Karen Aurellia tidak pernah menyangka diusianya yang baru menginjak dua puluh tahun, akan menikah dengan pria yang lebih tua darinya. Pria itu adalah Darren William Bratajaya, pemuda cerdas yang telah meraih gelar profesor di Universitas London.
Saat mengetahui akan dinikahi seseorang bergelar profesor, yang ada dalam bayangannya adalah seorang pria berbadan gempal dengan perut yang buncit, memakai kacamata serta memiliki kebotakan di tengah kepala seperti tokoh profesor yang sering divisualkan film-film kartun.
Tak sesuai dugaannya, ternyata pria itu berwajah rupawan bak pangeran di negeri dongeng! Lebih mengejutkan lagi, ternyata dia adalah dosen baru yang begitu digandrungi para mahasiswi di kampusnya.
Bacaan ringan, bukan novel dengan alur cerita penuh drama. Hanya sebuah kisah kehidupan Rumah Tangga pasutri baru, penuh keseruan, kelucuan, dan keuwuan yang diselipi edukasi pernikahan. Baca aja dulu, siapa tahu ntar naksir authornya 🤣
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Berdebat dengan Oma Belle (lagi)
Usai sarapan bubur, Karen mempersiapkan dirinya pergi ke kampus. Kebetulan, dia memiliki jadwal kuliah jam sembilan pagi. Karen keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk. Ketika sedang memilih-milih pakaian yang akan ia kenakan ke kampus, tiba-tiba sosok Marsha kembali muncul dalam benaknya. Dosen yang merupakan mantan kekasih Darren itu sedikit mengusik pikirannya. Sosok Marsha yang cantik, cerdas dan fashionable tentu membuat para mahasiswa klepek-klepek.
Mengingat hal itu, Karen pun tak mau kalah darinya. Apalagi sudah merupakan sifat alami perempuan selalu ingin bersaing dengan perempuan lainnya. Dia memilih pakaian yang lebih berani dari biasanya dan memakai polesan makeup yang lebih tebal dengan lipstik yang merah merona.
Berbeda dengan Karen, tampaknya Darren akan mengisi kuliah siang hingga malam hari. Lelaki itu kini tengah mencuci piring yang kotor. Suara bel yang terdengar tiba-tiba, membuatnya harus menghentikan aktivitasnya sejenak. Ketika ia membuka pintu, matanya langsung menangkap senyum Oma Belle yang seindah saldo rekening awal bulan.
"Oma? Kok pagi-pagi dah ke sini?"
"Emangnya ada aturan khusus buat ngunjungin apartemen kamu," ketus Oma yang kini masuk ke dalam apartemen.
Bertepatan dengan itu, Karen keluar dari kamar sambil berkata, "Siapa yang da—" Kalimat Karen terhenti begitu saja saat matanya bersirobok langsung dengan Oma Belle.
Sebaliknya, Oma Belle tampak syok dengan penampilan cucu mantunya. Bagaimana tidak, pakaian yang dikenakan Karen saat ini adalah blouse ketat yang panjangnya hanya sebatas pinggul dengan potongan dada yang rendah dan dipadukan dengan rok mini di atas lutut.
Aduh mampus aku! Kenapa sih Oma selalu datang kayak Jailani eh jailangkung!
"Kamu mau ke mana? Kok berpakaian kayak gitu?" tanya Oma dengan mata melotot kaget.
Darren berbalik pelan dan turut terkejut dengan penampilan seksi istrinya. Sedangkan mimik wajah Karen saat ini bagai pedagang kaki lima yang kena razia satpol PP.
"Mau ke kampus, Oma," ucap Karen sambil berusaha menarik-narik bajunya ke bawah agar terlihat sedikit lebih panjang.
"Hah? Gak salah pakai baju kurang bahan kayak gini?" tanya Oma terheran-heran.
Karen terdiam. Tapi jangan salah, batinnya malah menggerutu.
Ya, gak salahlah! Yang salah itu kalau Darren yang pakai. Bisa gempar seisi kampus.
"Mau ke kampus kok malah kayak mau clubbing?" cetus Oma sambil menggeleng-geleng kepala, "ingat, loh! Kamu itu sekarang udah jadi istri Darren. Seharusnya bisa menjaga nama baik suami kamu. Entar apa yang dibilang rekan kerjanya di kampus kalau lihat istrinya berpakaian minim kayak gini!" sambung Oma.
Ucapan Oma masih membuat Karen terdiam sekaligus tersudut bagai seekor tikus. Tak berkutik sama sekali.
"Ternyata baju ini pas juga di badan kamu," sahut Darren tiba-tiba.
Oma Belle dan Karen sontak menoleh. Seperti biasa, Darren selalu menjadi pahlawan kepagian bagi Karen.
Darren lalu berkata pada Oma Belle. "Beberapa hari yang lalu aku beliin baju ini untuk Karen, tapi baru pagi ini dicoba sama Karen." Ia lalu memalingkan pandangan pada Karen, "Ya, udah. Bajunya diganti dulu. Pakainya nanti kalau kita liburan ke Bali aja."
