanku dan akrab denganku. Jadi aku tahu dia. Pertanyaanmu aneh banget sih? Bilang aja kalau emang bukan seleramu," gusar Merta.
Regas tergelak. "Bukan soal bukan selera. Hanya saja hentikan kebiasaan kamu menjodohkan aku dengan banyak orang."
"Bukannya Bude menyuruh kamu segera menikah, jadinya aku ikut melancarkan rencana beliau." Merta membela diri.
"Ah mama sih memang begitu. Padahal masih banyak waktu untuk menikah bukan harus tergesa-gesa," tepis Regas. Merta mendengus.
"Jadi namanya, siapa?" Regas yakin kalau dia sudah mendengar nama perempuan yang ada di cafe itu dengan baik, tapi kini pikirannya tertutup oleh nama gadis itu. Karena tahu fakta di balik siapa yang sedang berkenalan dengannya, yang di ingat Regas hanyalah nama gadis itu, yaitu Shana.
Ia tidak ingin menyebut nama itu karena tahu pasti Merta tidak mengenalnya.
"Raisa. Kamu sungguh enggak peduli sama pertemuan waktu itu ya ..."
"Enggak. Aku peduli kok." Regas tidak salah. Karena sampai sekarang ia begitu peduli untuk mencari tahu siapa gadis yang ia temui di cafe. Orang yang mengaku sebagai Raisa teman sepupunya.
Jadi yang di kenalkan Merta padaku benar teman dia kerja, lalu kenapa gadis itu yang ada di sana? Apa hubungan Shana dengan perempuan yang bernama Raisa? Batin Regas berpikir keras.
"Apa kamu masih dengan perempuan itu? Cintya?" Merta menyebut sebuah nama. Di luar dugaan, Regas tersenyum tipis. Sedikit kaku. "Hhh ... dasar. Kenapa masih dengan perempuan itu sih?" dengus Merta tidak suka. Dia menyuapkan buah ke dalam mulutnya berkali-kali seperti sedang kesal.
"Apa sebenarnya yang bikin kamu datang ke rumah ku?" Kini Regas ingin menyelidiki.
"Membawakan kamu makanan dari Bude."
"Selain itu," tepis Regas karena merasa ada tujuan lain.
"Mau tanya soal Raisa tempo hari. Namun ternyata kamu enggak tertarik."
"Mama tanya soal Cintya?"
"Enggak secara langsung." Merta mengakui itu. Dia tidak mau berbohong.
"Hhh ...." Regas menghela napas.
"Mana si bocah?" tanya Merta sadar bahwa rumah lengang sejak tadi.
"Dia belum pulang."
"Ini sudah jam berapa Reg, kenapa bocah itu belum pulang?" Kepala Merta mendongak untuk melihat waktu.
"Ada latihan ekskul tadi." Regas menjawab dengan santai.
"Ikut klub apa dia?"
"Basket."
Terdengar suara motor dari luar. Sepertinya bocah yang di bicarakan mereka berdua sudah muncul.
"Itu dia sepertinya." Merta menebak.
"Ya." Regas berdiri untuk mengisi ulang botol minumnya.
Kali ini suara pintu depan terbuka terdengar. Merta menengok bahwa tebakannya benar.
"Aku pulang!"
Tebakan Merta benar. Keponakan Regas datang dengan baju basketnya.
"Halo Vino," sapa Merta mengangkat tangannya yang masih memegang garpu.
"Oh, Tante. Sudah lama datangnya?" sapa Vino segera mendekat pada Merta. Lalu cium tangan tanda dia hormat.
"Enggak lama."
"Tapi lumayan sudah habis sepiring buah ya ...," kelakar Vino ketika melihat piring berisi buah dua potong.
"Hahaha ...." Merta terbahak. "Dasar bocah. Sini, aku jitak kamu."
"Damai Tante." Vino menunjukkan dua jarinya dengan tersenyum. Regas hanya melihat melihat interaksi mereka.
"Cepat ganti baju gih, terus ngumpul di sini." Merta antusias.
"Aku mau mandi dulu Tante."
"Oh, oke. Kamu memang bau asem," ujar Merta seraya mengusir Vino dengan tangannya. Bocah ini tergelak dan menghilang dari pandangan.
"Dia tambah ganteng ya, kayak kamu," tunjuk Merta ke Regas. "Jangan besar kepala aku bilang ganteng ya ...," cegah Merta.
"Aku sudah terbiasa dengan sebutan itu," canda Regas.
"Dasar NPD."
keep fighting 💪