Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Yang Tak Pernah Tidur
Langit di atas desa tampak kelabu, seolah menahan napas sebelum badai besar. Di kejauhan, kilatan petir menyambar sesekali, tak diiringi suara. Hening yang mencekam.
Arman mengemudi menyusuri jalan setapak yang jarang dilewati, menuju ke tempat yang dulu tidak pernah ingin ia datangi lagi: rumah tua milik nenek Melati, tempat semua mimpi buruk bermula. Rumah itu terletak di pinggir hutan, terpencil, dengan atap rusak dan tembok lumutan. Sejak kecil, anak-anak kampung menyebutnya Rumah Tidak Tidur, karena selalu terdengar suara orang berbicara di dalam meski tak pernah ada lampu menyala.
Ia menggenggam potongan rambut Dimas dalam kantong kecil kain putih, lalu melirik tas berisi air doa dan korek api. Lantunan doa terucap lirih dari mulutnya.
"Bismillah. Lindungi aku, ya Allah."
Mobil berhenti di depan pagar kayu lapuk. Arman turun dan mendekat, langkahnya pelan. Suara tanah yang terinjak terdengar seperti desis. Angin berhembus pelan, namun bau darah dan dupa gosong langsung menyergap hidungnya.
Pintu rumah terbuka sendiri.
*********
Di pondok, Lestari sedang memeluk Dara yang baru saja demam tinggi. Dimas duduk di pojok kamar, tak berkata sepatah kata pun. Ia menolak makan, dan bola matanya terus bergerak liar.
Bu Nurul terus membacakan doa, sesekali menatap Dimas dengan cemas. "Waktunya singkat Kalau Arman gagal, anak ini akan diambil sebelum tengah malam."
"Tidak!" Lestari memeluk Dimas erat. "Tdak akan kuizinkan, Nak. Bunda di sini…"
Tapi Dimas hanya memandangnya kosong, lalu tersenyum—senyum yang dingin, tak seperti biasanya. "Bunda... kamu capek ya? Biar aku gantian jaga kak Dara…"
Lestari menggigil. Suara itu bukan suara anaknya. Terlalu dewasa. Terlalu... dingin.
Sementara itu, di rumah tua, Arman melangkah masuk. Setiap dinding dipenuhi simbol aneh, digoreskan dengan darah yang sudah mengering. Di sudut ruangan, altar batu kecil dengan kain merah masih berdiri. Tulisan aksara kuno terukir di sekelilingnya.
Arman membuka tas, menuangkan air doa ke lantai, lalu menyebarkan garam dan daun bidara. Ia menaruh potongan rambut Dimas di atas altar, lalu menyalakan korek api.
Namun, sebelum api menyala, terdengar suara.
"Sudah lama ya, Mas?"
Suara Melati.
Ia berdiri di sudut ruangan, mengenakan kebaya hitam robek-robek, rambut acak-acakan, mata merah menyala.
"Kau kembali ke sini, ke tempat kau buat janji pertama kali. Ingat, Mas? Kau pernah bilang kau akan mencintaiku selamanya…"
Arman menunduk, tidak menjawab. Tangannya gemetar, tapi ia mencoba tenang.
"Sudah selesai, Melati. Kau sudah ambil cukup banyak. Biarkan anakku hidup tenang."
Melati mendekat, langkahnya menyeret. "Aku tak akan ambil anakmu… kalau kau yang tinggal di sini. Jadi bagian dari kami. Kau, aku, dan yang lainnya. Selamanya."
Arman menyalakan korek api dan menatap altar. "Tidak."
Lalu, ia menjatuhkan api ke atas rambut Dimas. Nyala kecil segera menyambar kain dan altar. Asap mengepul, lalu terdengar jeritan—jeritan dari dinding, dari lantai, dari udara. Rumah itu meraung.
Melati menjerit, tubuhnya mencair perlahan. "Mas Arman! Aku cinta kamu!! Kau janji!!" Suaranya berubah jadi suara ribuan, tumpang tindih, mengerikan.
Tapi Arman hanya membaca ayat kursi. Api terus menyala. Rumah mulai bergetar hebat.
Lalu… ledakan cahaya memenuhi ruangan.
Di pondok, Dimas menjerit keras, lalu pingsan. Fara ikut menangis.
Lestari hampir panik, tapi Bu Nurul tersenyum. "Ikatan diputus. Arman berhasil."
Lestari tak tahu harus bersyukur atau khawatir. Ia hanya memeluk anak-anaknya erat, seakan tak mau melepaskan lagi.
Tapi tiba-tiba, angin kencang menerpa pondok dari luar. Seluruh jendela bergetar. Di kejauhan terdengar suara wanita tertawa, diiringi derap kaki kuda.
Bu Sarti berdiri dengan cepat. "Kita belum selesai. Masih ada satu lagi… roh pemanggil pertama. Dan dia tahu kita lemah sekarang."
Arman keluar dari rumah tua yang kini hangus, asap mengepul dari reruntuhan. Namun tubuhnya lemas, tenaga seperti tersedot habis.
Ia sempat tersungkur di tanah, mengerang pelan. Tapi sebelum ia benar-benar jatuh pingsan, seseorang mendekat dari belakang.
Langkah kaki… pelan dan berat. Lalu suara wanita yang sangat tua, namun menggetarkan.
"Aku pikir kau bisa lari dari kami, Nak Arman?"
Ia menoleh. Di depannya berdiri wanita tua berjubah hitam, wajahnya penuh lubang dan darah kering.
"Melati cuma pintu. Aku… penjaganya. Kau telah menyalakan api yang memanggilku. Dan kini, waktunya aku masuk."
Angin malam berubah dingin menggigit, menusuk ke tulang. Arman berdiri terpaku di hadapan perempuan tua berjubah hitam. Wajahnya keriput, penuh goresan, matanya tenggelam dalam rongga gelap seperti dua lubang kematian. Bau busuk menusuk dari tubuhnya, seperti daging yang sudah membusuk bertahun-tahun tapi dipaksa tetap berdiri.
DI pondok, Lestari terus menenangkan anak-anak yang masih ketakutan. Dimas masih terbaring lemas, tapi kini ia tidur tanpa suara. Dara menggenggam tangan ibunya erat-erat.
Bu Nurul duduk bersila, membacakan doa dengan nada berat dan cepat. Setiap kata seperti menjadi benteng yang menyelimuti ruangan.
"Kita harus siap," ucap Bu Sarti. "Apa pun yang terjadi di rumah tua itu, telah membuka sesuatu yang lebih besar. Malam ini belum berakhir."
Lestari mengangguk. Hatinya gelisah. "Aku merasa… ada yang menuju kemari."
*********
"Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai," ucap perempuan itu sambil tertawa perlahan. "Dan kau menanam dosa…"
Arman mencabut botol air doa dari tasnya, memercikkan isinya ke tanah.
"Berani juga kamu," geramnya. "Tapi itu tidak akan bertahan lama."
Arman menatap matanya. "Aku tak akan biarkan kalian menyentuh anakku lagi. Sekalipun aku harus mati di sini."
Perempuan itu tersenyum, mengerikan. "Oh, kau akan mati. Tapi bukan sekarang. Kau akan melihat semuanya hancur terlebih dahulu. Kau akan melihat istrimu mengemis, anak-anakmu menjerit—dan kau tak bisa menyelamatkan mereka."
Kemudian tubuhnya menghilang, berubah menjadi ribuan serangga hitam yang beterbangan ke langit malam, menuju pondok.
Di pondok, suara angin berubah menjadi badai. Jendela berguncang. Bau bangkai menyengat hidung.
Lestari menggenggam tasbih erat. "Bu Sarti…"Sudah dekat. Dia… sudah di sini."
Langit-langit pondok menghitam. Suara sayap serangga memenuhi udara. Tiba-tiba… gelap.
Lampu minyak padam. Hanya doa yang bersinar dalam hati mereka.
Kemudian terdengar suara perempuan tua—, suara yang sama yang didengar Arman tadi.
"Lestari… wanita kuat yang terlalu mencinta. Akan kurobek hatimu satu per satu. Kau akan lihat suamimu mati, anakmu lenyap. Kau akan jadi milikku, seperti Melati. Seperti perempuan-perempuan lain yang pernah dilukai laki-laki."
Sementara itu, Arman bangkit dengan sisa tenaga. Ia menginjak api yang masih menyala kecil, menendang puing dan bangkit. Langkahnya tertatih, tapi wajahnya penuh tekad.
Ia mengeluarkan ponselnya, memaksa baterai terakhir menyala.
Satu panggilan.
"Lestari…"
Sambungan terhubung. Tapi suara dari seberang bukan suara istrinya.
Tapi suara perempuan tua itu.
"Kau terlalu lambat, Arman. Lihat ke langit. Lihat siapa yang menang malam ini."
"Ayaah, "