NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Mantra Untuk Luka Lama

Suasana masih ramai. Musik lomba terdengar mengalun riang, anak-anak tertawa, guru-guru bercengkerama sambil menuntun peserta menuju meja lomba selanjutnya. Tapi bagi Sheina, dunia seolah berhenti selama beberapa detik barusan.

Ia berdiri diam di balik lorong kecil di sisi panggung. Tempat yang biasanya jadi jalur lalu lalang kru kini kosong. Hanya dirinya. Hanya degup jantungnya sendiri yang terus bergema di telinga.

Sheina memejamkan mata pelan. Mengatur napas.

Barusan tubuhnya sempat ada dalam pelukan Davison.

Ia tak tahu harus merasa apa. Kaget, iya. Gugup, pasti. Tapi di balik semua itu, ada rasa yang lebih sulit didefinisikan. Bukan hanya karena insiden minuman tumpah itu terjadi begitu cepat, tapi karena cara Davison melindunginya terasa tulus. Refleks. Bukan sesuatu yang dibuat-buat.

Ingatan itu perlahan muncul lagi di kepalanya, lebih jernih, lebih detail.

Setelah suara "brakkk" memecah udara, Sheina refleks memejamkan mata. Ia pikir tubuhnya akan dihantam nampan penuh air. Tapi dalam sekejap, seseorang menariknya cepat. Pinggangnya ditahan, tubuhnya mundur mendadak jatuh ke dalam pelukan seseorang.

Davison.

Lengan pria itu melingkar erat di tubuhnya. Napas mereka hampir bersatu. Wajah mereka hanya terpisah sejengkal. Sheina bahkan bisa merasakan detak jantung Davison yang berdetak cepat, sama seperti miliknya.

Tangannya refleks menyentuh dada pria itu, mencoba memberi jarak. Tapi tubuhnya tak segera patuh.

“Aku…” Sheina mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.

Davison menatapnya sebentar. Tatapan yang penuh kehati-hatian. Ia menyapu pandangan ke wajah Sheina, seolah memastikan tak ada yang terluka.

“Kamu nggak apa-apa?” suaranya terdengar rendah tapi tenang. Dalam, tapi ada kekhawatiran yang tulus di sana.

Sheina hanya bisa mengangguk. Cepat. Tapi sebelum ia mundur, ia sempat menatap Davison sekilas, dan berkata lirih,

“Terima kasih.”

Lalu ia mundur pelan. Melepas diri. Tapi kehangatan tadi belum benar-benar hilang.

Kini, berdiri sendiri di lorong yang sepi, Sheina meremas bagian baju depannya. Wajahnya memanas. Nafasnya belum sepenuhnya stabil.

“Kenapa harus kamu yang nyelametin,” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Dan lebih dari itu mengapa hatinya merasa tidak biasa.

Namun Sheina tahu ini bukan waktunya memikirkan semuanya. Acara masih berjalan. Banyak anak yang harus dibimbing. Banyak guru yang menunggu bantuannya. Ia menghela napas, mencoba mengembalikan ekspresinya seperti semula.

Perlahan, ia melangkah keluar dari lorong. Senyum tipis berusaha ia tarik di wajahnya. Tapi ada sorot baru di matanya. Sorot yang tak bisa ia jelaskan, bahkan dirinya sendiri belum mengerti sepenuhnya.

Di area utama, suasana sudah kembali tertata. Kursi VIP dirapikan, pecahan gelas plastik tadi sudah dibersihkan. Tapi momen itu masih membekas di beberapa mata yang sempat melihat.

Fahri, yang berdiri tak jauh dari lokasi kejadian, memandangi Sheina dengan pandangan samar. Ia melihat semuanya. Termasuk siapa yang berdiri terlalu dekat dengan meja minuman sebelum nampan itu terjatuh.

Matanya beralih pada Merisa.

Perempuan itu berdiri tak jauh, berusaha terlihat tenang. Tak ada ekspresi khusus di wajahnya. Tak ada reaksi. Hanya diam. Tapi Fahri tahu, diam itu bukan tanpa arti.

Ia menghampiri pelan. Suaranya rendah, tapi tegas.

“Saya rasa orang tadi jatuh karena Mbak Merisa.”

Merisa menoleh cepat. Tatapannya tajam, seperti biasa. Tapi matanya sedikit gelisah.

“Saya nggak tahu ya,” jawabnya datar, seolah tak peduli.

Fahri tetap menatapnya. “Jelas-jelas Mbak Merisa menghalangi jalan, sehingga orang tadi tersandung dan nabrak meja. Mbak Merisa belum minta maaf.”

Merisa mendengus pelan. Ia melipat tangan di depan dada, lalu menatap Fahri dengan pandangan malas.

“Nanti deh saya minta maaf,” ujarnya dingin.

Fahri menghela napas pelan, tapi tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap Merisa sejenak, lalu memalingkan wajah. Dalam hati, ia mencatat semuanya. Bukan hanya kejadian tadi, tapi juga ekspresi dan arah pandangan mata yang sempat dilihatnya.

Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Merisa yang tak bereaksi, dan berjalan melewati lorong kecil di sisi panggung, tempat yang tadi jadi saksi keheningan Sheina.

Beberapa jam kemudian, acara lomba akhirnya selesai. Tenda-tenda mulai dibongkar, kursi-kursi dikumpulkan, dan spanduk perlahan diturunkan. Anak-anak yang memenangkan lomba sibuk berfoto dengan piala di tangan, sementara guru-guru masih mengatur perlengkapan yang akan dibawa kembali ke sekolah masing-masing.

Sheina ikut membantu, meski tubuhnya terasa lelah. Keringat sudah mengering di punggungnya, tapi ia tetap berjalan dari satu sudut ke sudut lain, memastikan tak ada yang tertinggal. Tangannya sibuk mencatat jumlah kursi yang harus dikembalikan ke penyedia sewa.

Suasana mulai longgar. Beberapa tamu penting sudah pulang. Anak-anak mulai diajak bersih-bersih oleh orang tuanya. Hari itu tampaknya akan segera usai dengan tenang.

Tiba-tiba, langkah seseorang berhenti di belakangnya.

"Aduh, Pak Dev!" Sheina tersentak kecil saat menoleh. "Kenapa di sini?"

Davison tersenyum samar. "Saya mau ajak kamu pulang bareng. Sekalian makan. Soalnya nenek saya ngajak makan bareng juga."

Sheina mengecek jam tangannya. Pukul dua siang. Ia bahkan belum sempat menyentuh makanan sejak pagi tadi.

"Oke, tapi saya bantu beresin ini dulu ya."

Belum sempat Davison menjawab, suara tangis nyaring terdengar dari arah belakang tenda utama. Seorang anak perempuan berlari kecil ke arah Sheina—Seta, muridnya sendiri.

Seta menangis, wajahnya memerah, dan langsung memeluk Sheina erat.

"Ibu Sheina, Boby menghilang."

Jantung Sheina seketika mencelos. Ia berjongkok cepat, memegang bahu Seta. "Hah? Sayang, kamu yakin Boby menghilang?"

Seta mengangguk keras, isaknya belum reda. "Tadi dia mau makan kue coklat. Terus dia bilang mau cari Ibu Sheina. Tapi sekarang nggak ada."

Beberapa guru mulai memperhatikan. Ibu Boby yang masih ada di sekitar area juga mendengar percakapan itu. Wajahnya langsung tegang dan panik.

"Apa? Boby menghilang?" suaranya meninggi.

Suasana yang tadinya tenang berubah seketika jadi tegang. Beberapa anak ikut berhenti bermain. Beberapa orang tua mulai melirik ke sekitar, mencoba memahami situasi.

Sheina menenangkan Seta sambil mencoba berpikir cepat. "Seta, kamu terakhir lihat Boby jam berapa?"

"Jam sebelasan, Bu. Waktu dia bilang mau cari Ibu. Dia mau makan kue."

Sheina menarik napas cepat. Perasaan bersalah muncul begitu saja. Anak itu mencarinya dan sekarang menghilang.

Di tengah keributan yang mulai membesar, Merisa muncul dari balik tenda, membawa map.

"Boby?" katanya sambil memasang ekspresi terkejut. "Itu yang gemuk, ya? Murid kamu, Shein?"

Sheina mengangguk.

Merisa menutup mulut dengan tangan, pura-pura kaget. "Tadi dia nanya-nanya kamu sama aku. Aku bilang kamu lagi sibuk di belakang."

Sheina menatapnya. Tak ada ekspresi di wajah Merisa selain ‘terkejut’ yang terlalu rapi. Tapi ini bukan saatnya mencurigai siapa pun.

Fahri, yang sedang menggulung spanduk, datang setelah melihat keributan.

"Ada apa?"

"Boby hilang," jawab salah satu guru cepat.

Fahri langsung sigap. Ia berdiri lebih tegak dan memutar kepala ke segala arah. “Coba cari ke arah parkiran, ke sisi lapangan juga. Siapa tahu dia jalan ke luar pagar.”

Belum sempat langkah Fahri benar-benar diambil, sebuah kalimat dari ibu Boby meluncur kencang, menampar udara yang sudah cukup tegang.

“Jangan-jangan Boby diculik.” Suara itu nyaring. Serak. Panik. Putus asa.

Ibu Boby menangis kencang, tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa. Matanya liar menyapu kerumunan, seolah berharap Boby tiba-tiba muncul dari antara orang-orang. Tapi tidak. Anak itu tetap tak terlihat.

Sheina menenangkan Seta yang masih menangis di sampingnya, tapi matanya terus mengikuti gerakan orang-orang. Panik mulai merambat pelan.

Namun di antara semua yang ada di sana, hanya satu orang yang berdiri diam tanpa suara: Davison.

Kalimat “jangan-jangan diculik” seakan membuka pintu lama yang selama ini ia tutup rapat.

Telinganya mulai berdengung. Bukan karena keributan di sekeliling, tapi karena sesuatu dari dalam dirinya sendiri. Seperti mesin tua yang tiba-tiba menyala tanpa kendali.

Perlahan suara riuh dalam telinga davisom mulai memudar.

Langkah kaki orang. Tangis ibu Boby. Suara Seta. Teriakan panik. Semua meredup, terseret ke kejauhan.

Yang tersisa hanya kenangan.

Bayangan langit senja berwarna jingga pucat.

Suara sirine dari kejauhan.

Lalu seseorang berteriak, “Dev! Adik kamu tadi di mana?!”

Davison melihat dirinya—remaja belasan tahun, berseragam lusuh, berdiri kaku di pinggir jalan. Tangan dan sepatunya berdebu. Suara ambulans menggema di latar.

Lalu wajah kecil yang tak bisa ia gapai lagi.

Bocah yang senyumnya selalu lari-lari di halaman rumah.

Suara tawa yang tak pernah datang kembali.

Jeritan ibunya.

Tangis neneknya di ruang tunggu polisi.

“Maaf, kita terlambat.”

Davison menggertakkan rahangnya. Bahunya menegang. Dunia masih membisu, padahal semua orang di sekelilingnya bergerak.

Tubuhnya mulai bergetar.

Davison berusaha melangkah menjauh dari kerumunan. Tapi tubuhnya masih gemetar. Tangannya berkeringat, napasnya berat. Setiap langkah seperti menarik beban berton-ton yang tertambat di dadanya.

Ia tidak sanggup ikut panik bersama yang lain. Tidak saat tubuhnya sendiri menolak stabil. Tidak saat kepalanya masih dipenuhi suara-suara dari masa lalu.

Ia menyelinap ke sisi samping gedung kecil yang ada di dekat lapangan, tempat yang cukup sepi, tersembunyi dari keramaian. Di sana, suara riuh hanya terdengar samar. Tak ada yang memperhatikan. Semua sibuk mencari Boby.

Akhirnya ia berjongkok pelan, membiarkan punggungnya bersandar ke dinding yang dingin. Kepalanya tertunduk, dan tangannya mencengkeram lutut. Seluruh tubuhnya bergetar halus, tapi jelas. Napasnya pendek dan tak beraturan. Ia menutup wajah dengan satu tangan.

Jangan sampai ada yang lihat, jangan sampai ada yang tahu.

Itu yang ia bisikkan dalam hati. Ia tak mau membuka luka itu di hadapan siapa pun.

Tapi dari balik bayangan pagar tenda, Sheina melihatnya.

Awalnya ia hanya ingin memastikan Davison ikut membantu pencarian. Tapi saat melihat sosok pria itu berjalan menjauh dengan langkah goyah, ia langsung tahu, ada sesuatu yang salah.

Sheina mengikuti pelan, tanpa bersuara. Dan saat ia menemukan Davison berjongkok di tempat sepi, tubuh gemetar dan wajah tertutup tangan, dadanya ikut sesak.

Ia tak pernah melihat sisi ini dari Davison sebelumnya.

Sheina yang memperhatikan langkah Davison sejak tadi, mengikuti diam-diam, lalu berhenti tepat di belakangnya. Ia tak bicara. Hanya berdiri sebentar, membiarkan keheningan memberi ruang.

Lalu dengan pelan, ia berjongkok di sebelah Davison.

Tangannya terulur, menepuk lembut bahu pria itu. Bukan menekan, bukan menyuruh, hanya menyentuh dengan hati-hati. Dengan niat.

“Gapapa.”

Suara Sheina pelan. Nyaris seperti bisikan. Tapi kalimat itu mengisi ruang di antara mereka berdua. Mengisi kekosongan yang menganga.

“Gapapa.”

Davison masih tak menoleh. Tapi tubuhnya perlahan mulai tenang. Gemetar di pundaknya mulai mengecil, walau belum hilang.

“Gapapa.”

Sheina terus mengulangnya. Pelan. Lembut. Seperti mantra. Seperti doa. Seolah dengan mengucapkannya cukup banyak, sesak itu bisa pergi. Luka itu bisa mengecil.

Tak ada pertanyaan. Tak ada paksaan. Hanya penerimaan. Dan suara pelan yang terus menguatkan.

“Gapapa, Pak Dev.”

Dan dalam diamnya, Davison tahu ini bukan kalimat untuk menyuruhnya berhenti merasa. Tapi kalimat yang mengizinkannya untuk merasa. Tanpa takut, tanpa malu.

Gapapa untuk gemetar.

Gapapa untuk sesak.

Gapapa untuk mengingat.

Untuk pertama kalinya sejak lama, Davison tidak merasa sendirian dalam kenangannya sendiri.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!