Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekutu
Aluna sudah melangkah keluar dari kafe yang dingin, menggenggam erat amplop berisi salinan draft surat cerai, menerima kekalahan logis dari Bima.
Namun, baru dua langkah menjauh, ia mendengar panggilan itu, tidak sinis, tetapi mendesak.
“Tunggu, Nyonya Aluna!” panggil Bima, bergegas menghampiri.
Aluna berbalik. “Pembicaraan kita sudah selesai!”
“Melihat kegigihan Anda, pembicaraan ini cukup menarik untuk kita bahas sekali lagi!”
Aluna cukup kesal melihat wajah pria di hadapannya, namun mengurungkan niat.
“Katakan sesuatu, aku tidak punya cukup waktu.”
Wajah Bima pucat, seperti baru saja disambar petir. “Aku ingat sesuatu. Pangeran biru.”
‘Hah, kenapa hanya aku yang tidak tahu pangeran biru itu?’ ringis Aluna di dalam hati, perannya menjadi tidak berarti. Rasa iri menguak di benaknya, masalah pernikahan dingin selama tiga tahun bahkan bisa diketahui oleh orang-orang terdekat Erick.
Aluna merasakan tusukan dingin di perutnya, lebih tajam dari udara pagi. Nama itu, yang keluar dari bisikan Erick saat serangan memori kini diucapkan oleh Bima.
‘Pangeran biru? Siapa sebenarnya pangeran biru? Mengapa Erick dan Bima menyebut nama itu?’ batin Aluna, kegelisahannya berubah menjadi amarah.
Tanpa berkata-kata, Aluna menarik lengan Bima dan membawanya kembali masuk ke kafe, ke meja sudut yang remang-remang itu. Ia menuntut kebenaran.
Bima, kini dipaksa duduk, tidak lagi peduli dengan kerahasiaan. Ia kembali menggeser amplop berisi salinan draft surat cerai ke hadapan Aluna.
“Anda tahu, jika tuan Erick ingat dan tahu kau sengaja menyembunyikan kebenaran, ia bisa hancur! Trauma kecelakaan dan amnesia ini rapuh, Nyonya! Lebih baik dia tahu dari mulutmu, sebelum dia tahu dari surat cerai itu!” tekan Bima, matanya menuntut jawaban.
Aluna menatap amplop itu, tangannya gemetar. Ultimatum Bima sangat jelas, jujur, atau biarkan Erick hancur oleh pengkhianatan lagi.
“Saya tidak bisa. Jika dia melihat ini, dia akan kembali menjadi pria yang dingin itu,” bisik Aluna.
“Dia tidak akan kembali menjadi pria dingin, Nyonya Aluna,” balas Bima, nada bicaranya melembut, seolah ia benar-benar peduli.
“Dia hanya akan kembali menjadi pria yang tahu kebenaran. Pria yang sudah mencintai Anda selama belasan tahun, tetapi terlalu pengecut untuk memilikinya dengan benar.”
Aluna meraih amplop itu. Beratnya terasa seperti bom waktu. Ia sudah kalah.
Namun, di tengah keputusasaan itu, Aluna teringat janji yang ia buat di depan foto Erick di Kafe Melati. Ia tidak akan menyerah.
Aluna meletakkan kembali amplop itu. Ia kemudian mengeluarkan dompet kecilnya dan mengeluarkan artefak paling berharga yang ia temukan. Ia mendorong foto polaroid usang dengan cetakan digital itu di atas meja.
Foto Erick muda.
Bima mengangkat alisnya. “Apa ini, Nyonya Aluna?”
“Ini bukan sekedar foto, ada rahasia di dalamnya,” kata Aluna, suaranya menusuk. “Balik dan baca.”
Bima membalik foto itu, membaca kalimat Erick tentang, gadis di kafe dekat kampus.
‘Jangan ganggu dia, Erick. Dia terlalu murni untuk duniamu.’
Ekspresi Bima yang dingin dan sinis perlahan runtuh disaat is melihat tulisan itu, tulisan tangan milik atasannya, Erick Wijaya
“Tuan Erick bertemu saya di acara gala tahun 2025, Bima,” ujar Aluna, suaranya kini dingin dan penuh otoritas.
