Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA21
Dua hari berlalu.
Maya akhirnya keluar dari ruang UGD. Dokter berhasil menetralisir kerja obat perangsang yang sempat menyerang jantungnya. Zat berbahaya perlahan dikeluarkan melalui urine. Namun, Maya masih belum sadar.
Sepulang dari kantor pukul enam sore, Alan tak pulang ke apartemennya. Ia memilih berjaga di rumah sakit. Alan menempatkan Maya di kamar Presidential Suite, demi kenyamanan dan perawatan terbaik.
Alan duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Maya yang masih dingin. Harapannya hanya satu: wanita itu membuka mata dan kembali padanya.
Di tempat lain.
Shela gelisah di sel tahanan. Ia berusaha mencari jalan keluar, mencari celah, mencari simpati.
“Kakak Key... bukankah dulu kamu setuju aku jadi istri Alan dan menyingkirkan Maya? Tolong keluar kan aku dari penjara ini… tolong aku!” jeritnya histeris. Tubuhnya gemetar.
Key hanya diam. Wajahnya menunjukkan rasa muak.
“Dia sangat berisik. Habisi saja,” perintah Key pada ajudan setianya.
“Baik, Nona.”
---
Rumah Sakit.
Key mengunjungi Alan. Dari ambang pintu, ia melihat pria itu sedang duduk fokus menggenggam tangan Maya, menciumi punggung tangannya dengan penuh kasih.
Langkah Key terdengar. Alan menoleh dan tersenyum tipis melihat saudara perempuannya datang.
“Dia belum sadar. Biar aku di sini, kau butuh istirahat,” ujar Key sambil duduk santai di sofa.
“Tidak. Justru aku menunggu detik itu.”
“Apa kau masih ingin bersama Maya, tapi takut menikahinya?” sindir Key halus.
Alan hanya menarik napas berat.
“Baiklah! Aku sudah mengaturnya. Kau bisa bersama Maya dan aku patikan keluarganya tidak akan mengganggu hubungan kalian.”
“Terima kasih, Key.”
Saat mereka berbincang, jari Maya bergerak. Perlahan matanya terbuka. Alan langsung mendekati cepat, wajahnya penuh senyum dan harapan.
“Maya…” bisik Alan, mengelus lembut dahinya. “Aku percaya kau akan kembali.”
“Alan… aku di mana?” suara Maya lemah. Wajahnya masih pucat.
“Kau bersamaku. Dan kau baik-baik saja.”
“Hai, saya Key… saudara perempuan Alan,” sapa manis Key.
“Hai juga…” jawab Maya pelan.
Alan tersenyum, masih menggenggam tangan Maya erat. Tatapan mereka saling terikat dan menguatkan.
Key mengerti dengan situasi itu, ia meraih cepat tasnya. “Sepertinya aku harus kembali bekerja. Sampai jumpa, Maya.”
“Terima kasih sudah menjenguk,” ucap lemah Maya.
“Bye,” ujar Key sambil melontarkan senyum manis.
Saat pintu tertutup, suasana menjadi tenang.
“Kau tak tahu betapa kacaunya aku saat tahu keadaanmu! Kenapa kau masih percaya Shela? Dia bukan sahabat, tapi iblis!” kemarahan Alan nyaris meledak, namun suara lembut Maya menenangkannya.
“Terima kasih sudah menolongku, Alan… Terima kasih telah berkorban sejauh ini,” ucap Maya, matanya berkaca-kaca.
Alan terdiam. Perkataan sederhana Maya selalu menyentuh hatinya.
“Aku yang salah, terlalu percaya pada Shela,” ucap Maya menunduk.
Alan tersenyum geli, menaruh kepalanya di pangkuan Maya. “Bukan Doraemon yang salah!” sahutnya dengan suara kartun.
Maya tertawa kecil. Ia memang sering memanggil Alan “Doraemon” karena lelaki itu seperti punya kantong ajaib, selalu punya cara untuk mewujudkan impiannya.
Ia menampar manja pipi Alan. Keduanya tertawa bahagia, kekanak-kanakan, namun penuh cinta.
---
Di balik pintu, Key belum sepenuhnya pergi. Ia mengamati dengan seksama.
“Sepertinya Alan tak main-main,” gumamnya bergerak meninggalkan rumah sakit.
---
Beberapa menit kemudian, Alan menunjukkan boneka Doraemon besar di sofa.
“Lucunya…” Maya sampai melongo.
Alan duduk di samping boneka itu dan menirukan gaya Doraemon. “Doraemon atau Alan?” tanyanya kocak.
