Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Suara sorak-sorai tepuk tangan tamu undangan masih menggema di telinga Raisa saat ia dan Ardan melangkah keluar dari ballroom menuju ruangan kecil yang disiapkan untuk mereka beristirahat sebentar sebelum resepsi dimulai.
Raisa merasa jantungnya berdetak begitu cepat. Gaun pengantin putih panjang itu terasa berat, bukan hanya karena potongan kain dan pernak-perniknya, tetapi karena semua tatapan, bisik-bisik, dan penilaian yang menghujani dirinya sejak ia melangkahkan kaki memasuki ballroom tadi.
Ardan menggenggam tangannya erat. “Kamu hebat sekali,” katanya pelan, seolah tahu betul badai apa yang sedang berkecamuk di dalam hati Raisa.
Raisa tersenyum tipis. “Aku gemeteran, Om. Dari tadi.”
Ardan terkekeh kecil. “Itu wajar. Aku juga gemeteran, kok.”
Raisa meliriknya, tidak percaya. “Om? Pengusaha besar, terbiasa bicara di depan ratusan orang, masih bisa gemeteran?”
Ardan menatapnya serius. “Gemeteran karena ini beda. Karena kamu.”
Raisa terdiam. Kata-kata itu menghantam dadanya seperti ombak, membuat matanya kembali terasa panas. Ia ingin menangis, tapi ia tahu riasan wajahnya akan rusak.
Ardan mengusap punggung tangannya lembut. “Tarik napas dalam, Rai. Kita cuma perlu lewati hari ini. Setelah ini, semua akan terasa lebih mudah.”
Raisa menggeleng pelan. “Om, kalau semua ini nggak pernah terasa mudah? Kalau selamanya orang-orang tetap ngomongin kita? Kalau…”
Ardan menyentuh pipinya. “Kita hadapi bareng. Kamu nggak sendiri, Raisa. Ingat itu.”
Raisa menunduk, menghela napas panjang. Iya. Ia tak sendiri. Tapi kata-kata itu, seberapa pun menenangkannya, tak bisa sepenuhnya menghapus rasa takut yang menggelayuti dadanya.
Resepsi berjalan meriah. Tamu-tamu berdatangan, memenuhi ballroom dengan tawa, musik, dan cahaya lampu kristal yang berkilauan.
Mamanya Raisa bahkan sangat antusias, sangat berbeda sekali dengan keluarga Ardan yang menatap sinis mereka.
Raisa berdiri di samping Ardan, menyalami para tamu, mengucapkan terima kasih satu per satu sambil berusaha tersenyum, meski pipinya mulai kaku.
Beberapa tamu memberi selamat dengan tulus. Namun tak sedikit yang hanya mengucap kata “selamat” dengan senyum sinis, seakan pernikahan ini hanyalah drama yang mereka tonton sambil menikmati makanan prasmanan.
Raisa bisa merasakan tatapan mereka. Tatapan yang menilai. Tatapan yang meraba-raba pikirannya: “Apa benar dia menikah karena cinta? Atau hanya karena uang?”
Dari jauh, ia melihat Bu Ratna—ibu Ardan—duduk di meja VIP, berbincang dengan beberapa tamu senior. Tatapan perempuan itu padanya dingin, seperti es yang menusuk kulit.
Sesaat pandangan mereka bertemu. Raisa buru-buru memalingkan wajah.
Ardan yang memperhatikan itu langsung menepuk punggung tangannya. “Jangan pedulikan.”
Raisa menggigit bibir. “Dia nggak suka aku, Om.”
“Dia cuma butuh waktu,” jawab Ardan pelan.
Raisa ingin percaya. Tapi dari tatapan Bu Ratna tadi, ia tahu waktu tak akan mengubah banyak.
Malam itu, setelah semua tamu pulang, mereka kembali ke apartemen.
Raisa melepas gaunnya dengan bantuan pramusaji hotel yang Ardan bawa khusus untuk memudahkan dirinya. Tubuhnya terasa remuk, kakinya sakit karena seharian memakai heels, tapi pikirannya masih penuh dengan bayangan resepsi tadi.
Ardan masuk ke kamar, membawa segelas susu hangat. “Minum ini dulu. Kamu pasti capek.”
Raisa menerima gelas itu. “Om nggak capek?”
Ardan tersenyum sambil membuka dasi. “Capek. Tapi lega. Sekarang kamu resmi jadi istriku.”
Raisa menatap gelas di tangannya. Kata-kata itu menghangatkan hatinya, tapi di balik itu semua, ada rasa canggung yang tak bisa ia jelaskan.
Mereka kini resmi suami istri. Tapi apakah ia siap?
Ardan mendekat, duduk di tepi ranjang. “Kamu masih kelihatan tegang.”
Raisa menggeleng cepat. “Nggak, kok. Aku cuma… belum biasa.”
Ardan menyentuh pipinya dengan ujung jari. “Kita punya banyak waktu. Kamu nggak harus terburu-buru.”
Raisa mengangguk pelan.
Hari-hari setelah pernikahan tak semegah pesta resepsinya.
Raisa kembali ke rutinitas yang aneh. Ia tak lagi tinggal di kos sederhana seperti dulu. Kini, ia bangun di apartemen mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, sarapan dengan roti panggang dan jus segar, lalu menghabiskan waktu entah mengerjakan apa.
