NovelToon NovelToon
Cinta Sendirian

Cinta Sendirian

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan alternatif / Romansa
Popularitas:188
Nilai: 5
Nama Author: Tara Yulina

Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:

Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.

Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.

Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.


Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.

Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.

Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.

Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Pertama Di—2011

Cahaya gerbang waktu yang menyilaukan perlahan memudar, digantikan hembusan angin hangat yang menyapu wajah Aira. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Begitu pandangannya jernih, Aira langsung terdiam.

Ia berdiri di pinggir jalan besar—namun jalan itu tidak semodern yang ia kenal. Mobil-mobil yang lewat tampak lebih kotak, lebih tua, dan beberapa diantaranya mengeluarkan asap tebal. Billboard di atas gedung memajang iklan dengan model rambut era awal 2010-an. Di sudut jalan ada warnet penuh anak sekolah bersepedaan, dan ringtone Blackberry dari warung sebelah terdengar sangat jelas.

Aira menelan ludah.

“Ini… ini beneran 2011,” gumamnya lirih.

Suasana itu terasa asing, tapi di saat yang sama… begitu nyata.

Ia menoleh ke kanan dan kiri—tidak ada portal, tidak ada gerbang, tidak ada cahaya—pertanda ia memang sudah tiba.

“Ya Allah… aku beneran kembali ke masa lalu.”

Degup jantungnya semakin terdengar. Aira mencoba berjalan, tapi langkahnya kaku; semuanya tampak seperti film lama yang tiba-tiba ia masuki tanpa skrip. Orang-orang memakai pakaian yang berbeda, HP-HP jadul di genggaman mereka, dan tidak ada satu pun yang terlihat menggunakan smartphone layar penuh.

Aira mulai panik kecil.

“Gimana… cara adaptasi di sini? Bahkan teknologi aja beda banget…”

Ia menghela napas panjang, menyentuh dadanya untuk menenangkan diri.

Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara laki-laki terdengar dari belakangnya.

“Kakak… nyasar ya?”

Aira menoleh cepat—dan terkejut melihat seorang remaja laki-laki berseragam putih-biru berdiri sambil memandangnya heran, seolah keberadaan Aira benar-benar tidak masuk akal.

"I-iya… Kakak bingung mau ke mana?" ujar Aira pada seorang remaja laki-laki berseragam putih biru itu.

"Kenalin, Kak. Nama aku Mason, panggil aja Son. Kalau kakak siapa?" tanya Mason sambil tersenyum, berusaha ramah pada perempuan di depannya yang tampak bingung.

"Nama aku Aira," jawab Aira singkat.

"Wah, nama kakak bagus banget."

"Makasih."

"Oh iya, berhubung kakak keliatan bingung dan nggak tahu mau ke mana… gimana kalau ikut aku aja ke rumah? Orang tua aku baik kok," tawar Mason tulus. "Atau nanti bisa juga bantu cariin kontrakan buat kakak tinggal."

Aira terdiam. Duh gimana ya… kalau aku nggak ikut anak SMP ini, aku beneran nggak tahu mau ke mana… batinnya.

"Jadi gimana, Kak?" Mason menatapnya penuh harap. “Tenang aja, orang tuaku pasti nerima kakak.”

Aira akhirnya mengangguk.

"Mm… boleh deh."

Keduanya pun berjalan kaki menuju rumah Mason. Jaraknya lumayan jauh, dan mereka tidak naik kendaraan apa pun.

Belum sampai tujuan, Aira sudah kelelahan. Keningnya penuh keringat.

"Son… kakak capek. Masih jauh ya?" ujarnya sambil mengusap keringat dengan tangannya.

"Masih, Kak. Tapi sebentar lagi kok."

"Son… istirahat dulu ya. Kakak capek banget…"

"Oke, Kak. Kita duduk di sini dulu." Mason menunjuk pohon besar di pinggir jalan. Mereka duduk di bawah rindangnya.

"Kak Aira nggak terbiasa jalan kaki ya?" tanya Mason.

Aira hanya menggeleng. Badannya lelah sekali.

"Kenapa nggak naik kendaraan umum aja, Son?" protes Aira lemas.

"Uang aku nggak cukup, Kak…" jawab Mason pelan.

"Astaga… kenapa kamu nggak bilang? Kakak masih punya uang…" Aira memegangi kening.

"Ya udah, Kak. Kita naik angkot aja yang murah," ujar Mason.

"Sebentar ya, kakak cek dompet dulu."

Aira membuka dompetnya—hanya ada uang sepuluh ribu.

"Uang kakak cuma sepuluh ribu. Cukup nggak? Kakak belum ke bank soalnya…"

"Cukup kok, Kak. Pas banget."

"Syukurlah…"

Mason lalu memberhentikan angkot. Mereka naik dan menuju rumah Mason. Tak lama kemudian, sampailah mereka di rumah sederhana milik remaja SMP yang baik hati itu.

"Assalamualaikum, Mak!" sapa Mason.

"Waalaikumsalam," jawab suara seorang perempuan—ibu Mason, Bu Reni.

