Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA : SALAH TINGKAH
Mandala yang hampir memukulkan batang besi ke kepala Herman, langsung terdiam. Dia menoleh kepada mandor bernama Rais, kemudian berdiri. Dilemparkannya besi itu cukup jauh dari jangkauan Herman dan kedua rekannya, demi menghindari serangan balasan secara tiba-tiba.
“Bubar!” tegas Rais lantang, seraya berjalan gagah dengan tatapan tajam kepada Mandala.
Tanpa banyak membantah, para pekerja yang tadi membuat lingkaran di arena perkelahian segera membubarkan diri. Mereka tak ingin mendapat teguran keras dari sang mandor, yang terkenal sangat tegas dan tak segan memberikan hukuman.
“Apa-apaan ini?” tanya Rais, dengan nada bicara serta tatapan teramat tajam.
“Wakil Anda yang mulai duluan,” jawab Mandala cukup datar.
“Bohong!” sanggah Herman segera. “Dia yang menantangku berkelahi, Pak.”
“Dan kamu meladeninya?” Rais mengalihkan perhatian kepada Herman, yang baru bangkit dan agak sempoyongan.
Rais berpindah ke hadapan Herman yang berusaha berdiri tegak. “Ingat posisimu. Kamu adalah wakil mandor di sini. Seharusnya, kamu menjaga kestabilan serta keamanan di antara para pekerja,” tegurnya penuh penekanan.
Ekor mata Rais kemudian berpindah kepada dua rekan Herman yang masih tergeletak di tanah berpasir. Mereka tak sanggup bangun, berhubung kepalanya dihantam batang besi dengan sangat kencang. Terlihat jelas bahwa kedua pria itu tidak memiliki fisik setangguh Mandala.
“Kalian main keroyokan?”
“Tidak, Pak. Mereka hanya berusaha membantuku karena ____”
“Karena dia tidak sanggup melawanku seorang diri,” ujar Mandala, diiringi senyum dingin setengah mencibir.
“Diam kamu!” sergah Herman dengan nada tinggi.
“Kalian berdua ikut aku!” Tanpa menunggu tanggapan dari Mandala dan Herman, Rais langsung berbalik meninggalkan tempat itu.
Tak ingin ada masalah dengan sang mandor, Mandala dan Herman terpaksa mengikuti pria itu menuju pos jaga. Entah hukuman apa yang akan mereka terima kali ini.
Tak banyak yang Mandala harapkan. Semoga sang mandor berbaik hati, tidak mencoret namanya dari daftar pekerja di sana. Bagaimanapun juga, dia membutuhkan pekerjaan agar bisa bertahan hidup, meski sebenarnya ada banyak peluang lain di luar sana.
......................
Siang yang terik telah berlalu. Pekat datang memeluk mentari, menidurkannya agar beristirahat dari tugas. Rembulan datang menggantikan, membawa cahaya teduh menenangkan.
Namun, fenomena alam yang bagi kebanyakan orang merupakan suatu keindahan itu tak berarti apa pun bagi Mandala. Dia justru merasakan ketidaknyamanan atas insiden perkelahian siang tadi.
“Apa kata Pak Rais?” tanya Arun, yang sudah bersiap hendak pergi ke warung nasi.
Mandala tidak segera menjawab. Dia menyentuh kepala yang terkena hantaman besi, lalu meringis kecil.
“Aku tidak mengerti. Kedua rekan Herman langsung pingsan saat dihantam potongan besi itu. Tapi, kamu hanya ____”
“Mereka memang payah. Itu saja,” ujar Mandala singkat.
Arun langsung tertawa mendengar ucapan Mandala. Dia memang belum terlalu mengenal pria itu. Mandala dinilai sangat misterius sehingga tak banyak informasi yang didapat tentang dirinya.
Jika bukan karena terpaksa, sebenarnya Arun tak ingin berbagi ruangan dengan Mandala. Akan tetapi, makin lama dia menyadari satu hal. Mandala tidak semenakutkan seperti yang teman-temannya kira. Pria itu bahkan dirasa lebih ‘benar’ dibanding yang lain.
“Kamu sangat ahli dalam beladiri. Apakah sebelumnya kamu seorang petarung bebas atau ___”
“Bukan.”
“Bodyguard?”
Mandala menggeleng samar.
“Anggota Paspampres?”
Mandala hanya menanggapi dengan helaan napas pelan dan dalam. “Aku titip beli makanan,” ucapnya, keluar dari topik pembicaraan. Itu sebagai pertanda bahwa dia tak ingin melanjutkan perbincangan.