“Itu yang Anda tahu. Kenyataannya, pria yang sudah menandatangani surat cerai saya ini, sudah mengamati saya secara diam-diam satu tahun sebelum kami menjadi pasangan kekasih.”
“Tiga tahun pernikahan dingin kami bukan karena kebencian. Itu karena dia terlalu pengecut untuk mencintai saya dengan jujur! Dia mengunci cintanya pada gadis di kafe ini, pada idealisme saya, karena dia takut bahwa ambisi bisnisnya akan menghancurkan saya!”
“Jangan lupakan Nyonya Aluna, tiga tahun pernikahan kalian sangat dingin. Tuan Erick mengira Anda memiliki orang lain, yang ia sebut dengan pangeran biru.”
“Dia salah paham padaku!”
Aluna menyentuh amplop surat cerai itu.
“Dokumen perceraian ini bukan bukti kebencian, ini adalah bukti keputusasaan Erick yang lama, yang yakin dia harus membebaskan saya karena dia tidak mampu bersaing dengan pangeran biru itu!”
“Saya tidak akan pergi sebelum saya tahu kenapa dia rela menyia-nyiakan cinta sebesar itu hanya karena asumsi! Kenapa dia takut pada pangeran buru itu! Anda akan membantu saya, Bima!”
Aluna meraih amplop draft surat cerai di meja dan merobeknya menjadi dua bagian yang kasar.
“Lalu pangeran biru?” Bima mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya intens menatap mata Aluna, mencari jawaban yang ingin ia ketahui.
“Sudah berapa kali harus aku jelaskan, hah? Aku tidak mengenal pangeran biru atau siapapun yang merebut tempat Erick di hatiku, dia yang pertama juga yang terakhir.”
Crasskk! Crasskk!
“Itu adalah bagian dari masa lalu yang harus kita hancurkan. Anda hanya melihat CEO yang hancur. Saya melihat pria yang akhirnya bebas untuk mencintai. Saya tidak akan membiarkan ketakutan itu menghancurkan kami lagi!”
Bima menatap surat cerai yang robek, lalu ke mata Aluna. Logikanya hancur.
“Baik, Nyonya Aluna,” ucap Bima, nadanya kini pasrah dan tunduk, bercampur dengan kekaguman.
“Saya akui, saya salah tentang motivasi tuan Erick.” Bima menghela nafas panjang.
“Saya tidak akan menghalangi Anda. Saya akan memberitahu Anda di mana dokumen perceraian yang asli disimpan. Tetapi dengan satu syarat.”
“Apa?” tanya Aluna.
“Anda harus berjanji pada saya. Anda akan tetap bersamanya, dan Anda akan memastikan dia tidak kembali menjadi pria dingin yang hanya fokus pada angka. Anda akan mempertahankan Erick yang sekarang, Erick yang bermain Chopin.”
Aluna tersenyum, senyum yang dingin dan mutlak. “Itu bukan syarat, Bima. Itu adalah janji yang sudah saya buat sejak lama.”
“Kau tidak perlu mengkhawatirkannya itu, hanya kerja sama ini yang aku harapkan.”
Bima mengeluarkan ponselnya.
“Kotak itu di Bank Swasta Abadi. Kotak nomor 411—tanggal lahir Anda. Itu dikunci dengan kunci fisik, dan biometrik, sidik jari dan pemindaian retina Tuan Erick.”
Bima memberikan rincian rencana penyelundupan, kunci fisik di brankas ruang kerja Erick fengan Kode 041111. Dan ia menyerahkan scanner sidik jari portable.
"Ambil kunci, scan sidik jarinya saat dia tidur, dan temui saya besok sore pukul 04.00 di bank. Saya akan menonaktifkan pemindaian retina untuk sekali akses. Hanya itu kesempatan Anda," pungkas Bima.
Aluna meraih alat scanner itu. Benda dingin dan kecil itu terasa seperti beban takdir.
“Saya akan memberikannya padanya, Bima. Saya akan memberikannya cinta yang sudah ia tunggu selama belasan tahun,” bisik Aluna.
Aluna keluar dari kafe, meninggalkan Bima. Di satu tangan, ia memegang scanner sidik jari, di tangan lain, ia merasakan dorongan api cinta yang baru ia temukan. Ia kini menuju rumah, siap menjadi istri, perawat, dan pencuri di tengah malam yang sama.