“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 21
Langit malam menebal kelam. Kabut menggantung rendah, menyelimuti jalan setapak licin yang berkelok menuju bukit tua.
Nyai Lastri duduk kaku di atas punggung kuda, tubuhnya memeluk diri sendiri untuk menahan dingin—wajahnya sembab, tapi sorot matanya menyala dengan amarah. Di belakangnya, Madun menggenggam tali kendali kuda dengan waspada, sesekali pandangannya menyapu ke semak-semak lebat yang seolah menyembunyikan mata-mata tak kasat.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan menegangkan, mereka akhirnya tiba di sebuah pondok reyot beratap ijuk. Asap tipis keluar dari celah-celah dinding bambu yang rapuh. Di balik pintu kayu lapuk, sosok renta menyambut tanpa suara—Mbah Sosro. Mata tuanya tampak memandangi kedatangan mereka seperti sudah tau lebih dulu—bahwa malam ini akan ada tamu penting.
Di dalam rumah yang remang, Mbah Sosro duduk bersila di depan meja kecil dari kayu sengon. Dupa mulai dibakar, daun-daun kering ditabur ke atas bara api, menyebarkan aroma getir dan pedas yang membuat Nyai Lastri sedikit tersedak.
Nyai Lastri membuka suara. “Mbah, mahluk terkutuk itu telah kembali. Salah satu gundik Juragan bersumpah—bahwa dirinya melihat wajah Larasmi ... muncul dalam tubuh Arum.”
Mbah Sosro tidak langsung menjawab. Ia menaburkan serbuk kayu cendana ke bara dupa, menggumamkan pelan mantra-mantra. Udara di dalam pondok mendadak berat. Beberapa menit berlalu dalam diam yang menegangkan. Sampai akhirnya, pria tua itu menghembuskan napas berat.
“Sekarang aku paham,” gumam Mbah Sosro.
“Paham apa, Mbah?” tanya Nyai Lastri gelisah.
“Sekarang aku paham—kenapa waktu aku menerawang keberadaan Arum tempo lalu, malah wajah Larasmi yang muncul di cermin.” Gumam Mbah Sosro sambil menatap asap tipis yang bergoyang.
“Kenapa memangnya, Mbah?” Nyai Lastri meremat tangannya sendiri—jantungnya berdebar-debar.
Mbah Sosro meraih cermin kecil dari balik tikar dan kembali menerawang. Wajahnya perlahan menegang, pupil matanya mengecil. Beberapa detik kemudian, ia menarik napas dalam-dalam, menoleh pada Lastri dan Madun.
“Tak salah lagi. Arum ... telah membebaskan roh terkutuk itu dari penyegelan. Dan kini, dia telah dipilih menjadi wadal oleh roh itu sendiri.”
BRAK!
Nyai Lastri menggebrak meja kecil di hadapannya, hingga dupa nyaris terbalik.
“Itu tidak mungkin, Mbah. Mustahil! Bukankah ... Mbah sendiri yang berkata, hanya seorang perawan bernasib sama—yang bisa membebaskan roh Larasmi? Sedangkan Arum? Dia sudah menjadi gundik Juragan. Sudah ditiduri! Sudah dinodai! Sudah tak lagi suci!”
Madun yang sedari tadi menyimak, tiba-tiba menyela. Wajahnya sedikit pias. “Nyai, apakah Anda ingat—malam disaat kita menyiksanya? Saat saya ingin mencicipi tubuh gundik sialan itu, bukankah dia tengah kedatangan tamu bulanan? Dan ... kita tau betul, Juragan sangat jijik dengan darah—saya yakin, tubuh Arum belum terjamah.”
Nyai Lastri terdiam, rahangnya mengeras. Ia menelan kasar ludahnya.
“Kau benar, Madun. Jadi, dia memang masih suci saat itu!” desisnya, penuh kemarahan. “Sialan. Benar-benar sialan!”
Nyai Lastri menatap Mbah Sosro dengan sorot mata serius dan penuh harap, ia mencengkram ujung selendangnya sambil berucap. “Saya ingin Anda melenyapkan roh sialan itu, Mbah! Berapapun biayanya—akan saya bayar!”
Mbah Sosro menggeleng pelan. “Tidak semudah itu, Lastri. Apalagi ... semua barang-barang peninggalan Larasmi—sudah kau bakar habis—tak bersisa.”
“JADI GIMANA INI, MBAH?!” Nyai Lastri nyaris kehilangan kendali, membentak Mbah Sosro sejadi-jadi.
Mbah Sosro menatap Lastri dan Madun bergantian, lalu melanjutkan dengan suara berat.
“Ada satu cara,” gumamnya.“Jika kalian ingin menghancurkan roh Larasmi sepenuhnya, temukan bokor itu. Bokor yang aku perintahkan untuk dilarung ke Danau Wening Ilang. Di sana, masih tersisa satu benda peninggalan Larasmi, yakni tusuk kondenya. Bawalah benda itu kepadaku. Tapi ingat—”
Mbah Sosro menggantungkan kalimatnya dengan nada mencekam.
“Kalian harus menemukan benda itu sebelum malam bulan penuh. Dendam Larasmi telah menelan korban, kekuatannya perlahan pulih. Dan kalian saat ini ... sedang berada di dalam bahaya,” lanjutnya.
“A-apa yang akan terjadi jika kami tak bisa menemukan bokor itu, Mbah?” jemari Nyai Lastri mulai gemetar.
“Jika kalian tidak dapat menemukan bokor itu sebelum malam bulan penuh, maka ... tak ada lagi yang bisa menolong kalian.”
Nyai Lastri meraup kasar wajahnya, menggigit-gigit ujung kukunya hingga patah dan berdarah. “A-apa, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan saya, Mbah?!”
Belum sempat Mbah Sosro menjawab, ketiganya dikejutkan oleh suara gaduh dari luar pondok.
BRAK!
BRUGH!
Ketiganya serempak menoleh. Mbah Sosro mengangkat tangannya, menyuruh mereka diam. Ia bangkit perlahan, membuka pintu bambu itu dengan suara berderit tajam—
“Siapa di sana?!” Tanyanya dengan suara menggeram.
Merasa ada yang tak beres, Madun pun menyusul ke ambang pintu. Mengedarkan pandangannya ke arah luar—menelisik semak belukar.
Dan di luar sana, di bawah cahaya samar bulan, ada bayangan hitam—berdiri tegak di kejauhan. Tak bersuara, tak bergerak. Dan manik Madun menangkap jelas sosok yang wajahnya ditutupi kain hitam.
“HEY, SIAPA KAU?!” Suara Madun menggema, memecahkan keheningan malam.
Sosok itu menoleh sekilas, dapat ia lihat Madun berlari mendekat.
“Brengsek!” gumam sosok itu—lalu berlari secepat kilat.
Sontak Madun murka, ia mengacungkan telunjuknya dan berteriak. “HEY JANGAN LARI KAU, JINGAAANN!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