"Ckckck ... ternyata kamu sendiri yang ngajarin istrimu berpakaian kayak gitu. Sama sekali tidak mencerminkan adat ketimuran." Untuk sekian kalinya Oma Belle menggeleng-geleng kepala.
Karen masuk ke kamar sambil bersungut-sungut dan langsung disusul oleh Darren. Perempuan itu duduk di pinggir ranjang dengan wajah yang seakan hendak jatuh ke tanah.
"Ih, Oma kamu itu, yah. Bikin kesel! Kamu aja gak komplain aku pakai baju kayak gini, kok dia julid banget. Apa aku ke kampus mesti pakai kebaya?" keluh Karen.
Darren duduk di samping Karen dengan tenang. Dia tersenyum tipis sambil berkata, "Kayaknya pakaian itu emang cocok kamu pakai di depan aku doang, deh. Ya, aku sih gak maksa kamu untuk ganti pakaian lain. Tapi ... kalau kamu tetap mau pakai pakaian kayak gitu, bukannya bakal ngundang mata nakal lelaki di luar sana? Sebagai suami, jujur aja aku gak mau istriku jadi objek pandang lelaki lain."
Karen terdiam sesaat. Lalu menoleh sungkan ke arah Darren yang juga sedang menatapnya. "Iya, deh. Aku ganti bajunya."
"Nah, gitu donk." Darren mengusap kepala Karen dengan lembut. "Oh, iya, tumben kamu pakai lipstik merah nyala kayak gini?" Darren memerhatikan bibir istrinya.
Karen sontak mengulum bibirnya sendiri. "Kenapa? Bagus, kan?"
"Emmm ... boleh juga. Kamu jadi mirip pemeran Disney."
"Maksud kamu aku mirip Snow White gitu?" Mata Karen berbinar cerah karena suaminya menyamakan dirinya dengan pemeran Disney.
"Bukan. Mirip sama Ibu tirinya yang ngasih apel."
Wajah Karen menggelap seketika. Ia langsung mengambil tisu basah dan mengelap bibirnya yang berhias gincu merah. Ya, Darren selalu memiliki cara cerdas untuk membuat Karen menurutinya tanpa adanya keterpaksaan.
Setengah jam kemudian, apartemen itu hanya menyisakan Oma Belle dan Darren karena Karen telah berangkat ke kampus. Oma Belle kembali menyinggung persoalan Darren yang tak bisa memiliki keturunan. Ia membujuk cucunya untuk melakukan terapi alami. Tentu saja Darren langsung menolak mentah-mentah usul omanya.
"Kamu ini kok gak ada usaha untuk punya anak? Udah gitu bisa santai kayak gini. Jangan-jangan kamu cuma berbohong pas bilang gak bisa memiliki keturunan biar Oma sama kakek gak maksa-maksa lagi."
Kali ini Darren hanya diam. Tak menyangkal atau pun meyakinkan omanya. Sebab, ia memang tak pandai melanggengkan sebuah kebohongan. Apalagi sejak mengatakan itu, ada rasa bersalah besar yang hinggap dalam dirinya.
Diamnya Darren ternyata adalah sebuah jawaban bagi Oma Belle. "Tuh, kan. Oma emang sudah curiga!"
"Oma, Karen itu masih muda. Udah gitu kami nikah enggak saling kenal satu sama lain. Jadi biarkan aja dulu aku sama dia saling mengenal karakter sekaligus menumbuhkan cinta yang kuat di hati kami masing-masing."
"Sampai kapan? Semua orang kalau dah nikah yang jadi tujuan utama itu, ya ... punya anak. Kamu tahu enggak, Oma sengaja pilihkan kamu perempuan yang muda dengan harapan dia subur dan bisa menghasilkan keturunan. Kalau kayak gini, buat apa Oma nikahin kamu!"
Ucapan Oma Belle sedikit menguji kesabaran Darren. "Oma, perempuan dalam pernikahan bukan sebagai alat untuk menghasilkan anak! Berapa banyak pasangan suami istri yang menderita dan harus menahan tekanan batin akibat pemikiran-pemikiran seperti Oma yang terus dilestarikan di negara ini. Menganggap tujuan pernikahan itu semata-mata hanya untuk melestarikan keturunan dan wanita adalah alat untuk mewujudkannya."
"Udah mulai ngajar-ngajarin Oma, ya, kamu sekarang. Mentang-mentang dosen sok-sokan ngasih tahu sama orangtua yang lebih dulu cicip asam garam kehidupan," ujar Oma Belle tak kalah sengit. Ya, wanita paruh baya itu mewakili karakter sebagian besar orangtua yang tak mau diajari karena merasa lebih tahu.
Darren hanya melengos seraya mengembuskan napas. Percuma saja berdebat, apalagi memberi pengertian pada omanya. Ibarat menyatukan Korea utara dan Korea Selatan. Mimpi!
Darren bukannya tak mau memiliki anak. Ia menganggap orangtua adalah profesi tersulit yang tak ada sekolahnya. Menjadi orangtua artinya harus siap segala-galanya. Sedangkan Karen dari awal sudah mengatakan tidak ingin memiliki anak di kehidupan rumah tangga mereka. Bagi Darren, setiap pasangan itu harus memiliki common goals¹ yang mereka capai bersama. Seperti perencanaan memiliki anak yang tentu saja butuh diskusi dan pertimbangan yang matang.
...----------------...
Di siang yang terik, Karen baru saja membeli dua minuman bubble tea. Rencananya, satu botol bubble tea akan ia berikan pada Darren.
"Darren udah selesai ngajar belum, ya?" Karen bertanya-tanya seraya mengintip dari celah pintu ruang dosen fakultas ekonomi.
Dari celah pintu tersebut, ia bisa melihat suaminya memeriksa skripsi mahasiswa bimbingannya. Pria itu tampak memarahi para mahasiswa yang ketahuan memakai jasa pembuatan skripsi dan meminta untuk merevisi total skripsi mereka.
Karen mengambil ponselnya lalu mengirim pesan ke nomor Darren. Sepuluh menit kemudian, mereka bertemu di koridor menuju gudang.
"Ada apa kamu manggil aku ke sini?" tanya Darren dengan kepala yang menengok ke kiri dan kanan penuh kewaspadaan.
Karen menyerahkan minuman bubble tea varian stoberi. "Ini buat kamu. Biar semangat ngajarnya!"
Darren tersenyum miring lalu mengambil itu dari tangan Karen. Takut ada yang melihat mereka, Karen pun bergegas pergi tanpa berkata apa pun. Namun, Darren segera menahan tangan perempuan itu.
Karen menengok kembali seraya melempar tatapan heran. "Kenapa?"
"Makasih, ya? Kamu juga semangat belajarnya. Jangan main hp Mulu," ucap pria itu sambil menyematkan senyum hangat.
Karen dan Darren pun berpisah dengan arah yang berlawanan. Karen kembali berbaur dengan teman-teman kelasnya, sedangkan Darren menuju ruang penelitian. Begitu tiba di ruangan itu, Darren terkejut karena Marsha telah berada di sana.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Darren datar.
"Emangnya cuma kamu aja yang boleh masuk di ruangan ini?" jawab Marsha santai. Ia sedikit terhentak ketika melihat Darren tengah meminum bubble tea rasa stroberi. Setahunya, pria yang pernah menjadi kekasihnya itu tak menyukai minuman manis.
"Tumben kamu minum minuman kayak gitu!"
Darren menatap botol minuman yang dipegangnya, lalu tertawa kecil sambil berkata, "Oh, ini istriku yang belikan."
Mendengar Darren menyebut kata "istriku", entah kenapa hati Marsha merasa pedih.
.
.
.
catatan kaki 🦶
Common goals: sebuah diskusi perencanaan dua individu atau lebih untuk mencapai tujuan bersama.
catatan author ✍️
Aku pernah nonton wawancara Christian Sugiono. waktu itu, ada pertanyaan kenapa hubungan dia sama pasangannya bisa seawet itu, sampai menghabiskan setengah waktu dari usianya. Terus dia jawab, karena dia dan istrinya punya common goals, sehingga itu membuat mereka saling terikat. Dan aku dan pasanganku juga menerapkan itu juga gays.
Oh, iya, mengenai usia Darren di sini emang aku sengaja gak sebutkan ya. Yang pasti lebih tua dari Karen. Nah, biar kalian nanti gak nanya-nanya, jadi awal cerita ini kubuat, aku mendeskripsikan usia Darren tuh 37 tahun seumuran sama Jun, yang sama-sama bergelar profesor. Eh ternyata editor bilang ketuaan. Aku bilang gimana kalo usia 30 gitu? katanya masih ketuaan. Disuruh revisi jadi usia 25-26 tahun soalnya katanya Darren pintar dan kaya. Aku mikir dosen usia 25-26 tahun dengan gelar profesor kok rasa gak masuk di otakku gitu. Okelah kalau latar cerita ini di western ya, tapi kan ini di indonesia. Usia profesor termuda di Indonesia itu ya umur 30 tahun gitu. Aku kan selalu berusaha bikin cerita yang masuk logika. Jadi, aku mutusin untuk gak sebutin umurnya. terserah kalian aja mau anggap si Darren usianya berapa.
Oh, iya, kalau kalian ingin cerita ini bakal lanjut terus, jangan lupa bantu saya rekomendasikan cerita ini ke teman-teman kalian agar lebih banyak yang baca. soalnya aku gak punya waktu buat promosi sana-sini.
jangan lupa like dan komen biar semangat update.
keasikan baca jadi lupa kasih bintang 😂😂😂😂😂😂🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🙏🏼
notif'y ada d berbagai judul novel kak yu 😅