NovelToon NovelToon
Three Years

Three Years

Status: sedang berlangsung
Genre:JAEMIN NCT
Popularitas:419
Nilai: 5
Nama Author: yvni_9

"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ulang tahun bunda

...Happy reading ...

Langit sore yang semula cerah perlahan berubah menjadi jingga tembaga, pertanda mentari bersiap undur diri ke peraduan. Meski senja mulai menyapa, panasnya belum jua surut, masih menyengat kulit seperti siang yang enggan pergi.

Dengan langkah lesu, mereka menyusuri trotoar yang menguapkan gerah, menuju halte bus di kejauhan. Baru beberapa meter lagi, mereka memutuskan berhenti sejenak, berteduh di bawah pohon rindang. Di sanalah mereka duduk diam, membiarkan angin sore mengelus wajah dan menenangkan napas yang letih.

"Kayaknya kita harus nyewa unta sih ini!" kata Cely sambil menyenderkan kepalanya di kursi, mencari ketenangan dalam teduhnya ranting pohon.

Leo menggeleng-gelengkan kepala, lalu ikut duduk di sebelah Cely. "Drama queen banget sih kamu,"

"Panas banget, sumpah! Lo kenapa gak bawa motor aja sih tadi?!" seru Cely kesal. "Kan lo udah jago tuh bawa motor? Tinggal bonceng gue doang, beres!"

"Bisa, tapi kan saya belum punya SIM. Yang ada nanti kita ditangkap polisi!" kata Leo.

Cely tidak menggubris omongan Leo. Matanya terpejam rapat, mencoba merasakan sensasi sejuk dari angin yang berhembus di tengah cuaca yang panas.

Leo menunjuk ke arah jalan, di mana sebuah bus sudah terlihat dari kejauhan. "Cel, busnya mau lewat!" katanya. "Ayo cepat ke halte!" ajaknya, sambil menarik lengan Cely.

"Ntar lagi aja deh! Masih panas banget soalnya," jawabnya, sambil mengipasi wajahnya dengan tangan. "Ntar kalo gue item, lo nya ga mau lagi sama gue," gumamnya pelan, hampir tak terdengar oleh Leo.

"Gimana, Cel?" tanya Leo. "Saya ga denger apa yang kamu omongin."

Cely tersentak, lalu menggeleng dengan cepat. "Enggak, enggak apa-apa!" jawabnya, dengan sedikit gugup. "Cuma bilang panas aja kok," lanjutnya, sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.

Leo mengangguk mengerti. "Oh, gitu. Kirain ada apa," katanya, sambil tersenyum. "Ya sudah, kalau gitu kita tunggu aja di sini sampai agak sorean."

Cely tersenyum ke arah Leo. "Untung lu kaga denger, njir! Kalo denger, mati gue!" gerutu Cely dalam hati.

Beberapa menit kemudian, suara klakson mobil hitam memecah keheningan sore. Sebuah mobil berhenti di dekat mereka, dan kaca mobil terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya di dalamnya. "Kalian ngapain di situ?" tanyanya, dengan senyum ramah.

"Ayah!" seru Leo, wajahnya berbinar melihat ayahnya datang. Ia segera berlari menghampiri mobil.

"Masuk, cepat!" suruh ayahnya.

"Cel, ayo masuk!" ajak Leo, dengan nada bersemangat. Cely mengangguk, lalu ikut masuk ke dalamnya.

"Kebetulan banget ga sih, om?" sapa Cely pada ayahnya Leo. "Padahal tadi Cely udah mau nyewa unta," katanya diiringi gelak tawa.

Ayah Leo pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kamu ini ada-ada saja," katanya sambil tertawa.

...***...

Malam itu, aroma lezat masakan Bunda Leo menggoda indera penciuman seisi rumah. Dengan cekatan, beliau menyiapkan hidangan makan malam favorit keluarganya. Sementara itu, di ruang tamu, Leo, ayahnya, dan Cely berbisik-bisik penuh semangat, merencanakan kejutan istimewa untuk Ibu Leo.

"Oke, Ayah yang matiin lampu, ya! Cely, jangan lupa buat suara seramnya!" bisik Leo.

Ayahnya mengangguk mantap, "Siap!"

Cely, dengan senyum nakal, mengangguk penuh percaya diri. "Tenang saja. Ini Cely, pasti bisa!"

"Bagus!" seru Leo, "Nanti Leo yang bawa kuenya dari luar, ya Yah!" lanjutnya, tak sabar.

Leo segera berlari keluar rumah, diikuti ayahnya dari belakang yang bertugas mematikan saklar lampu.

Di dapur, Ibu Leo masih sibuk dengan masakannya, ketika tiba-tiba lampu di seluruh rumah padam, menciptakan keheningan mencekam. "Loh, kok mati lampu?" monolognya . "Leo, Cely!" panggilnya, sedikit khawatir, "Ayah!" panggilnya lagi, mencoba mencari jawaban. Tangannya meraba-raba mencari saklar lampu, namun tak kunjung menemukannya. Dengan sigap, ia meraih ponselnya dari saku dan menyalakan lampu senter, mencoba menerangi kegelapan.

Dalam remang cahaya senter, suara-suara aneh mulai terdengar, memecah kesunyian. Langkah kaki misterius, bisikan-bisikan gaib, dan suara pintu berderit perlahan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Ibu Leo merasakan jantungnya berdebar kencang, bulu kuduknya meremang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

"Siapa itu?" panggil Ibu Leo dengan suara bergetar, mencoba memberanikan diri. Namun, tidak ada jawaban. Suara-suara aneh itu semakin menjadi-jadi, membuatnya semakin panik dan ketakutan.

Tanpa berpikir panjang, Ibu Leo berlari keluar rumah, mencari perlindungan dalam gelapnya malam. Dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa menenangkannya. Namun, begitu pintu terbuka, muncullah Leo dengan membawa kue ulang tahun di tangannya, wajahnya berseri-seri.

"Selamat ulang tahun, Bunda!" teriak Leo dan ayahnya dengan gembira, diikuti Cely yang muncul dari belakangnya, wajahnya penuh senyum ceria. Mereka berdua langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan suara lantang, memecah keheningan malam.

Mata Ibu Leo berkaca-kaca, terharu dengan kejutan yang diberikan oleh anak dan suaminya. Wajahnya yang tadi tegang dan ketakutan, kini berubah menjadi senyum bahagia dan haru.

"Kalian ini ... ada-ada saja," kata Ibu Leo dengan nada terharu, "Bunda kira ada hantu tadi."

Leo, ayahnya, dan Cely tertawa melihat reaksi Ibu Leo. "Maaf ya, Bun, kita cuma mau kasih kejutan," kata Leo sambil memeluk ibunya erat.

"Iya, Bun. Ini semua ide Leo. Kita sengaja bikin Bunda takut biar kejutan ini makin seru," timpal ayahnya, sambil merangkul Ibu Leo dari samping.

Malam itu, tawa dan kebahagiaan memenuhi rumah mereka. Kejutan ulang tahun yang menegangkan itu akhirnya menjadi momen yang tak terlupakan bagi mereka.

"Oke, ayo masuk! Kita potong kuenya," kata Bunda Leo dengan senyum hangat.

Sesampainya di meja makan, Bunda Leo menatap Cely. "Eh iya, ibu kamu di rumah kan?" tanya Bunda Leo pada Cely. "Ajak aja ke sini, biar kita sekalian makan malam sama-sama," lanjutnya.

Cely, yang sebenarnya tidak mau berurusan dengan ibu tirinya, tapi ia merasa sedikit tidak enak jika menolak tawaran Bunda Leo. Bagaimanapun, Bunda Leo selalu baik padanya. "Leo, temenin gue yuk!" ajak Cely pada Leo. Tanpa pikir panjang, Leo pun menyetujuinya dan langsung keluar bersama.

Di depan rumah Cely, mereka berhenti. "Eh, lo aja deh yang panggil dia ya," ucap Cely sambil menunjuk ke rumahnya dengan dagu. "Gue males banget ngomong sama dia," lanjut Cely, wajahnya sedikit masam.

Leo mengerti perasaan Cely. Ia tahu bahwa hubungan Cely dengan ibu tirinya tidak baik. "Yaudah, biar saya saja," kata Leo, menawarkan diri. Ia melangkah menuju pintu rumah Cely, sementara Cely menunggu di belakangnya, memalingkan muka enggan.

Leo mengetuk pintu rumah Cely. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya dengan wajah datar. "Ada apa?" tanyanya.

"Selamat malam, Tan," sapa Leo dengan sopan. "Tadi, Bunda Leo ngundang Tante buat makan malam bareng di rumah. Sekalian ngerayain ulang tahun Bunda," jelas Leo.

Wanita itu terdiam sejenak, seolah mencari tahu maksud kedatangannya. "Oh ... bunda kamu ulang tahun ya, saya lupa!" ujarnya.

Setelah berpikir sejenak, wanita itu akhirnya mengangguk. "Baiklah, saya ikut!" katanya, lalu menutup pintu rumahnya.

Mereka masuk menuju ruang makan, di mana ayah dan Bunda Leo sudah asyik dengan dunia mereka sendiri, saling melempar gurauan dan tawa, menciptakan suasana yang hangat.

"Eh, kalian sudah sampai!" kata Bunda Leo, menyambut mereka dengan senyum dan pelukan hangat. "Sini-sini duduk, Fin!" ajak Bunda Leo kepada Fianna, ibu tiri Cely.

Fianna mulai duduk, wajahnya masih datar dan tanpa ekspresi. "Sorry banget ya, soalnya saya bener-bener lupa kalo hari ini hari ulang tahun kamu," katanya pada Bunda Leo.

"Ga papa Fin, sebenernya saya tadi juga lupa kalo hari ini saya ulang tahun," kata Bunda Leo, menanggapi dengan tawa ringan. "Oh sebentar ya, saya ambilin minuman sama kuenya," Bunda Leo menawarkan. "Leo, Cely, bantuin bunda bawa makananya yuk!" ajak Bunda Leo ke dapur.

"Kami aja deh bun yang ngambil makanan sama minumannya," kata Leo, menawarkan bantuan. "Bunda di sini aja," lanjutnya, sopan.

Sesampainya di dapur, ide gila Cely muncul, matanya tiba-tiba berbinar nakal. "Leo, garam lo di mana?" tanyanya, berbisik.

Leo mengangkat satu alisnya, bingung. "Buat apa cel?" tanya Leo sambil memberikan stoples garam yang ada di rak.

"Gue punya ide," katanya, menyeringai sambil membisikkan idenya di kuping Leo.

Leo menelan ludahnya gusar, terkejut dengan apa yang Cely bisikan barusan. "Cel ... Gausah aneh-aneh deh! ntar kalo ibu kamu marah gimana?" katanya, mencoba memperingati.

"Udah, lo tenang aja!" kata Cely, meyakinkan Leo. Dengan gerakan cepat, tanpa ragu ia memasukkan garam ke dalam minuman yang khusus dibuat untuk ibu tirinya.

"Nah ... siap!" katanya, setelah selesai dengan rencananya. "Nanti lo kasi ini buat dia ya, kalo Lo yang bawa, dia ga bakalan curiga! Biar gue yang urus makanannya," kata Cely, menyerahkan minuman yang sudah ia beri garam kepada Leo.

Leo hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata Cely, walaupun ia tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya.