Begitu melihat Aira, Bu Reni tampak bingung.

"Son, iki sopo neng ayu?"

(Son, ini siapa perempuan cantik ini?)

"Ibu kamu bilang apa?" bisik Aira.

Mason tersenyum canggung.

"Kenalin, Bu. Ini Kak Aira. Tadi Mason ketemu Kak Aira di pinggir jalan, kebingungan gitu… nggak tahu mau ke mana. Ini ibuku, Kak."

Aira mengulurkan tangan. Bu Reni menyambutnya hangat.

"Reni. Ibunya Mason."

"Aira, Bu."

"kamu dari mana? Tinggal di mana?" tanya Bu Reni.

Aira langsung panik. Duh… nggak mungkin aku bilang aku dari Jakarta tahun 2025… nanti dikira aneh.

"Mmm… saya nggak tahu, Bu… saya… lupa," jawab Aira tercekat.

"Loh, kepiye to? Kok iso lali, cah ayu?"

(Lah gimana sih? Kok bisa lupa, cantik?)

"Wis to, Mak," sela Mason cepat.

"Kak Aira cuma butuh tempat istirahat. Mak iso tulung to?"

(Ibu bisa bantu kan?)

Bu Reni menghela napas.

"Yo wis, yo wis…"

(Ya sudah, ya sudah…)

"Aira, ikut ibu ya. Dekat sini ada kontrakan kosong. Kamu tinggal di sana dulu."

Aira menunduk hormat.

"Baik, Bu. Terima kasih banyak."

"Sama-sama. Tapi ingat, di sini jangan macam-macam. Biar nggak diusir warga."

"Siap, Ibu."

...****************...

Bu Reni menggiring Aira keluar rumah sambil menunjukkan jalan menuju kontrakan. Langkah mereka pelan, melewati gang kecil dengan deretan rumah-rumah sederhana. Udara sore mulai sejuk, membuat hati Aira sedikit tenang.

"Itu, Ra… kontrakannya," ujar Bu Reni sambil menunjuk rumah kecil bercat krem. Pintu kayunya sederhana, namun terlihat bersih dan terawat.

"Aira, kamu tunggu di sini sebentar, ya. Ibu mau bicara dulu dengan pemilik kontrakannya."

"Baik, Bu."

Aira berdiri di depan pagar kecil kontrakan itu sambil menatap sekeliling. Hatinya masih campur aduk—antara lelah, bingung, dan bersyukur.

Tak lama, Bu Reni kembali setelah menemui pemilik kontrakan. Wajahnya membawa kabar baik.

"Alhamdulillah, Ra. Walaupun kamu belum ada uang di awal, pemiliknya boleh kok kamu tinggal dulu di sini," ujar Bu Reni sambil tersenyum.

Aira terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. “Serius, Bu…? Makasih banyak…”

Bu Reni mengulurkan kunci berwarna perak kecil itu.

"Nah, ini kuncinya. Silakan kamu buka sendiri, ya."

Aira mengangguk pelan. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menerima kunci tersebut lalu memasukkannya ke lubang pintu. Suara klik terdengar, dan pintu perlahan terbuka.

Udara dari dalam ruangan menyambutnya—sederhana, kosong, tapi terasa seperti tempat yang bisa ia sebut “aman”.

Aira menoleh pada Bu Reni.

"Bu… terima kasih. Aira nggak tahu harus gimana kalau bukan karena ibu."

Bu Reni tersenyum hangat.

"Sudah, Nak. Yang penting kamu bisa istirahat. Kalau butuh apa-apa, bilang ibu atau Mason saja."

Aira masuk perlahan. Ruangannya memang tidak besar—hanya satu kamar, satu dapur kecil, dan tikar tipis di lantai—tapi justru membuatnya merasa aman.

"Bu… terima kasih banyak. Aira nggak tahu harus gimana kalau nggak ketemu ibu sama Mason," ucap Aira tulus.

Bu Reni tersenyum lembut.

"Lha ora popo, Nak. Kowe ki anak baik. Kalau lapar, tinggal datang ke rumah Ibu, ya. Ibu tadi masak banyak."

Mata Aira langsung berbinar. “Serius, Bu? Aira jadi nggak enak…”

“Wes, ora usah sungkan. Anggap aja rumah sendiri.”

Aira menunduk, hatinya hangat oleh kebaikan yang baru ia temui di tahun yang masih terasa asing ini.

“Baik, Bu. Makasih… bener-bener makasih.”

“Ya sudah, istirahat dulu. Nanti kalau butuh apa-apa tinggal panggil Mason.”

Setelah Bu Reni pulang, Aira duduk di lantai, menghembuskan napas panjang. Dalam hatinya, ia bersyukur dipertemukan dengan Mason dan ibunya—dua orang asing yang tanpa alasan membantunya seolah mereka sudah lama mengenal. Sore itu, untuk pertama kalinya sejak terdampar di 2011, Aira merasa… aman.

1
Kama
Penuh emosi deh!
Elyn Bvz
Bener-bener bikin ketagihan.
Phone Oppo
Mantap!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!