Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
Interior Kantor Pribadi Alaska – Malam itu, 03:05 AM
Pintu terbuka keras.
Alaska masuk dengan langkah cepat dan dingin. Amar dan Ali yang duduk di depan komputer langsung berdiri tegak.
“Tuan… kami masih belum—”
“Blokir semua penerbangan ke luar negeri. Seluruh bandara. Kanada, AS, Eropa, Asia Tenggara. Semuanya.”
Suara Alaska tegas, tajam, dan penuh ancaman.
Amar menelan ludah. “T-tapi tuan… untuk memblokir semuanya, kami butuh protokol dari pihak keamanan udara, sistem pengawasan perbatasan, dan—”
“Lakukan, Amar. Panggil semua koneksi kita. Gunakan nama Mahendra. Kalau mereka ragu, berikan perintah langsung dari level federal. Aku tidak peduli bagaimana caranya.”
Ali menyahut, tangannya gemetar saat mencoba menyambungkan koneksi ke jaringan penerbangan nasional.
“Tuan, saya sudah hubungi Toronto, Montreal, dan Ottawa… tapi sistem mereka lambat merespons. Mereka minta surat resmi atau bukti darurat.”
Alaska menoleh pelan ke arah Ali, matanya dingin.
“Kau mau bukti darurat, Ali? Aku akan siapkan mayat jika mereka butuh alasan.”
Ia membanting map tebal ke atas meja. “Buka semua data penerbangan pribadi. Siapa pun yang terbang dalam 6 jam terakhir. Cocokkan wajah Sancha dengan CCTV bandara.”
Amar masih mengetik cepat. “Tuan, pesawat charter swasta lebih sulit dilacak. Tapi… saya bisa paksa satu operator buka rekamannya.”
“Buka. Dan jika satu nama muncul sebagai penyamar atau pencatat palsu—bunuh dia.”
Alaska mendekat, berbisik tajam. “Hari ini bukan tentang sistem. Ini tentang siapa yang lebih cepat: aku… atau dia.”
Suasana tegang.
Ali saling pandang dengan Amar, keduanya sadar mereka tidak bisa gagal malam ini.
Amar: “Tuan, jika benar Sancha dibantu kabur… Meka mungkin jadi pintu utama kita.”
Alaska: “Maka cari dia. Bongkar semua apartemen, rumah, properti, bahkan kontrakan murah yang pernah dikunjungi Meka.”
Ponsel Amar bergetar. “Tuan! Muncul data: satu pesawat kecil dari bandara luar kota lepas landas dua jam lalu, tujuan tidak jelas, pilot tidak resmi…”
Alaska langsung menoleh, dingin. “Cari. Dan beri tahu aku kalau kau temukan siapa pun di dalamnya. Hidup… atau mati.”
Pagi Hari – Di Luar Klinik Kesehatan Kecil di Pinggiran Kota
Sancha keluar dari ruang periksa dengan wajah pucat namun tetap mencoba tersenyum. Meka menemaninya, tangan gadis itu menggenggam tas kecil penuh obat kehamilan.
Sancha: “Dokter bilang semuanya masih normal. Tapi aku harus tetap kontrol dua minggu sekali.”
Meka: “Syukurlah. Sekarang kita langsung ke bandara, ya? Aku udah pesan taksi. Kita harus keluar dari Kanada sebelum semua makin rumit.”
Sancha mengangguk pelan, napasnya berat.
⸻
30 Menit Kemudian – Jalan Raya Menuju Bandara
Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat… namun tak lama, lalu lintas mulai padat.
Sopir: “Hmm… ada yang aneh… ini biasanya lancar.”
Tak lama kemudian, tampak puluhan kendaraan polisi dan barikade logam dipasang di sepanjang jalur menuju bandara. Lampu sirene menyala. Petugas kepolisian bersenjata lengkap berjaga di setiap simpang jalan. Drone kecil juga tampak beterbangan di atas langit.
Meka (terkejut): “Astaga… ini apa? Operasi besar?”
Sancha mulai panik. Tangannya mencengkeram lengan Meka.
Sancha: “Meka… ini bukan operasi biasa. Ini… ini karena aku, ya?”
Sopir menghentikan mobil.
Sopir: “Maaf, Mbak… saya nggak bisa terus. Semua arah ke bandara ditutup. Mereka bahkan periksa satu-satu mobil penumpang…”
Sancha melihat ke arah petugas. Beberapa dari mereka membawa foto di tangan—wajahnya.
Meka (menggertakkan gigi): “Dia memblokir semua jalan keluar… ini kerjaannya, Sancha. Ini Alaska.”
Sancha menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.
Sancha: “Aku nggak bisa lari dari dia, ya…?”
Meka (menatap tajam ke depan): “Kita belum kalah. Tapi kita harus cari cara lain. Kita nggak bisa lewat jalur resmi.”
Sancha: “Meka… kalau aku harus kembali, setidaknya biarkan aku mengucapkan selamat tinggal. Aku… aku nggak bisa hidup dalam sangkar itu selamanya.”
Meka menggenggam tangan Sancha erat.
Meka: “Kalau kita belum bisa keluar lewat udara… kita cari jalur darat. Tapi kita harus hati-hati. Karena saat ini… seluruh negeri sedang memburumu, Sanc.”
Di Pos Kontrol Wilayah – Bersama Arvino, Adik Angkat Alaska
Seseorang menyerahkan tablet kepada pria bertubuh tinggi dan tajam matanya. Arvino, adik angkat Alaska, sedang memimpin pengepungan wilayah.
Anak Buah: “Tuan Arvino, target terakhir terlihat di kamera CCTV klinik jam 08.23 pagi. Mereka naik sedan abu-abu arah timur.”
Arvino: “Kunci semua akses udara, darat, dan laut. Jangan beri mereka celah.”
Anak Buah: “Tuan, Alaska juga menghubungi dan minta mempercepat pencarian.”
Arvino tersenyum kecil, lalu menoleh ke timnya.
Arvino: “Jadi… wanita ini benar-benar membuat kakakku kehilangan kendali ya…?”
Anak Buah: “Apa kita perlu tahu siapa wanita ini, Tuan Arvino?”
Arvino (datar): “Tak penting siapa dia. Yang penting dia… adalah istri dari pria yang tak pernah kalah.”
⸻
Sementara Itu – Sancha dan Meka Kabur ke Pedesaan
Melihat semua akses tertutup dan tentara tersebar di mana-mana, Meka mengambil jalan tikus ke perkampungan. Mobil ditinggalkan, mereka berjalan kaki melewati ladang dan hutan kecil.
Keringat dingin menetes dari dahi Sancha. Kakinya terluka karena bebatuan tajam. Rambutnya diikat cepat ke atas, dan hanya memakai piyama tipis yang dulu pernah dibelikan Alaska.
Mereka lalu mengetuk rumah tua milik seorang warga pedesaan.
Sancha (terengah): “Tolong… kami hanya butuh tempat berteduh sebentar saja.”
⸻
Transisi ke Markas Arvino
Arvino (menatap layar CCTV): “Langit sudah kita kuasai. Tanah sudah terkunci. Dan laut sedang dijaga oleh anak buahku.”
Arvino (menghubungi Alaska):” Kakak, kabar baik. Kami hampir dapatkan mereka.”
Alaska (di seberang telepon):”Hampir… tidak cukup, Arvino. Tangkap dia. Bawa dia pulang. Hidup-hidup.”
Langit semakin cerah, tapi jantung Sancha berdetak kencang seperti ingin meledak. Ia dan Meka baru saja melompat pagar kayu tua dan bersembunyi di balik semak. Nafas mereka tersengal.
Meka (berbisik): “Sedikit lagi, Sancha. Kita bisa sampai ke penginapan itu. Di sana aman…”
Namun suara gesekan sepatu dan napas berat dari kejauhan menyergap telinga mereka. Sancha menoleh… dan melihat Arvino berdiri gagah, dengan pistol terarah.
Sancha (gemetar): “Tidak… tidak…”
Meka (tegas, membentangkan tangan di depan Sancha): “Jangan sentuh dia,…!”
Tanpa aba-aba, suara tembakan meledak—
DOR!
Meka: “ARGHHHH!!”
Peluru menembus betis kanan Meka. Tubuhnya langsung ambruk ke tanah. Darah mengalir deras, membasahi rerumputan. Sancha menjerit histeris, tubuhnya jatuh berlutut di samping Meka.
Sancha (menangis): “MEKAA!!! Tidak! Tolong… jangan lakukan ini… tolong…!”
Air mata Sancha mengalir deras. Tangannya bergetar saat mencoba menahan darah di kaki sahabatnya.
Sancha: “Semua ini salahku… ini semua salahku…!”teriak sancha mencoba menghentikan darah di kaki Meka.
Arvino mendekat perlahan, pistolnya masih tergenggam kuat. Wajahnya dingin, tak ada sedikit pun rasa iba.
Arvino: “Dia bisa mati kalau kita tidak segera bawa ke mansion. Atau… kau mau kehilangan satu-satunya orang yang masih berpihak padamu, Sancha?”
Sancha menggigil. Ia menatap wajah pucat Meka yang menggertakkan gigi menahan sakit.
Sancha (lemah): “Tolong… aku ikut… asal tolong bantu Meka…”
Arvino mengangguk singkat, lalu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk membawa tandu.
Arvino (datar): “Kau buat kakakku gila, Sancha. Kau pikir bisa lari begitu saja? Dunia terlalu sempit untuk itu.”
Sancha hanya tertunduk, menggenggam tangan Meka yang semakin lemah.
⸻
Transisi – Di Mobil Hitam
Sancha duduk diam di dalam mobil dengan mata sembab, menatap tangan berdarahnya sendiri. Di sebelah, Meka dalam kondisi setengah sadar, mendapat perawatan dari paramedis.
Arvino duduk di kursi depan, menatap lurus ke jalanan, lalu berbicara lewat ponsel.
Arvino: “Kakak, mereka sudah di tangan kita. Siapkan tim medis di mansion. Satu wanita terluka, dan satu lagi… sedang sangat rapuh.”
arghhh aku bisa gila melakukan tugas kecil ini,baru kali ini kakak ku memerintah tugas sampah ini…”batin Arvino melirik kedua wanita yang tengah meratapi nasib mereka,Arvino hanya bisa menggeleng.
Mansion Alaska — Pukul 10.40 pagi
Langit di luar mendung kelabu. Gerimis kecil membasahi pekarangan luas. Tiga mobil hitam berhenti di halaman mansion megah milik Alaska Alchui Mahendra. Pintu utama terbuka otomatis. Beberapa pengawal berjubah hitam berbaris di sisi kiri dan kanan pintu.
Semua mengenakan pakaian serba hitam.
Itu bukan tanpa alasan.
Dalam mansion Alaska, hitam adalah warna kematian.
Dan jika hitam dikenakan seluruh penghuni mansion, berarti akan ada kematian di dalamnya.
⸻
Tiba di dalam mansion
Sancha berjalan tertunduk. Langkahnya berat. Air matanya jatuh nyaris tanpa suara, dan pakaiannya yang sederhana tampak kontras dengan kemewahan ruangan. Rambutnya kusut, tubuhnya lelah, jiwanya rapuh.
Tiba-tiba “Bawa dia ke ruangan saya.”
Suara Alaska tajam, dingin, dan memerintah.
Dua pengawal perempuan langsung menggandeng Sancha. Ia menoleh dengan panik ke arah Meka, yang dibopong oleh dua paramedis menuju arah yang berbeda.
Sancha (menangis): “Tolong… izinkan aku ikut… Aku mohon… biarkan aku ikut dengan Meka…”
Alaska melangkah maju. Matanya yang tajam seperti pisau menatap Sancha. Ia mendekat perlahan, lalu berkata dengan suara rendah namun menusuk:
Alaska: “Kau ikut dengan ku…atau kau tidak akan pernah melihat mayatnya lagi.”
Sancha membeku.
Kata itu—mayat—menohok jantungnya. Matanya membesar.
Sancha (terguncang): “Apa maksudmu…? Tidak… dia masih hidup… Meka masih hidup, kan?!”
Alaska tidak menjawab. Ia hanya menatap Sancha tanpa emosi, lalu berbalik dan melangkah menuju lorong utara, mengisyaratkan pengawal untuk mengikutinya bersama Sancha.
Tubuh Sancha lemas.
Ia dipaksa mengikuti, langkahnya menyeret, wajahnya penuh air mata.
Tapi tak satu pun orang di mansion itu yang berani menentang perintah Alaska.
⸻
Lorong Ruangan Pribadi Alaska
Sancha dibawa masuk ke sebuah ruangan gelap dengan aroma kayu tua dan kulit. Alaska berdiri di sana, diam. Ia membelakangi Sancha.
Sancha: “Apa yang akan kau lakukan padaku…? Katakan padaku Meka masih bisa hidup dengan peluru yang menancap di kaki nya…?!”
Alaska tidak segera menjawab.
Hanya suara detak jam dan hujan di luar yang terdengar.
Alaska: “Kau masih berani kabur… bahkan setelah semua yang kuberikan. Aku hanya akan bertanya sekali, Sancha…!”teriak Alaska.
Ia berbalik, wajahnya kini menegang.
Alaska: “Apakah kau ingin menyaksikan kematian nyata di depan matamu, atau kau mau patuh dan melindungi bayi yang kau kandung?”ucap Alaska mendekati dan menyentuh rahang Sancha.
Sancha terisak. Dalam hatinya berkecamuk rasa takut, kemarahan, dan kesedihan yang terlampau dalam.
Sancha menjatuhkan tubuh nya,ia menggabungkan kedua tangan nya..memohon kepada Alaska..
“tu-tuan aku mohon lepaskan Meka,dia sama sekali tidak ada sangkut paut dengan pelarian ku,ini murni dari keinginan ku,aku mohon kalau kau tidak mau tuan,tapi demi anak ini aku mohon lepaskan Meka,jangan biarkan dia mati sia-sia…”curah Sancha menyentuh kaki Alaska dengan isak tangis nya,hanya mereka berdua yang didalam ruangan kerja Alaska.
“kau bahkan mengorbankan anak yang belum lahir kedunia ini…”
“aku…aku janji kali ini aku akan patuh kepada anda tuan,aku tidak akan meminta apapun,aku akan tetap berada di kamar dan aku tidak akan menghubungi siapa-siapa,tapi tolong lepaskan meka,pulangkan dia ke rumah orang tua nya…”
“kau bahkan membuat ku bingung Sancha…”batin Alaska menjauh dari Sancha..
“berhenti memohon seperti itu,kali ini aku maafkan,tapi jika suatu saat terjadi lagi jangan harap Sancha,aku akan membunuh siapa yang membantu mu untuk kabur dari ku saat itu juga…bahkan jika mama ku ikut campur dalam pelarian selanjutnya jangan salahkan aku membunuh mama ku,karena kau berani membawa pewaris ku…”
mata Sancha terbelalak,ia benar-benar takut,tidak ada harapan yang ia inginkan lagi,karena ulahnya semua orang kena,ia bahkan hanya memikirkan dirinya sendiri.
Alaska keluar dari ruangan kerja tersebut dan meminta naif membawa Sancha kembali ke kamar nya,tapi kali ini berbeda,kamar Sancha tepat berada di samping kamar Alaska.
di mana lantai 3 hanya bisa di akses oleh Alaska sendiri,itu di beri pengaman yang kuat,seluruh ruangan tersebut anti peluru,dan setiap ruangan ada sandi yang berbeda.