Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang peninggalan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tnggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artnya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tesentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk tegas. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengumuman
Sore itu, aroma tanah basah menyeruak di udara, menyatu dengan dinginnya udara kota. Alana masih duduk di atas kardus bekas, mantel lusuhnya tidak cukup untuk menghalau dingin dan gerimis yang membasahi ujung rambutnya. Sekilas matanya menangkap segepok uang yang tiba-tiba dilempar ke hadapannya. Butuh beberapa detik untuk memastikan bahwa itu nyata—bukan halusinasi karena kelaparan. Matanya terbelalak.
“Apa…?”pekik Alana.
Lalu ia mendongak. Di hadapannya berdiri seorang pria jangkung dengan jas hujan hitam panjang dan ponsel di tangan. Pria itu baru saja memotretnya tanpa izin.
"Hei kau! Apa yang kau lakukan? Kau memotret ku ? Berikan padaku!" bentak Alana seraya berdiri, tubuhnya sedikit gemetar antara marah dan kedinginan.
Namun pria itu tampak tenang. Ia menyimpan ponselnya ke dalam saku jaket tebalnya dan menatap Alana dengan sorot mata yang sulit ditebak—antara iba dan ketertarikan.
“Kau pasti membutuhkan uang, bukan?” ucapnya datar.
“Jadi kau melempar uang untuk bersenang-senang? Kau pikir hidupku ini hiburan buat orang kaya sepertimu?” ucap Alana,tangannya mengepal.
Pria itu tidak membalas langsung. Ia justru menunduk sedikit, lalu duduk di bangku taman yang berada di dekat situ, menatap Alana dengan lebih serius.
"Itu semua untukmu jika kau bisa membantuku," katanya sambil menunjuk uang di depan kaki Alana.
“Membantu? Membantu apa? Kau kira aku ini penipu jalanan yang bisa disuruh macam-macam demi uang?” ucap Alana matanya menyipit curiga.
"Aku ingin kau menyamar untuk menjadi kekasih seseorang hanya untuk sementara. Dan aku akan memberikan mu lebih dari itu." ucap Brandon.
"Menyamar? Menjadi kekasih? Apa kau sudah gila?." pekik Alana.
"Jacob Manner " ucap Brandon seketika.
Alana terhenyak,mata melebar. Ia sering mendengar nama itu. Pemilik perusahaan Manner Corporation. Sekaligus pengusaha muda yang sangat berpengaruh di dunia pebisnis. Alana menelan ludah. Nama itu seperti guntur di langit sore yang kelabu—menggetarkan, mengejutkan, dan menyisakan rasa tidak percaya.
“Jacob Manner ?” ulangnya lirih, nyaris berbisik.
"Yang... muncul di TV setiap minggu itu? Yang katanya dingin dan tak tersentuh?” lirihnya lagi.
“Ya. Dan dia membutuhkan seseorang untuk... menjadi kekasih pura-pura, dalam waktu yang sangat terbatas. Hanya untuk beberapa minggu ke depan.” ucap Brandon,dengan sorot mata menusuk.
Alana tertawa pendek—tawa getir yang mengandung lebih banyak luka daripada kebahagiaan.
“Kau bercanda. Kenapa pria seperti dia butuh pura-pura pacaran? Dia bisa memilih siapa pun dari ratusan wanita cantik yang mengantre hanya untuk sekadar disentuh tangannya.” ucapnya.
“Itulah masalahnya,” Brandon menyela, suaranya rendah tapi tegas.
“Wanita-wanita itu... justru tidak bisa dipercaya. Dia butuh seseorang yang tak punya ambisi, tak punya keterikatan pada dunia para sosialita. Dia butuh seseorang seperti... kau.” jelas Brandon.
“Seseorang seperti aku? Maksudmu, orang buangan yang hidup dari sisa makanan di tempat sampah?” Alana mengernyit,merasa terhina dan bingung dalam waktu bersamaan.
“Seseorang yang tidak akan mencintainya.” ucap Brandon,menatapnya lekat-lekat.
Alana terdiam. Ucapan itu seperti pisau yang mengiris sesuatu dalam dirinya—perasaan, harga diri, atau mungkin harapan yang sudah lama mati.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” tanyanya dengan suara lebih pelan, tapi tetap tajam.
Brandon berdiri perlahan. Ia mengambil kartu nama dari saku dalam jas hujannya dan menyodorkannya pada Alana. Di sana tertulis jelas: Brandon Hale – Asisten Pribadi Manner Corporation.
“Kau tidak perlu percaya. Tapi kau bisa datang ke alamat itu besok pagi jam sembilan, kalau kau butuh perubahan dalam hidupmu.”
Ia kemudian menunduk sekali, mengambil payungnya, dan berjalan menjauh, meninggalkan Alana dengan segepok uang, setumpuk pertanyaan, dan dada yang bergemuruh hebat dalam dinginnya sore.
Alana menatap uang itu sekali lagi, lalu memandang ke langit yang mulai menggelap.
“Jacob Manner ... pria kaya dan dingin itu... ingin aku berpura-pura menjadi kekasihnya?”
Ia masih berdiri mematung ketika gerimis berubah menjadi hujan deras.Alana akhirnya terduduk kembali di atas kardus basah itu, namun pikirannya tak lagi di sana. Dunia yang sempit dan dingin tempat ia bertahan hidup selama ini tiba-tiba terasa seperti terbelah oleh kemungkinan baru—peluang yang nyaris tak masuk akal.
Hujan semakin deras, dan segepok uang itu perlahan mulai basah. Alana cepat-cepat meraihnya dan menyelipkannya ke dalam kantong mantel lusuhnya. Ia memandangi kartu nama Brandon yang kini basah di tangannya, huruf-huruf tinta mengilap terkena cahaya dari lampu jalan.
"Aku pasti sudah gila," gumamnya lirih, menatap kosong ke kejauhan.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak tidur karena dingin atau lapar—melainkan karena pikiran yang tak henti berputar tentang pria bernama Jacob Manner .
Keesokan harinya, pukul 08.58. Alana berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit berlapis kaca biru, kontras sekali dengan penampilannya yang masih seadanya—mantel bekas, celana lusuh, dan rambut yang baru sempat ia sisir dengan jari. Ia nyaris batal datang lima kali sepanjang perjalanan. Tapi rasa penasaran dan kebutuhan yang mendesak membuatnya bertahan. Resepsionis di lobi memandangnya dari atas ke bawah.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucapnya.
Alana mengangkat dagu, berusaha terlihat lebih percaya diri dari yang ia rasakan.
“Saya... saya ada janji dengan Brandon Hale.” sahutnya singkat.
Wanita itu sempat ragu, lalu mengecek daftar tamu dan menelepon ke atas. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum, meski sedikit kaku.
“Silakan naik ke lantai 45. Brandon sudah menunggu Anda.”
Alana menaiki lift dengan jantung berdegup kencang. Ia merasa seperti sedang melangkah ke dunia lain—dunia yang selama ini hanya bisa ia lihat dari balik jendela restoran cepat saji tempat ia menghangatkan badan.
Saat pintu lift terbuka, seorang pria berjas dengan wajah tegas menyambutnya. Brandon.
“Akhirnya. Kau tepat waktu. Bagus.”katanya sambil mengangguk.
“Aku hanya datang untuk dengar penjelasanmu. Bukan berarti aku setuju dengan tawaran gila itu.” Alana menelan ludah.
“Dan Jacob juga hanya ingin mengenalmu dulu. Tidak ada kontrak hari ini. Hanya pertemuan.” Brandon tersenyum samar.
Alana sempat ingin berbalik dan pergi. Tapi rasa penasaran—dan mungkin sedikit keberanian—membuatnya melangkah mengikuti Brandon ke sebuah ruang pertemuan besar yang temaram. Di dalamnya, berdiri seorang pria jangkung dengan setelan abu-abu gelap dan mata sedingin baja.
Matanya bertemu mata Alana. Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan hangat. Hanya tatapan tajam seolah ia sedang menilai sesuatu yang sangat penting. Dan di sanalah mereka—si gadis tunawisma dan si pria paling berkuasa di kota ini—berdiri berhadapan untuk pertama kalinya. Diam. Tegang. Dan memulai takdir yang tak akan bisa mereka hindari.
Ayo mampir ya!! judul baruku yang baru saja aku rilis. semoga suka.
Adrian junior sudah otw blm yaaa 🤭
Semoga tuan Adrian, vio ,, Eva dan mama Helena akan baik2 saja dan selamat dari niat jahat papa Ramon
Vio,, kamu harus percaya sama tuan Adrian,, Krn aq juga bisa merasakan ketulusan cinta tuan Adrian utk mu....
Vio..., kamu skrg harus lebih hati-hati dan waspada,, jangan ceroboh yaaa
Qta tunggu kelanjutan nya ya Kaka othor
Tolong jagain dan sayangi vio dengan tulus,, ok. Aq merasa ad sesuatu yang kau sembunyikan tentang vio, tuan Adrian. Sesuatu yg baik,, aq rasa begitu....
Dia takut bukan karna takut kehilangan cintanya tuan Adrian,, tapi takut kehilangan hartanya tuan Adrian.