Fianna dan Bunda Leo berbincang dengan akrab. Leo dan Cely kembali ke meja makan, membawa nampan berisi hidangan dan minuman.

"Silakan, Tante!" ujar Leo, memberikan segelas minuman yang khusus dibuatkan Cely tadi.

Fianna membalasnya dengan senyuman. Ia lantas langsung meneguk sedikit minumannya, tapi pada tegukan pertama, ia merasa ada yang aneh. "Asin?" ucapnya dalam hati, ia memandangi gelas itu lama. Matanya menyusuri meja, mencari tahu siapa dalang di balik rasa aneh ini. Melihat satu per satu dari mereka dan berhenti pada seringai kecil di wajah Cely. Fianna mengerti seketika. "Anak itu!" geramnya dalam hati. Senyumnya hilang, digantikan tatapan tajam. "Lihat saja nanti."

Di dapur, Bunda Leo dan Ibu Cely masih asyik mengobrol, sesekali terdengar tawa kecil mereka. Sementara itu, di ruang keluarga, Cely, Leo, dan ayahnya duduk bersama menonton televisi.

"Leo!" panggil Cely, suaranya sedikit berbisik. Leo menoleh, alisnya terangkat. "Sebenarnya, gue ga berani pulang," bisik Cely.

Mata Leo membulat, "Tuh kan! Apa aku bilang!" serunya, setengah kesal.

Cely menunduk. "Terus, gimana dong?" tanya Leo, bingung.

Cely menggigit bibirnya. "Temenin gue balik ya?" pintanya.

Leo menghela napas, "Ya udah deh," jawabnya.

Cely tersenyum lega, "Leo, lo emang temen gue yang paling baik!" ucap cely mengangkat kedua ibu jarinya.

"Ya udah kalo gitu aku pulang dulu ya!" pamit Ibu Cely sambil berjalan menuju pintu keluar.

"Leo, ayo!" ajak Cely dengan tergesa-gesa. "Om, Cely balik juga ya!" pamitnya pada ayah Leo.

"Oh ... iya-iya, hati-hati kamu ya!" jawab ayah Leo sambil tersenyum.

Cely dan Leo berjalan beriringan di belakang Fianna, menuju rumah Cely. Rumah Cely hanya berhadapan dengan rumah Leo, sehingga tidak masalah jika Leo balik sendirian.

"Leo, sampe sini aja," bisik Cely saat mereka sudah dekat teras rumahnya. "Ntar kalo pintunya udah dibuka, gue langsung lari ke kamar!"

Leo mengangguk-anggukkan kepalanya, "Oke. Semoga lancar ya," jawabnya sambil memberikan semangat.

Setelah pintu rumahnya terbuka, Cely langsung berlari masuk, melewati ibunya yang baru saja membukakan pintu.

"CELY! SINI KAMU!" teriak ibu tirinya yang melihat Cely yang berlari masuk. Ia langsung mengejar Cely dengan langkah cepat.

Cely tidak menghiraukan teriakan ibunya. Ia terus berlari menuju kamarnya dan segera mengunci pintu dari dalam.

Ibu tirinya, Fianna, sudah berdiri di depan pintu kamar Cely. Ia menggedor-gedor pintu dengan keras. "Buka pintunya!" suruhnya dengan nada tinggi. "Pasti kamu kan, yang masukin garam di minuman saya?!" tanyanya dengan marah.

Cely tidak menjawab. Ia sudah naik ke tempat tidurnya dan berbaring di sana, berusaha untuk tidak mempedulikan ibunya yang terus menggedor pintu.

Fianna terus menggedor pintu kamar Cely sambil mengomel. "Kamu memang anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu mengerjai saya!" makinya.

...________...

1
MindlessKilling
Gak sabar nunggu lanjutannya, thor. Ceritanya keren banget!
yvni_9: terima kasih
total 1 replies
Zhunia Angel
❤️ Hanya bisa bilang satu kata: cinta! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!