Skripsi yang sempat ia selesaikan kini tinggal menunggu sidang. Tapi untuk kembali ke kampus, ia merasa tak siap.
Setiap kali membuka media sosial, wajahnya muncul di akun-akun gosip. Judul-judul berita menyakitkan hati:
> “Mahasiswi 22 Tahun Nikahi Pengusaha 47 Tahun. Cinta atau Cuan?”
“Netizen: Modal Cantik Aja, Dapat Apartemen dan Mobil Mewah.”
Raisa mematikan ponselnya.
Namun ia tahu, gosip itu tak berhenti hanya karena ia menutup mata.
Suatu sore, Dina datang berkunjung.
“Gimana rasanya jadi nyonya besar?” Dina mencoba bercanda sambil menaruh tasnya di sofa.
Raisa mendengus kecil. “Jangan gitu ah, Din. Aku seriusan lagi mumet.”
Dina menatapnya. “Rai, kamu tuh kenapa, sih? Kamu udah dapetin semua yang orang lain mau. Hidup nyaman, suami yang perhatian, masa depan aman. Tapi kenapa kamu kelihatan sedih terus?”
Raisa terdiam. Ia menggigit bibir, mencari kata-kata.
“Karena semua ini… kayak bukan aku, Din,” ucapnya lirih.
“Bukan kamu?”
“Aku dulu cuma mahasiswi biasa. Sekarang tiba-tiba jadi… bahan omongan satu kota. Semua orang merasa berhak menilai hidupku. Dan aku nggak tahu harus gimana.”
Dina menghela napas panjang. “Ya udah, Rai. Dengerin aku. Kamu nggak akan bisa bikin semua orang suka sama kamu. Jadi berhenti berusaha nyenengin mereka. Hidup buat diri kamu sama orang yang kamu sayang aja.”
Raisa mengangguk pelan. Kata-kata itu sederhana, tapi sulit sekali dijalankan.
Beberapa minggu setelah pernikahan, masalah baru muncul.
Ardan pulang larut malam, wajahnya letih.
“Kamu kenapa, Om?” Raisa mendekat, menaruh tangannya di lengan suaminya.
Ardan menghela napas panjang. “Perusahaanku… ada masalah. Beberapa klien lama mundur karena… mereka nggak setuju sama pernikahan kita.”
Raisa tertegun. “Apa?”
“Mereka bilang… aku kehilangan fokus. Mereka nggak percaya aku bisa memimpin perusahaan kalau aku sibuk dengan ‘kehidupan pribadiku yang kontroversial’.”
Raisa merasakan dadanya mencelos. “Jadi… ini salahku?”
Ardan langsung menatapnya tajam. “Jangan pernah bilang gitu. Ini bukan salahmu.”
“Tapi—”
“Raisa.” Ardan memotong, suaranya tegas. “Aku tahu apa yang aku lakukan. Dan aku nggak akan nyalahin kamu untuk keputusan yang aku ambil sendiri.”
Namun kata-kata itu tak menghentikan rasa bersalah yang merayapi hati Raisa.
Di tengah semua itu, Bu Ratna kembali menghubunginya.
“Kita perlu bicara,” tulis pesan singkatnya.
Raisa ragu, tapi ia tak bisa menolak.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil. Bu Ratna datang dengan setelan rapi, wajahnya datar.
“Kamu lihat kan, apa yang terjadi?” katanya tanpa basa-basi. “Perusahaan Ardan goyah. Reputasinya jatuh. Dan semua orang tahu siapa yang jadi penyebabnya.”
Raisa menggenggam cangkir kopinya erat. “Saya nggak mau merusak hidup Ardan, Bu.”
“Kalau benar, buktikan. Lepaskan dia.”
Raisa mendongak, matanya berkaca-kaca. “Bu, saya sayang sama Ardan.”
Bu Ratna mencondongkan tubuhnya. “Kalau kamu benar-benar sayang, kamu nggak akan biarin dia hancur karena kamu.”
Kalimat itu menancap di hati Raisa. Ia pulang dengan kepala penuh pikiran—untuk pertama kalinya, ia benar-benar mempertanyakan: Apakah aku pilihan terbaik untuk hidup Ardan?
Malam itu, Raisa duduk di balkon apartemen, memandang gemerlap kota di bawah sana. Angin malam menusuk kulitnya, tapi pikirannya jauh lebih dingin.
Ardan keluar, mendekat, dan menyampirkan selimut di bahunya. “Kok di luar? Kamu kedinginan.”
Raisa menatapnya. “Om…”
“Hmm?”
“Aku… kalau semua ini bikin hidup Om makin berat, Om nyesel nggak nikahin aku?”
Ardan terdiam sesaat, lalu meraih wajahnya. “Raisa. Dengar aku baik-baik. Aku nggak pernah nyesel. Kamu yang bikin semua ini layak dijalani.”
Air mata Raisa akhirnya jatuh.
Di dalam pelukannya, semua kata-kata Bu Ratna perlahan teredam.
Namun jauh di lubuk hatinya, pertanyaan itu tetap berputar: Bisakah cinta mereka cukup untuk menghadapi dunia?