Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 3
Sepanjang hari Lara hanya diam di dalam kamar. Lampu kamar itu redup, udara terasa sesak. Dia duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya, menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Dari luar terdengar sayup tawa, tawa yang membuat dadanya makin perih.
Di ruang depan, orang-orang masih bercengkerama, meski pesta sudah nyaris usai. Suara gelas beradu, tawa tamu yang memuji “pengantin baru”, dan musik lembut dari pengeras suara semuanya menusuk telinga Lara seperti belati.
Kedua orang tuanya, Bu Liana dan Pak Rahman, tak satu pun mengetuk pintu kamar anak sulung mereka itu. Mereka sibuk memastikan semua tamu mendapat hidangan yang cukup, sibuk tersenyum, sibuk menjaga nama baik keluarga.
Lara sudah berhenti menangis sejak sore tadi. Air matanya kering, tapi hatinya masih banjir luka. Pandangannya kosong, seperti seseorang yang kehilangan arah hidup.
Di luar sana, Arga, lelaki yang dulu memanggilnya “sayang”, kini berdiri di sisi Dila, adik kandung Lara sendiri. Mereka tampak serasi, berdiri berdampingan menyambut para tamu, menerima ucapan selamat layaknya pasangan pengantin baru yang berbahagia tanpa merasa ada hati yang di hancurkan.
Arga bahkan sempat tertawa, tawa yang dulu membuat Lara jatuh cinta. Sekarang tawa itu membuat perutnya terasa mual.
Tak ada yang peduli dengan raga yang kini seperti tak lagi bernyawa di balik pintu kamar. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaan Lara yang kehilangan segalanya dalam satu hari, suaminya, harga dirinya, dan kepercayaannya pada keluarga.
Malam akhirnya datang. Langit gelap, pesta berakhir, para tamu pulang satu per satu. Suara tawa memudar, berganti keheningan yang berat.
Barulah saat itu, pintu kamar Lara diketuk pelan.
“Lara, ayo keluar, makan,” suara Bu Liana terdengar datar dari balik pintu.
Lara tidak menjawab. Dia hanya menatap kosong ke arah suara itu. Nafasnya pendek, matanya bengkak.
Pintu terbuka. Bu Liana masuk, mengenakan masih mengenakan kebaya, rambutnya masih tersanggul rapi yang semakin menusuk perasaan Lara.
“Lara,” katanya lagi, lembut tapi dingin. “Kamu harus makan. Dari tadi kamu belum makan apa-apa.”
Lara mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka bertemu. Tak ada kata. Hanya kesunyian yang menggantung di antara keduanya.
Bagaimana mungkin dia bisa makan? Lidahnya terasa pahit, dadanya sesak.
Bu Liana menghela napas, lalu berjalan masuk lebih dalam, menatap anak perempuannya dengan sorot mata yang entah, antara iba dan jengkel. “Jangan begini terus, Nak. Semuanya sudah terjadi.”
Lara masih diam.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka lagi. Kali ini Pak Rahman masuk, wajahnya serius. Di belakangnya muncul Dila dan Arga.
Lara menunduk, tubuhnya menegang seketika. Hatinya kembali bergetar hebat.
“Lara,” suara ayahnya tegas tapi tenang. “Kamu harus belajar ikhlas, Nak. Ini sudah takdir. Mau bagaimana pun, semua sudah terjadi.”
Kalimat itu menusuk seperti pisau tumpul yang di paksa menancap dan akhirnya membuat luka semakin nyeri. “Ikhlas.” Kata itu lagi. Kata yang paling dibencinya sejak pagi tadi. Seolah semua luka bisa sembuh hanya dengan kata ikhlas.
Air mata yang tadi sudah kering kembali mengalir pelan di pipinya.
Ayahnya menatapnya tajam, seolah kecewa karena Lara tak kunjung menjawab.
Lara akhirnya mengangkat kepalanya, menatap satu-persatu wajah mereka. Ibunya, ayahnya, Dila, dan Arga.
Matanya berhenti di wajah Dila.
“Kenapa, Dila?” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Kenapa kamu melakukan itu?”
Dila terdiam. Pandangannya jatuh ke lantai. Bibirnya gemetar, tapi tak sepatah kata pun keluar.
Yang menjawab justru Arga. Dengan wajah datar dan suara tenang, seolah tak ada dosa.
“Lara, Dila nggak salah. Kalau kamu mau marah, marah ke aku. Aku yang salah.”
Lara menatap Arga tak percaya. Suaranya pecah, “Kamu pikir dengan bilang begitu semuanya selesai?”
Arga menunduk, tak berani menatapnya lama-lama.
Pak Rahman menghela napas berat, lalu bicara lagi. “Lara, kamu harus ikhlas menerima pernikahan mereka. Mau tak mau, sekarang mereka suami istri yang sah. Ini sudah keputusan keluarga.”
Kata-kata itu membuat tubuh Lara bergetar hebat. Seolah seluruh udara di ruangan tersedot keluar.
“Keputusan keluarga?” ia mengulang lirih, lalu tertawa getir. “Keluarga yang mana, Yah? Karena aku bahkan nggak tahu keluarga macam apa yang tega menikahkan adiknya dengan suami kakaknya.”
Bu Liana menatapnya tajam. “Kamu jangan bicara begitu, Lara. Kamu juga harus lihat kenyataan. Arga dan Dila saling mencintai.”
Lara terpaku. Napasnya tersengal. Kata “saling mencintai” itu seperti cambuk yang diayunkan ke wajahnya.
“Dan aku ini apa, Bu?” suaranya meninggi. “Aku ini siapa buat kalian semua?”
Bu Liana menunduk sesaat, lalu berkata pelan tapi tegas, “Kamu itu anak sulung kami. Tapi kamu juga harus belajar mengalah. Kamu tahu sendiri Dila itu anak yang lembut, dia nggak akan bahagia kalau terus merasa bersalah sama kamu. Jadi tolong, demi keluarga kita, kamu ikhlaskan semuanya.”
Lara menatap ibunya tak percaya. Dadanya berdegup keras, wajahnya pucat.
“Jadi aku harus mengalah demi kebahagiaan mereka?”
“Ya,” jawab ayahnya singkat. “Dila masih muda, masa depannya panjang. Sementara kamu…” Pak Rahman berhenti sejenak, menatap Lara dengan tatapan datar. “Kamu sudah dewasa, sudah seharusnya lebih bijak.”
Lara berdiri. Tangannya mengepal begitu keras hingga kukunya menembus kulit telapak tangan.
“Kenapa aku harus ikhlas!” teriaknya akhirnya, suaranya memecah kesunyian ruangan. “Kenapa aku harus mengikhlaskan sesuatu yang nggak bisa aku ikhlaskan!”
Tangisnya pecah, bukan lagi isakan, melainkan jeritan dari hati yang benar-benar remuk.
“Kenapa Ibu sama Ayah tega sama aku?! Kenapa kalian semua tega melakukan ini sama aku!”
Pak Rahman terdiam, tapi wajahnya menunjukkan ketidaksabaran. “Sudahlah, Lara. Jangan buat semuanya makin sulit!”
“Sulit buat siapa? Buat kalian yang sudah menghancurkan hidupku?” jawab Lara tajam. “Dari dulu kalian selalu begitu! Apa pun yang Dila mau, harus dikasih. Aku cuma disuruh mengalah, mengalah, dan mengalah!”
Bu Liana mencoba menenangkan, tapi suaranya malah terdengar menyalahkan.
“Lara. Ibu cuma ingin yang terbaik. Dila itu anak yang rapuh, kamu tahu sendiri.”
“Rapuh?” Lara tersenyum pahit. “Rapuh sampai tega menikah dengan suami kakaknya sendiri?”
Dila menunduk, air matanya jatuh, tapi tak ada kata maaf keluar. Arga hanya memegang tangan Dila seolah ingin melindunginya dari amarah Lara.
Dan pemandangan itu, tatapan saling menguatkan antara mereka berdua, membuat hati Lara makin runtuh.
“Lihat?” ucapnya lirih tapi tajam. “Bahkan sekarang pun kalian berdiri di pihak mereka. Aku yang disalahkan, aku yang disuruh mengerti. Padahal aku yang dikhianati.”
Pak Rahman menatapnya dengan nada marah yang ditahan. “Cukup, Lara. Jangan bicara kasar di depan orang tua.”
“Kalau kalian benar-benar orang tua,” jawab Lara sambil menatap keduanya tajam, “seharusnya kalian melindungi anak kalian yang disakiti, bukan membenarkan yang menyakiti.”
Ruangan itu hening. Tak ada yang berani bicara lagi. Hanya suara tangis pelan Dila dan desah napas Lara yang terengah karena emosi.
******
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian