Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. TUGAS PERTAMA
Sesuai perintah Nyonya Marlin, mau tidak mau Tuan Bram mengizinkan Kania untuk ikut dengannya, meski harus melalui berbagai cara tuan Bram menghentikan tekad Kania mulai dari mengancam hingga menakut-nakutinya.
Namun demikian, Kania tetap teguh pada pendiriannya. Baginya, inilah satu-satunya kesempatan untuk membalas dendam kepada orang-orang yang telah menyakiti dan menghancurkan seluruh harapannya.
Usai sarapan pagi seperti biasa, keduanya keluar dari mansion. Di depan sudah menunggu Sekretaris Bams yang sigap membuka pintu untuk mereka.
“Kania, tunggu,” panggil Nyonya Marlin yang datang dengan kursi rodanya, didorong setia oleh Bi Ana dari belakang.
“Ingat pesan Ibu, belajarlah dengan sungguh-sungguh. Ibu yakin kamu pasti bisa. Jika ada yang belum kamu pahami, bertanyalah pada suamimu atau pada Bams. Dan kalian berdua, dengarkan baik-baik apa yang Ibu katakan ini.”
Nyonya Marlin menatap Tuan Bram dan Sekretaris Bams secara bergantian. Sekretaris Bams mengangguk patuh, berbeda dengan Tuan Bram yang masih sulit percaya. Baginya, mustahil Kania bisa bekerja di perusahaan yang dipenuhi orang-orang berpengalaman, sementara ia sama sekali tak tahu apa-apa tentang bisnis.
Kania menyalami tangan Nyonya Marlin sebelum masuk ke dalam mobil. Perlahan, kendaraan itu meninggalkan halaman mansion. Nyonya Marlin dan Bi Ana hanya bisa menatap kepergian mereka, dengan harapan besar bahwa ini akan menjadi awal yang baik bagi keduanya untuk menjalin ikatan yang lebih erat.
“Ana, cari informasi tentang Kania dan laporkan padaku secepatnya.”
Bi Ana mengangguk pelan, lalu mendorong kursi roda kembali masuk ke dalam mansion.
Sementara itu, di dalam mobil, Kania dan Tuan Bram duduk saling berjauhan. Keduanya memilih menyandarkan diri di dekat jendela, menatap keluar menikmati pemandangan pagi ibu kota yang perlahan mulai dipadati para pengguna jalan.
Sesekali, sekretaris Bams melirik ke kaca spion, mengamati keduanya. Ada rasa iba yang tak bisa ia sembunyikan pada Kania. Di usianya yang masih begitu muda, ia dipaksa menikah dengan pria sedingin tuan Bram.
Hening, hanya suara mesin mobil yang sesekali terdengar di telinga. Perjalanan berlangsung sekitar tiga puluh menit hingga akhirnya Sekretaris Bams membawa mereka tiba di depan pintu perusahaan.
Seperti biasa, Sekretaris Bams berlari kecil untuk membukakan pintu bagi Tuan Bram, sementara Kania berinisiatif membuka pintu mobil sendiri.
Keduanya keluar dari mobil. Begitu melihat kedatangan Tuan Bram, para karyawan yang berada di sana seketika menghentikan aktivitasnya, berdiri tegak, dan memberi hormat.
Tatapan mereka tak lepas dari Kania. Bisik-bisik mulai terdengar, saling menerka-nerka siapa gadis muda yang berjalan bersama tuan Bram.
Tuan Bram melangkah dengan tatapan tajam lurus ke depan, diikuti Kania yang berlari kecil menyesuaikan langkahnya sambil menenteng tas.
Sementara itu, Sekretaris Bams memperhatikan keduanya dari belakang.
Ketiganya melangkah masuk ke dalam lift. Perlahan, lift itu naik membawa mereka menuju lantai teratas, lantai puncak yang menjadi ruangan sekaligus kantor tuan Bram berada.
Begitu pintu lift terbuka, Sekretaris Bams berlari kecil mendahului tuan Bram untuk membuka pintu.
Kania menyerahkan tas kepada Tuan Bram, lalu berdiri menunggu instruksi berikutnya dari Sekretaris Bams. Setelah tuan Bram memasuki ruangan, Sekretaris Bams pun membawa Kania menuju sebuah ruangan, ruang pemasaran.
Sebelum Kania duduk di kursinya, sekretaris Bams memperkenalkannya terlebih dahulu kepada para karyawan yang ada di sana. Ia berharap semua karyawan dapat membantu Kania jika suatu saat kania menghadapi kesulitan dalam pekerjaan.
Kania duduk di kursi kosong, tepat di meja yang sudah disiapkan atas perintah nyonya Marlin.
Begitu Sekretaris Bams meninggalkan ruangan, bisik-bisik pun mulai terdengar di antara para karyawan.
“Dengar-dengar, dia itu cuma pelayan di rumah tuan Bram. Entah bagaimana bisa, sampai-sampai Tuan Bram mempekerjakannya di perusahaan.” Bisik seorang karyawan pada Temannya.
“Mungkin dia pakai pelet kali atau rayuan. Tahulah, sekarang ini banyak gadis belia yang lebih suka pria tua daripada yang muda.” jawab yang lain.
Keduanya terkekeh pelan setelah menyebarkan gosip miring tentang Kania. Kania hanya terdiam, meski jelas ia mendengar sendiri setiap kata yang mereka bicarakan tentang dirinya.
Sementara itu, di ruangannya, tuan Bram tampak sibuk dengan laptop di hadapannya.
Ia terlihat serius memperhatikan grafik perusahaan dalam bulan terakhir. Angka-angka itu menunjukkan pergerakan yang naik-turun, kadang melonjak, kadang merosot, meski masih dalam batas yang terbilang normal.
Dari arah pintu, Sekretaris Bams muncul dengan langkah tergesa mendekati tuan Bram. Ia meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja, kemudian mendorongnya ke hadapan tuan Bram.
Sebuah kerja sama antara perusahaan WARRIOR grup. Walau terbilang proyek kecil, namun proyek tersebut cukup penting bagi pihak MARLIN Grup.
Sejenak, tuan Bram meneliti isi perjanjian itu, memastikan tidak ada satu pun pihak yang dirugikan. Setelah merasa cukup yakin, pikirannya langsung tertuju pada satu hal, siapa orang yang tepat untuk mewakili perusahaan Dalam melakukan negosiasi.
Senyum tuan Bram mengembang sepertinya dia sudah menemukan sosok itu.
Tuan Bram menyuruh sekertaris Bams memanggil Kania untuk menghadap. Sekertaris Bams mengangguk lalu berbalik keluar ruangan.
"Aku mau lihat sampai dimana dia bisa bertahan di perusahaan ini."
Tak lama kemudian, Kania muncul bersama Sekretaris Bams. Tuan Bram menyerahkan lembaran kertas itu pada Kania, lalu memintanya membaca dengan saksama dan menanyakan Hal-hal yang belum ia pahami.
Lembar demi lembar Kania buka dan ia baca dengan teliti. Sejauh yang ia pahami, tidak ada Masalah berarti dalam isi perjanjian itu.
"Pergi ke perusahaan WARRIOR Grup dan temui Pak Hendra untuk meminta tanda tangannya. Ingat, ini hari pertamamu bekerja di sini, jangan sampai menjadi hari terakhirmu juga. Lakukan yang terbaik untuk perusahaan.” ucap tuan Bram tegas.
Mata Sekretaris Bams membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin tugas sebesar itu diserahkan pada Kania? Apa tuan Bram tidak tahu siapa Hendra, peminum berat yang reputasinya belum ada tandingan.
Sekretaris Bams yakin, Hendra tidak akan melepas kesempatan untuk menguji Kania. Pasti pria paruh baya itu akan menjejalkan minuman ke hadapan Kania. Dan hanya ada satu cara agar kontrak itu bisa didapatkan, Kania harus mampu meneguk habis setiap gelas yang disodorkan Hendra, tanpa menolak sedikit pun.
Belum sempat Sekretaris Bams mengucapkan sepatah kata pun untuk mencegah, Kania sudah lebih dulu mengangguk menerima surat kontrak itu sebagai tugas pertamanya.
Sebelum keluar, Tuan Bram memberi instruksi agar Kania memilih salah satu rekan kerja untuk menemaninya ke sana. Hal itu sontak membuat Kania gembira setidaknya ia tidak perlu menghadapi tugas itu seorang diri. Ada teman berbagi yang bisa meringankan beban saat berada di perusahaan WARRIOR grup.