“Doraemon!” Maya menyipitkan mata, geli.
“Alan itu enggak gemuk, nggak enak dipeluk. Aku pilih Doraemon.”
"Ok! Tunggu sebentar!"
Alan bangkit menuju kamar mandi. Saat keluar, ia mengenakan kostum badut Doraemon!
“Sekarang pilih mana?” tanyanya sambil berjoget konyol.
Maya tertawa keras, seolah mimpi buruknya sirna seketika.
“Alan… gilanya jangan kebangetan!” kata Maya sambil terus tertawa.
Alan tidak perduli, ia terus berjoget konyol.
“Alan! Jacob datang!” teriak Maya tiba-tiba.
Refleks, Alan panik dan buru-buru melepas kostum badutnya.
“Hehe!” Maya tertawa geli melihat ekspresi Alan tertipu.
---
Alan menghapus keringat di dahinya. Maya menatapnya kagum.
“Kau menyiapkan semua ini untukku?”
“Ya… demi Nobita, sahabat sejati,” jawab Alan sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian, dokter dan suster masuk memeriksa kondisi Maya.
“Selamat malam, Nona Maya, Tuan Alan,” sapa mereka ramah.
Mereka bersuka cita melihat Maya telah siuman. Dokter menyatakan dua hari lagi Maya boleh pulang.
Setelah pemeriksaan selesai, seorang suster datang menghampiri.
“Nona Maya, silakan ke kamar kecil dulu, ya,” ucapnya lembut, lalu menuntun Maya perlahan untuk buang air kecil.
Tak lama, suster itu kembali dengan nampan berisi makan malam dan obat-obatan. Namun sebelum ia sempat mendekatkan piring, Alan sudah berdiri dan mengambil alih.
“Biar saya saja yang melakukannya,” ucap Alan mantap.
Suster itu saling pandang dengan dokter, lalu tersenyum tipis sebelum meninggalkan ruangan. Hanya tinggal mereka berdua. Dua insan yang sedang merangkai kembali cinta mereka dari reruntuhan kepercayaan, luka, dan pengorbanan.
Hening sejenak menyelimuti ruangan. Maya hanya menatap diam saat Alan duduk di samping tempat tidurnya, membuka tutup piring, dan mulai menyiapkan sendok pertama.
“Aku bisa makan sendiri, Alan,” protes Maya lirih sambil berusaha mengambil sendok dari tangannya.
Tapi Alan tetap tenang, tak menggubris perlawanan halus itu. Dengan penuh perhatian, ia mengangkat suapan pertama ke arah Maya.
“Setidaknya malam ini... izinkan aku merawat mu,” bisiknya dingin menatap Maya.
Mata mereka bertemu. Tak ada kata lagi yang perlu diucap. Dalam diam itu, tumbuh kehangatan baru pelan-pelan, tapi pasti.
“Kau pasti capek, Alan?” tanya Maya pelan, menatap wajah pria itu yang terlihat lelah namun tetap setia di sisinya.
“Enggak,” jawab Alan cepat, menggeleng sambil tersenyum tipis. Tangannya tetap menyuapkan sendok ke mulut Maya dengan penuh kesabaran.
Beberapa suap kemudian, Maya meletakkan sendok di samping piring. “Sudah,” ucapnya pelan, lalu meneguk segelas air putih yang disiapkan Alan.
Alan hanya menatap, menanti kata berikutnya.
“Alan…” Maya menarik napas dalam-dalam. “Aku mau pulang.”
“Pulang ke apartemen?” tanya Alan cepat, nadanya penuh harap.
Maya menggeleng lemah. “Bukan. Aku ingin pulang ke desa. Tinggal di sana… selamanya. Aku nggak ingin kembali ke Jakarta.”
“Alan… menikahlah dengan wanita terbaik. Kau pantas mendapatkan keluarga yang utuh, anak-anak yang bisa kau gendong setiap pagi, dan istri yang bisa mendampingi mu tanpa beban masa lalu.”
Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Alan terdiam. Matanya menatap Maya dalam-dalam, berusaha membaca maksud di balik kata-kata itu.
Hening menggantung beberapa detik. Dada Alan terasa sesak. Ia bingung harus berkata apa, bagaimana meyakinkan Maya… bahwa ia masih ingin mereka memperjuangkan cinta ini bersama.
“Maya…” Suaranya nyaris patah. “Apa… kita tidak bisa lagi mengulangi kisah cinta seperti dulu?”
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga