Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 — Jalan Menuju Retakan
Udara di ruang meditasi batu malam itu seperti mengandung sesuatu yang tak terlihat — berat, lembap, dan sunyi, tapi ada desis halus yang seolah menunggu untuk berbicara. Lilin kecil di depan Shen Wuyan bergoyang, memantulkan cahaya ke dinding yang dingin dan kasar. Dalam kesenyapan itu, waktu terasa tak lagi berjalan.
Ia duduk bersila, punggung tegak, tangan bertaut di pangkuan. Nafasnya teratur, tapi di setiap tarikan napas, ada sesuatu yang menempel — seperti serpihan halus dari dunia lain. Dupa di sudut ruangan terbakar perlahan, mengeluarkan aroma samar kayu cendana dan besi yang lembab.
Cermin batu di hadapannya, biasanya bening dan halus, kini menampilkan pantulan samar yang bergelombang. Setiap kali ia membuka mata, bayangannya tampak sedikit terlambat bergerak, seolah waktu di balik cermin berjalan dengan ritme berbeda.
Ia mengerjap pelan.
Bayangannya tidak.
Cahaya lilin bergetar. Ruangan bergeser sepersekian detik — kecil, tapi cukup untuk membuat detak jantungnya mempercepat irama.
“Meditasi,” bisiknya pada diri sendiri. “Tenangkan Hun. Ikat Po. Jangan biarkan gelombang menggulungmu.”
Namun yang datang bukanlah ketenangan, melainkan gema. Suara samar, seperti napas seseorang dari balik dinding, berbisik:
“Kau tahu apa yang telah terbuka, Shen Wuyan?”
Matanya terbuka spontan, dan untuk sesaat ia melihat sesuatu — sekejap yang terasa seperti seabad. Di permukaan cermin, muncul bayangan seseorang berdiri di tepi sungai. Seorang anak muda, berpakaian compang-camping, menggenggam kalung patah di tangan, air matanya bercampur dengan arus air yang deras.
Itu bukan dirinya. Tapi anehnya, rasa sakit di dada itu terasa nyata, seolah kenangan itu lahir dari jiwanya sendiri.
“Liang Yu…” bisiknya.
Pemandangan itu memudar perlahan, tapi rasa getirnya tertinggal.
Ia menunduk, menatap telapak tangannya yang gemetar. “Aku… melihat sesuatu yang bukan milikku.”
Dalam dirinya, laut kesadaran bergetar. Cahaya perak yang dulu menjadi lambang kestabilannya kini bergurat garis-garis tipis. Setiap garis memancarkan cahaya samar — retakan halus di dalam jiwanya.
Wuyan tahu teori itu.
Setiap kultivator yang gagal menyeimbangkan Hun dan Po akan meninggalkan celah. Celah itu seperti luka spiritual, jalan masuk bagi kekacauan batin. Tapi ini… berbeda. Retakan itu bukan hanya luka. Ia hidup.
Dari celah itu, sesuatu menatap balik.
Ia menutup matanya, mencoba menenangkan diri. “Itu hanya sisa ingatan Liang Yu… tak lebih.” Tapi suara lain di dalam dirinya membalas:
“Apakah kau yakin? Jika hanya sisa, kenapa bisa kau merasakan rasa sakitnya sejelas itu?”
Wuyan mengerang pelan, menekan pelipisnya. Dalam keheningan itu, detak jantungnya menjadi satu-satunya suara. Namun kemudian, dari dalam kesadaran, terdengar gema langkah — pelan, teratur, mendekat.
Langkah itu tidak berasal dari luar.
Ia tahu persis, itu datang dari dalam.
Cermin di hadapannya mulai bergetar, dan dari permukaannya muncul bayangan samar seperti riak air. Garis halus menjalar di tengah cermin, membentuk retakan. Cahaya lilin menembusnya, menciptakan siluet yang tampak seperti urat cahaya di kulit dunia.
“Retakan…” gumamnya. “Sudah sejauh ini?”
Bayangan di cermin menatapnya kembali. Tapi kali ini, ekspresinya berbeda. Matanya tajam, bibirnya sedikit terangkat, seolah tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.
“Siapa kau?” tanya Wuyan perlahan.
Bayangan itu tidak menjawab dengan suara. Namun dari dalam pikirannya, muncul desiran halus, seperti gelombang laut yang membisikkan kata-kata:
“Aku adalah bagian yang kau sembunyikan. Retakan itu bukan kutukan. Itu jalan menuju semua yang kau tolak untuk lihat.”
Ia memejamkan mata rapat. “Tidak. Aku hanya butuh keseimbangan. Aku tak ingin… kehilangan diriku.”
Suara itu tertawa kecil.
“Kau sudah kehilangannya sejak menerima wajah pertama.”
Wuyan menggigit bibir, darah terasa di lidahnya. Dalam hening itu, suara napas sendiri terdengar seperti gemuruh jauh di dalam kepala. Ia mencoba menarik dirinya kembali, tapi setiap tarikan napas justru memperdalam rasa disorientasi.
Cermin di depannya kembali bergoyang. Dari retakan halus itu, cahaya tipis merembes keluar seperti urat nadi bercahaya di batu gelap. Wuyan menatapnya tanpa berani berkedip.
Dalam cahaya itu, ia mulai melihat — bukan sekadar pantulan, tapi lapisan lain dari dirinya sendiri.
Bayangan Liang Yu muncul lagi, kali ini lebih jelas. Tapi di belakang Liang Yu, ada sosok-sosok lain — samar, tak berbentuk sepenuhnya. Ratusan wajah, semuanya menatapnya dari balik retakan itu, sebagian menangis, sebagian tersenyum, sebagian memanggil namanya dengan suara yang tidak manusiawi.
Wuyan menelan ludah, kering. “Aku… bukan kalian.”
Namun retakan itu semakin terbuka. Cahaya berdenyut dari dalamnya seperti detak jantung kedua.
Dan untuk pertama kalinya, Wuyan merasa bahwa jiwanya bukanlah ruang miliknya sendiri.
Cermin itu bergetar makin kuat, suara retakan kecil mulai terdengar seperti nada musik aneh — seolah setiap garis yang terbentuk menghasilkan getaran dari dimensi lain. Dalam setiap retakan itu, Wuyan melihat fragmen kenangan yang tak ia kenali: tangan yang memegang pedang berlumur darah, seorang ibu menangis di atas kubur, seorang anak berlari di antara kobaran api.
Ia mulai kehabisan napas.
Setiap fragmen terasa nyata — bukan sekadar bayangan, tapi perasaan utuh yang menempel pada kesadarannya.
Rasa kehilangan.
Rasa takut.
Rasa ingin membalas.
Semuanya menyeretnya ke dalam pusaran emosi yang bukan miliknya.
“Cukup!” teriaknya, tapi gema suaranya memantul di ruang batu seperti suara orang lain.
Cermin bergetar lebih hebat. Dari tengahnya, cahaya putih menyilaukan memancar, lalu… hening.
Waktu berhenti.
Dan Shen Wuyan mendapati dirinya berdiri di ruang yang tak memiliki bentuk — tanpa atas, tanpa bawah, hanya lautan kabut putih dan garis-garis cahaya yang melintang di udara seperti urat hidup.
Ia mencoba bergerak, tapi setiap langkah terasa seperti berjalan di dalam air. Di sekitarnya, retakan-retakan bercahaya itu melayang, mengeluarkan suara-suara samar. Beberapa terdengar seperti doa, beberapa seperti teriakan kesakitan.
Satu retakan di depan memanggilnya — lebih terang dari yang lain.
Wuyan mendekat. Di dalam retakan itu, ia melihat masa lalu seseorang. Liang Yu, berlutut di tanah, memegang kalung patah itu lagi, menatap langit dengan mata basah. Tapi kali ini, Wuyan bisa merasakan isi hatinya — kehilangan, ketakutan, dan rasa bersalah yang tak berujung.
Ia ingin menolak, tapi emosinya tersedot masuk. Untuk sejenak, ia menjadi Liang Yu.
Rasa itu nyata.
Luka itu menyatu.
Ketika ia tersadar kembali, kabut di sekitarnya berubah menjadi gelap.
Sebuah suara pelan datang dari arah belakangnya.
“Hun memandang. Po mengalami.”
Ia menoleh. Bayangan dirinya berdiri di sana, menatapnya dengan mata kosong yang berpendar samar. “Kau memandang dengan Hun, tapi mengalami dengan Po. Kini keduanya mulai saling memakan.”
Wuyan ingin berbicara, tapi tenggorokannya terasa berat. Dunia di sekitarnya mulai retak — bukan lagi cahaya, tapi bayangan. Dari setiap celah muncul suara tawa, jeritan, dan bisikan-bisikan yang menembus pikiran.
“Apakah ini… akhir kesadaranku?” gumamnya pelan.
Bayangan itu menggeleng. “Tidak. Ini awal dari penglihatan sejati.”
Dan saat kata itu diucapkan, semua cahaya padam.
Tersisa hanya satu kilatan — cermin batu yang kini pecah di dunia nyata.
Cahaya terakhir dari lilin di ruang meditasi meredup perlahan, lalu padam.
Kegelapan menelan ruangan. Tapi dari dalam cermin yang retak, seberkas cahaya samar masih berdenyut — seperti jantung yang belum mau berhenti berdetak.
Shen Wuyan terbangun di tengah kesunyian itu. Nafasnya terputus-putus, keringat dingin mengalir dari pelipis hingga ke dagu. Ia menyentuh tanah batu di bawahnya, memastikan dirinya masih berada di dunia nyata. Tapi bahkan ketika ia membuka mata sepenuhnya, dunia tampak tidak sama lagi.
Cahaya dari retakan cermin masih menyala.
Dan dari dalamnya, ia menatap balik.
Bayangan itu — yang menyerupai dirinya tapi dengan sorot mata yang terlalu sadar — berdiri di sisi lain retakan. Tidak bergerak, tapi tidak pula diam. Aura di sekitarnya bergetar, membawa rasa asing yang menembus udara.
“Siapa kau sebenarnya?” suara Wuyan serak, nyaris tak terdengar.
Bayangan itu tersenyum.
“Aku hanyalah kau yang pernah menolak untuk mengingat.”
Cermin bergetar. Gema suaranya mengguncang ruangan lebih keras daripada kata-katanya. Wuyan memutar napasnya, mencoba menstabilkan Hun dan Po. Tapi setiap tarikan napas justru menyalakan retakan baru di dalam dirinya — seperti kulit kaca yang terus membelah tanpa bisa dihentikan.
Cahaya dari retakan itu menyebar ke dinding, lantai, hingga udara di sekitar.
Segalanya tampak seperti serpihan mimpi yang hancur perlahan.
Di balik semua itu, suara-suara mulai muncul — bukan dari luar, tapi dari kedalaman dirinya sendiri.
Bisikan-bisikan yang meniru suaranya sendiri, tapi berbeda intonasi:
“Kau membunuh dengan kekuatan yang bukan milikmu.”
“Kau bersembunyi di balik keseimbangan, tapi tak pernah benar-benar mengerti apa itu kedamaian.”
“Kau menolak wajah pertama, tapi kini kau menciptakan wajah kedua.”
Wuyan menutup telinganya, tapi suara itu tak berhenti. Karena sumbernya bukan dari udara — melainkan dari dalam kepalanya sendiri.
Ia berlutut. Nafasnya semakin berat. Dalam pikirannya, lautan perak tempat jiwanya biasa bermeditasi kini bergolak seperti badai. Dari permukaan yang dulu halus, kini muncul garis-garis cahaya, saling bersilang, saling menelan.
Di antara pusaran itu, ia melihat sosok dirinya sendiri, tenggelam di bawah permukaan, tertarik oleh bayangan hitam yang sama dengan yang muncul di cermin tadi.
Bayangan itu memegang tangannya.
“Mengapa menolak? Retakan bukan kehancuran, Shen Wuyan. Itu jalan.”
“Jalan menuju apa?” desisnya.
“Menuju semua wajah yang telah hilang. Menuju semua jiwa yang menunggu untuk disatukan.”
Wuyan bergetar. “Aku tidak ingin menjadi wadah bagi mereka.”
“Tapi kau sudah menjadi wadah. Kau hanya belum mengakuinya.”
Cahaya di sekelilingnya semakin kuat. Retakan-retakan itu berubah menjadi jaringan urat bercahaya yang menyelimuti tubuhnya. Dari setiap garis, muncul gema kenangan: wajah Liang Yu, mata seorang wanita yang menangis, suara tawa anak kecil, aroma darah di malam perang sekte — semua itu datang bersamaan, menyerbu pikirannya hingga hampir meledak.
Ia menggigit bibir, darah menetes ke lantai batu.
Namun bahkan rasa sakit itu tak mampu memisahkan yang nyata dan yang tidak.
Cermin di depannya kini tidak hanya menampilkan dirinya. Ada puluhan bayangan lain di balik permukaan retak itu. Wajah-wajah samar — beberapa manusia, beberapa tidak — semuanya menatapnya dengan mata kosong namun penuh keinginan.
Mereka berbisik bersamaan, membentuk satu suara bergema:
“Kami adalah wajah-wajahmu.”
Lantai di bawahnya mulai retak. Suara seperti logam diseret memenuhi ruangan. Udara menebal; bahkan napas terasa berat, seolah ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat.
Wuyan mencoba bertahan. Ia memusatkan kesadaran pada titik antara alis, tempat Hun bersemayam, dan mengunci pikirannya dengan mantra:
> “Hun mengatur, Po menjalani. Keduanya tak boleh bercampur.”
Namun suara itu menertawakannya.
“Hun dan Po bukan dua hal yang terpisah, Wuyan. Mereka adalah satu hal yang terbelah oleh ketakutan.”
Dan tiba-tiba — dari cermin yang telah retak itu — muncul tangan. Hitam, namun berkilau seperti batu basah. Tangan itu menembus permukaan kaca dan menggenggam pergelangan tangannya dengan kekuatan dingin yang tak bisa dilawan.
Refleks, Wuyan menarik diri, tapi semakin ia melawan, semakin banyak tangan yang muncul. Dari retakan-retakan kecil bermunculan lengan-lengan bayangan, meraih tubuhnya, menahan, menyeretnya ke arah permukaan cermin yang kini berdenyut seperti jantung hidup.
Cermin bukan lagi benda padat. Ia menjadi cair, seperti permukaan air yang memantulkan kegelapan tak berujung.
“Tidak…” desisnya.
“Terimalah,” suara itu kembali berbisik. “Semakin kau menolak, semakin retakan itu menelanmu.”
Ia tak tahu apakah itu suara bayangan, Liang Yu, atau dirinya sendiri. Semuanya telah bercampur.
Seketika, dunia berputar. Dinding menghilang, langit-langit runtuh menjadi kabut. Ia jatuh — bukan ke tanah, tapi ke dalam ruang tanpa arah. Dalam pusaran itu, potongan kenangan beterbangan di sekelilingnya seperti kepingan kaca bercahaya. Setiap potongan menampilkan momen yang bukan miliknya, namun kini tertanam di hatinya.
Anak kecil memanggil ibunya.
Seorang murid membunuh gurunya dengan air mata di mata.
Seorang lelaki berlutut di bawah hujan, tertawa di atas mayat sendiri.
Dan di antara semua itu, suara Liang Yu terdengar jelas.
“Kau ingin kekuatan, tapi takut menjadi apa yang diperlukan untuk memilikinya. Maka retaklah, Shen Wuyan.”
Wuyan menjerit, tapi suaranya tak memiliki gema.
Ia berputar di tengah pusaran cahaya dan bayangan, tubuhnya terurai menjadi partikel kesadaran yang tercerai-berai.
Dalam sekejap yang terasa seperti keabadian, ia melihat sesuatu — jiwanya sendiri.
Dan di tengahnya, garis besar yang dulu membentuk dirinya mulai pecah.
Satu bagian wajahnya tersenyum.
Bagian lain menangis.
Dan di antara keduanya, ada sesuatu yang tertawa perlahan.
Ia menatapnya, gemetar. “Apa… ini?”
Bayangan itu — refleksi yang kini berdiri di hadapannya — menjawab pelan:
“Ini adalah dirimu yang sebenarnya. Semua yang kau tolak, semua yang kau bunuh, semua yang kau serap. Inilah wajah sejati yang terbentuk dari setiap retakan.”
Lalu, dunia kembali runtuh.
Cahaya terakhir dari retakan itu pecah, menyelimuti semuanya dengan keheningan mutlak.
Ketika Wuyan membuka matanya, ia kembali berada di ruang meditasi. Lilin-lilin sudah padam, tapi udara di sekitarnya masih bergetar. Cermin di hadapannya telah pecah sepenuhnya, potongan-potongan kecilnya berserakan di lantai, namun anehnya — dari potongan itu, pantulan dirinya masih utuh, masih tersenyum.
Ia menyentuh dadanya. Detak jantungnya cepat, tapi iramanya terasa asing. Ada bagian dirinya yang hilang… dan sesuatu yang baru telah menggantikannya.
Dalam kesunyian itu, dari potongan cermin yang berserakan, terdengar bisikan lembut.
Suara yang sama seperti tadi, namun kini lebih dalam, lebih akrab.
“Sekarang kau tahu… setiap retakan menyimpan wajah yang menunggu.”
Wuyan menatap ke bawah.
Bayangan di lantai bergerak lebih lambat daripada dirinya.
Senyumnya tidak sama.
Dan untuk pertama kalinya — ia tidak tahu lagi siapa yang sebenarnya sedang memandang siapa.