“Ah, baiklah.” Arun yang sudah terlihat rapi, kembali memastikan penampilannya lewat cermin kecil yang ditempel di dinding. Setelah merasa cukup, dia berbalik kepada Mandala. “Semoga kamu tidak bermasalah denganku. Alasannya hanya satu. Aku bukan ahli beladiri.”
Setelah berkata demikian, Arun berlalu keluar ruangan. Tanpa bertanya terlebih dulu tentang makanan yang ingin Mandala pesan, dia langsung pergi menuju warung nasi.
“Bagaimana kabar Mas Maman?” tanya Gita, sambil membungkus pesanan makanan untuk Mandala.
“Dia …. Sepertinya agak kurang enak badan,” jawab Arun sambil mengunyah.
Mendengar itu, Gita terpaku sejenak, sebelum melanjutkan pekerjaan. Dimasukkannya nasi dan lauk-pauk ke dalam kantong kresek, kemudian bergegas pergi.
“Tunggu sebentar, ya,” pamit Gita pada salah seorang rekannya. Dia berjalan cepat menuju area tempat tinggal para pekerja proyek, yang merupakan bedeng sementara.
Namun, setibanya di sana Gita tertegun sambil menatap sekeliling. Dia tak tahu kamar mana yang Mandala tempati. Terlebih, ada banyak kamar berjajar cukup rapi.
“Mau ke mana, Mbak Gita?” tanya seorang pekerja, yang baru keluar dari salah satu bedeng. Dia langsung menghampiri, sambil tersenyum hangat kepada gadis cantik yang tengah kebingungan itu.
“Saya … saya ingin mengantarkan makanan ini untuk Mas Maman,” jawab Gita agak kikuk.
Mendengar nama Maman, pekerja itu sudah paham siapa yang Gita maksud. Dia langsung menunjuk ke bedeng paling ujung. “Di sana.”
Gita mengangguk sopan. “Terima kasih, Mas. Permisi.” Tanpa banyak basa-basi, dia langsung menuju ke bedeng yang dimaksud. Gita bahkan mempercepat langkah, agar bisa segera tiba di sana.
Namun, setelah berdiri di depan pintu, Gita justru jadi gugup. Dia salah tingkah, bingung harus bagaimana. Hingga beberapa saat gadis bertubuh semampai itu berdiri bagai orang bodoh, sampai akhirnya keberanian datang menghampiri.
Gita mengetuk pintu cukup pelan. Tak sampai beberapa menit, seseorang membukanya dari dalam. Tampaklah Mandala dengan rambut gondrong sebahu, yang dibiarkan tanpa diikat.
“Mas Maman,” sapa Gita agak gugup.
“Gita? Kenapa kemari?” Bukannya menyambut hangat kedatangan Gita, Mandala justru melayangkan pertanyaan bernada protes, seakan tak menghendaki gadis itu ada di sana.
“Aku … um sa-saya ….” Gita makin salah tingkah karena Mandala menatap dengan sorot aneh. “Ini makanan untuk Mas Maman.” Dia segera menyodorkan kresek berisi nasi beserta lauk-pauknya.
Mandala mengalihkan perhatian ke kresek yang Gita sodorkan, sebelum kembali menatap gadis cantik bermata indah itu. “Kenapa bukan Arun yang membawanya kemari?”
“Mas Arun sedang makan. Kupikir, Mas Maman juga sudah lapar. Jadi ….” Gita menatap agak sendu. “Bagaimana keadaan Mas Maman?” tanyanya, memberanikan diri berbasa-basi.
“Baik. Memangnya kenapa?” Mandala balik bertanya, seraya mengambil kresek dari tangan Gita.
“Aku mendengar apa yang terjadi tadi siang,” ucap Gita hati-hati.
“Arun yang mengatakannya padamu?” tanya Mandala datar.
Gita langsung menggeleng. “Para pekerja lain yang membicarakan itu di warung. Aku mendengar tanpa sengaja,” jelasnya. “Apakah itu buntut dari apa yang terjadi kemarin malam?”
“Tidak juga,” bantah Mandala, tak ingin membuat Gita merasa bersalah.
“Tapi ….” Lagi-lagi, Gita kembali terlihat serba salah. “Maafkan aku, Mas.”
“Maaf untuk apa?” Nada serta tatapan Mandala begitu datar.
Belum sempat Gita menjawab, Herman dan teman-temannya datang menghampiri.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua